Oleh: Badrun Lana
El-Muna[1]
Jalannya
demokrasi di Indonesia telah berjalan kurang lebih sepuluh tahun. Demokrasi
yang merupakan pilihan strategis untuk diterapkan di Indonesia merupakan
gagasan yang telah banyak memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan bangsa.
Diakui atau tidak. Nyatanya sistim ini telah banyak menghasilkan para
politisi-politisi muda yang sangat kompeten di bidangnya masing-masing.
Metamorfosis yang dilakukan bangsa Indonesia ini telah menghasilkan tokoh-tokoh
yang dalam hal-hal tertentu sangat banyak memberikan arti bagi bangsa ini.
Salah satu contoh adalah SBY sebagai presiden pertama yang berhasil memperoleh
mandat langsung dari rakyat selama dua periode. Dalam kepemimpinannya, SBY
telah berhasil membuktikan dengan
kinerjanya dengan melakukan pemberantasan korupsi melalui lembaga khusus yang
dibentuknya yang terkenal dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Dengan lembaga ini, banyak dari politikus yang menggunakan harta milik rakyat
berhasil dijebloskan kedalam penjara dengan kasusnya yaitu korupsi. Meski hal
ini belum sepenuhnya menjerat seluruh pejabat yang bermasalah.
Meskipun
begitu tampaknya kedamaian bangsa Indonesia dalam berdemokrasi secara langsung
mulai tergoyahkan. Hal ini terlihat dari adanya perubahan haluan beberapa
partai politik yang mengusulkan untuk mengganti pola pemilihan kepala daerah langsung
menjadi tidak langsung. Desakan yang diajukan oleh lima partai politik
diantaranya Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Amanat Nasional, Partai
Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan dan juga Partai Golongan
Karya. Adapun Partai Demokrat secara
resmi belum menyatakan keberpihakanya pada dua opsi yang ada yaitu menyetujui
pemilihan secara langsung atau tidak langsung.
Dari
partai politik diatas, dapat tergambar bahwa kesemuanya merupakan tim koalisi
merah putih dalam pilpres 2014. Oleh karenanya, dalam hal ini mudah muncul suu’u dzon masyarakat terhadap agenda
lanjutan dari pilpres 2014 dimana koalisi merah putih mengalami kekalahan.
Kecurigaan yang dimaksud adalah bahwa jangan-jangan ini adalah gerakan baru
menguasai kepala daerah melalui para legislatif yang besar dari partai usungan
koalisi merah putih. Sebab jika kita melihat pada komposisi kursi DPRD maka
koalisi merah pitih memiliki kekuatan yang cukup besar. sehingga pada tahapan
selanjutnya, jika benar nantinya kepala daerah dipilih melalui perwakilan di
DPRD, maka akan sangat mudah mendudukan kader partai untuk memperoleh banyak
suara dalam koalisi. Namun inipun masih asumsi awal dari manuver politik ini.
Sebab, tentunya dalam konteks yang lebih jauh, belum tentu terjadi kesolidan
antara partai politik yang tergabung dalam koalisi tersebut.
Perubahan
sikap yang terjadi pada lima partai tersebut bukan tanpa landasan. Tentu sangat
naif jika satu persolan yang sangat urgen tidak memiliki kekuatan dalam hal
alasan. Sebagaimana dikatakan bahwa sikap dan landasan pemikiran yang dilakukan
oleh beberapa partai politik diatas adalah adanya biaya demokrasi secara langsung
membutuhkan biaya yang sangat mahal. Sebab, untuk mendapatkan jabatan kepala
daerah memerlukan biaya yang tidak sedikit. Hal yang lain juga karena sering
terjadi politik uang. Oleh karenanya, ini dianggap merusak arti demokrasi yang
sebenarnya. Demokrasi yang sejatinya milik rakyat menjadi milik para pemegang
modal dan harta yang melimpah. Suara rakyat dapat ditentukan berdasarkan
ketebalan kantong calon kepala daerah. Kritik inilah yang menjadi persoalan
utama.
Selanjutnya,
dari pihak lawan pilitik yang tidak meyetujui pemilihan yang diwakili DPRD
diantaranya adalah Parta Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Hanura dan Parta
Kabangkitan Bangsa mengatakan bahwa kembalinya pemilihan kapala daerah kepada
DPRD merupakan pengulangan dari masa orde baru. Hal ini dianggap sebagai
kemunduran bangsa. Sebab sistim demokrasi dianggap sebagai sesuatu yang sudah
final meskipun masih banyak menyisakan masalah. Sebab masalah yang terjadi
masih dapat diatasi misalnya seperti banyaknya praktik politik uang adalah dengan kontrol partai polotik terhadap calon
yang diusungnya. Atau masalah pembengkakan biaya kampanye yang dinilai sangat
mahal dengan melakukan pembatasan terhadap biaya kampanye yang diperketat. Namun
sepertinya ini merupakan hal yang bukan menjadi dalil sebagai penguatan
terhadap pemilukada secara langsung. Bahkan, sebaliknya, kelemahan inilah yang
menjadi alat untuk berargumen mengganti pemilukada dikembalikan kepada DPRD.
Padahal masalah diatas semestinya yang perlu diperbaiki. Akan tetapi tampaknya dalam beberapa kondisi
seperti politik uang serta membeli suara rakyat merupakan satu hal yang dapat
dinikmati.
Kondisi
demikian merupakan bukti dari ketidak terbukaan parpol terhadap permasalahan
yang menjadi titi lemah pemilihan secara langsung. Atau bahkan ini merupakan
kesengajaan yang enggan diperbaiki untuk menjadi dalil penguat penggantian
pilkada langsung kepada DPRD. Entah, politik seperti apa yang sedang
menghinggapi bangsa Indonesia ini?
Motif
kepentinganparpol sejatinya disandarkan pada pembelaan terhadap rakyat. Bukan
malah sebaliknya, pembelaan terhadap rakyat merupakan sebuah modus meraup suara
sebanyak-banyaknyadan meninglggalkan rakyat sejauh-jauhnya. Demokrasi yang
telah lama dan sarat dengan berbagai persoalan merupakan pembelajaran bagi
bangsa Indonesia untuk selalu memperbaiki sistem domokrasi yang telah berjalan
ini. Kedaulatan rakyat adalah kekuasaan yang
sebenarnya harus dicapai dengan ketulusan parapemegang kekuasaan untuk
mengedepankan kepentingan rakyat dibandingkan dengan kepentingan golongan.
Sebab, seberapapun dan bagaimanapun sebuah sistem itu dibangun, masih tetap akan menimbulkan persoalan. Dalam
beberapa kasus, sistem ternyata membutuhkan perbaikan-perbaikan secara berkala.
Dalam hal ini, untuk mengembalikan
pemilihan kepala daerah kepada DPRD merupakan suatu kemunduran. Maka sebaiknya
pelajaran berharga selama sepuluh tahun menjalani sistim demokrasi ini menjadi cerminan dimasa mendatang untuk
senantiasa berbenah. Dalam hal ini mengganti sistem tidak lagi diperlukan. Yang
diperlukan adalah memperbaiki yang sudah ada pada titik –titik kelemahan
tertentu.
Sehingga
kedaulatan rakyat secara total dapat memegang peranan penting dalam demokrasi
ini. Bukan malah sebaliknya yaitu merampas kedaulatan rakyat menjadi
kepentingan golongan tertentu. Sebab, bukan berati kembalinya pemilihan kepala
daerah ke DPRD itu selesai dari masalah. Sistim ini juga memiliki titik lemah
karena bisa saja terjadi kong-kalikong antara calon kepala daerah dengan
anggota DPRD. Jika demikian, maka kepala daerah bisa jadi sebagai boneka dari
DPRD yang semua kebijakannya akan diukur dengan seberapa besar keuntungan yang
akan mereka peroleh. Intinya kedua sistem yang sedang menjadi perdebatan ini
sama-sama dapat menimbulkan masalah (korupsi). Tinggal bagaimana manusianya
saja.
Pada
akhirnya, rakyat kecil hanya bisa menyaksikan semua permasalahan ini tanpa ikut
campur tangan seutuhnya. Kita hanya bisa
berdoa semoga apapun yang menjadi keputusan final nanti didasarkan pada
keberpihakan kepada rakyat. Sehingga rakyat tidak lagi menjadi bola-bola
politik yang terombang-ambing dan menjadi bahan rebutan para pemegang
kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar