Dibawah Naungan Sunnah;
Sebuah Upaya Mewujudkan Islam
yang Rahmah
Oleh: Badrun Lana El-Muna[1]
Abstack
Dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana
hadis dipahami sebagai sesuatu yang dapat diaplikasikan sesuai dengan kondisi
serta zaman demi mencapai sebuah kedamaian. Untuk menggapai hal itu, tentu juga harus adanya pemahaman
mengenai hal-hal yang biasanya, cenderung memandang hadis sebagai legitimasi
atas kekerasan dan perbuatanya. Padahal, dilain sisi, islam adalah agama yang
santun dan penuh kasih sayang.
Kata kunci:
Hadis, Jihad, toleransi dan kasih sayang.
A.
Pendahuluan
Pluralitas dan keanekaragaman
manusia merupakan sebuah keniscayaan. Hal ini sejalan dengan kondisi kehidupan
bangsa yang heterogen dengan berbagai pernak-perniknya. Oleh karena itu, seharusnya
menjadikan kita sadar bahwa hal ini merupakan Sunnatullah yang tidak bisa
tidak. Dan barang siapa yang mengabaikan berarti sama halnya dengan mengabaikan
kemanusiaanya sendiri. Karena manusia sebagai makhluk sosial tidak akan bisa
hidup sendiri tanpa dukungan dari pihak lain.[2]
Artinya, perbedaan tersebut harus
dimaknai sebagai alat untuk saling melengkapi dan saling membutuhkan, bukan
untuk saling memusuhi. Atau bahkan menjadikanya sebagai alat untuk melakukan
penindasan terhadap orang lain.[3]
Namun pada kenyataanya, perbedaan yang
ada sering dipahami sebagai bentuk perbedaan dalam arti sebenarnya. Sehingga yang
muncul adalah konflik horizontal yang menjadikan isu-isu etnis ras dan agama
sebagai pemicunya. Oleh karenanya keserasian yang diharapkan tidak pernah
tercapai dan bahkan malah menimbulkan perpecahan.
Adapun bila kita dihadapkan pada
masalah-masalah semacam itu, disamping merujuk kepada al-Qur’an, umat muslim juga
menggunakan al-Hadits sebagai sumber kedua setelahnya. Penggunaan hadits
sebagai sumber kedua ini tentunya secara tidak langsung menjadi tolak ukur dari
kesalehan kita. Yaitu bagaimana kita dapat mengikuti dan mengerjakan
pesan-pesan yang terkandung didalamnya. Hal ini dimaksudkan agar apa yang kita lakukan merupakan sebuah
interpretasi yang sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam al-Hadits.[4]
Perintah dalam mengikuti hadits sebagai bentuk kewajiban kita mengikuti sumber hukum yang
kedua itu termaktub dalam al-Qur’an yaitu surat al-Hasyr: 7
4........ !$tBur ãNä39s?#uä ãAqß§9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4.........
Artinya : apa yang diberikan
Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah
Dari ayat tersebut, bisa diambil
kesimpulan bahwa penggunaan hadits setelah al-Qur’an merupakan hal yang diperbolehkan
sebagaimana legitimasi dari ayat tersebut. Adapun apabila umat islam pada
khususnya sedang menghadapi persoalan, maka mereka akan mencoba menyelesaikanya
dengan dihadapkan pada dua hal yang ekstrim yaitu:
Pertama, merasa panik dan tidak berdaya sehingga ia berusaha
menyelesaikan masalah itu dengan nabi seperti halnya para sahabat ketika
menghadapi suatu permasalahan. Kedua, mengkolaborasikan antara persoalan
yang terjadi di masa lalu dengan persoalan yang terjadi di masa sekarang. Sehingga
memunculkan sikap metamorfosis yang menjadikan seseorang akan hanyut dalam
tema-tema baru sebagai bentuk penerimaan atau penolakan terhadap masa lalu.[5]
Kedua hal diatas akan menimbulkan
implikasi yang sangat serius dimana jika yang terjadi adalah hal yang pertama,
maka, masa lalu yang telah silam akan menjadi rujukan utama dalam menyelesaikan
suatu persoalan. Bahkan tidak hanya itu, karena harapan yang dimaksud berarti
pula sebuah keinginan agar apa yang pernah terjadi di masa nabi bisa terulang
kembali di masa sekarang.[6]
Padahal, apa yang telah dilakukan oleh
nabi adalah sebuah bentuk respon atas realitas masyarakaat pada masa itu.
Kemudian apabila hadits dimaknai secara konsumtif tanpa memahami pokok pikiran
dari kejadian itu maka yang terjadi adalah kemandegan dan penyempitan makna.
B.
Hadits
Dalam Lintas Sejarah
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa hadits
adalah respon nabi atas apa yang terjadi
pada masa itu. Ia merupakan obat dahaga bagi para sahabat yang pada saat itu
masih belum mengetahui banyak hal tentang islam. Oleh karenanya apa yang
diucapkan, dilakukan ataupun persetujuan dari nabi berlaku sebagai
undang-undang yang harus dilaksanakan. Pada giliranya, apa yang telah dilakukan
pada zaman nabi pun menjadi acuan bagi umat sesudahnya yang oleh para ulama
dijadikan menjadi bahasan tersendiri yaitu Fikih.
Hadits berfungsi menerangkan al-Qur’an
dalam rangka menegakan syariat islam. Pada
masa ini hadits diterima dalam bentuk langsung ataupun tidak langsung. Yaitu melalui
ceramah, pengajian, khotbah, ataupun penjelasan langsung kepada sahabat
atas pertanyaan yang disampaikan.[7]
Ketika itu, penulisan hadits belum dilaksanakan karena nabi menghawatirkan akan
bercampurnya hadits dengan al-Qur’an.
Adapun mengenai gencarnya kebutuhan hadits
sendiri terjadi pada masa sahabat kecil dan111 tabi’in besar. Hal ini terjadi
karena daerah kekuasaan islam telah meluas ke berbagai daerah. Pada masa ini
juga sering dilakukan lawatan ke daerah-daerah dimana hadits itu berada.
Sehingga munculah para bendaharawan hadits di berbagai daerah . Kemunculan tersebut
menjadikan pula keinginan untuk menuliskan hadits dalam sebuah buku disamping
juga merupakan kegiatan yang dimotori oleh pemerintah yang dipimpin oleh Umar
Ibn Abdul Aziz pada tahun 101 H.[8]
Perkembangan hadits tidak berhenti
sampai disitu, karena setelah masa pembukuan hadits secara resmi, kegiatan
penulisan hadits senantiasa berkembang sebagai upaya menjaga otentisitas
hadist. Dari berbagai usaha tersebut munculah berbagai kitab hadits yang sangat
banyak dan menjadi rujukan bagi umat sesudahnya. Namun dari sekian banyak kitab
yang ada, ada beberapa kitab hadits induk yang paling terkenal dan menjadi
rujukan utama yang sering disebut dengan al-mashoodir al-ashliyah.
C.
Hadits
dan Tantangan Zaman
Dalam menghadapi masalah-masalah
yang bersifat dinamis kita dihadapkan dimana Hadits dihadapkan pada hal-hal
baru sedangkan ia adalah teks mati
yang tidak mungkin mengalami perkembangan. Maka, yang diperlukan adalah bukan
bagaimana menambahkan teks itu melainkan bagaimana menjadikanya sebagai
inspirasi keagamaaan yang logis sebagai ide dari semua usaha kreatif menemukan
jalan dalam suatu persoalan.
Sepanjang sejarahnya, para Muhaddisin telah
banyak melakukan pendekatan-pendekatan untuk menjaga otentisitas hadits serta
memahami substansi hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Usaha ini dilakukan oleh ulama hadits dengan
mempersembahkan berbagai model pendekatan kajian hadits dan dikarangnya kitab ‘ulum
al-hadits dan juga syarh al-hadits.[9]
Usaha yang dilakukan oleh para muhaddisin
pada intinya adalah sebuah upaya untuk meneliti bangunan hadits yang
terkenal dengan sebutan sanad dan matan itu apakah shohih, hasan atau dho’if. Karena dengan demikian kita dapat mengetahui
apakh suatu dhadist itu bias dijadikan sandaran argumentative dalam beragama
ataukah sebaliknya.
Sebagimana disebutkan oleh
Nasaruddin Umar bahwa secara umum,
mekanisme dalam memahami hadits ada tiga tahapan. Pertama, memperhatikan
kualitas sanad, dimana sanad merupakan hal yang terpenting dalam mengkaji
hadist karena pengkajian matan terhadap hadits yang dhoif terlalu parah atau
bahkan maudhu’ adalah merupakan hal yang tidak berarti apa-apa. Kedua, mencermati
susunan redaksi matan, dalam hal ini, terkadang sering terjadi perbedaan antar
matan yang satu dengan matan yang lainya. Hal ini merupakan sebuah konsekuensi
dari adanya riwayah bil ma’na sehingga perlu dilakukan komparasi dengan
berbagai hadits yang mempunya redaksi yang serupa. Ketiga, meneliti dan
memahami substansi matan. Dalam hal ini, terjadi banyak perbedaan dalam menentukan
acuan. Namun diantar perbedaan tersebut bias disimpulkan antar lain sebagi
berikut: akal sehat, fakta historis, pokok-pokok ajaran islam, ijma’ (konsensus
ulama), serta perilaku sahabat.[10]
Pada ahirnya, untuk memahmi hadits
di era modern ini perlu dikembangkan kearah kontekstual. Artinya, pedekatan
yang dilakukan bukanlah pada tingkat lahiriyah saja, melainkan dengan upaya
untuk mengaitkan dalam aspek kontekstualnya.
Adapun hal yang harus diperhatikanya antara lain: 1. asbabul wurud, 2. ‘illat yang
menjadi peahaman dari nabi dengan mempertimbangkan dimensi manfaat dan
maslahat, 3. melihat pula kaitanya nabi
sebagai rasul, kepala keluarga, panglima
perang dan sebagainya.[11]
Setelah berbagai penjelasan diatas,
pada kesempatan ini, penulis akan mencoba menjelaskan dari kerangka berfikir
kreatif atas makna-makna yang dimungkinkan akan berimplikasi pada nilai-nilai
kemasyarakatan guna membuktikan bahwa umat islam adalah Rahmah sekaligus
pengayom bagi umat manusia tanpa terkecuali. Adapun tema-tema yang akan kami
bahas dan yang menurut kami sangat
potensial meskipun dilain sisi masih banyak tema lain yang lebih penting dari
yang akan kami bahas.
Adapun tema-tema tersebut adalah:
1.
Jihad
Secara
etimologi kata jihad berasal dari kata al-juhd yaitu upaya, kesungguhan
dan kesulitan. Dengan demikian jihad berarti berjuang keras dan secara tepat
melukiskan usaha maksimal yang dilakukan seseorang untuk melawan sesuatu yang
keliru. Sedangkan menurut terminology, jihad adalah mengerahkan segala
kemampuan untuk menangkis serangan dari musuh yang tidak tampak yaitu hawa
nafsu dan musuh yang tampak yaitu orang kafir.[12]
Berkaitan
dengan hal ini, nabi Muhammad SAW. Bersabda:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللهِ ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ ،
عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ،
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ
سُئِلَ
النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَيُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ إِيمَانٌ
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : جِهَادٌ فِي سَبِيلِ اللهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ
: حَجٌّ
مَبْرُورٌ.[13]
Artinya:...
Nabi Muhammad SAW ditanya: “Amal apakah yang paling utama?” nabi menjawab: iman
kepada Allah dan rasulnya. Kemudian apa? Nabi pun menjawab: jihad fi
sabiilillah,...
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ :
قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ
حَتَّى يَقُولُوا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَإِذَا
قَالُوهَا وَصَلَّوْا صَلاَتَنَا وَاسْتَقْبَلُوا قِبْلَتَنَا وَذَبَحُوا
ذَبِيحَتَنَا فَقَدْ حَرُمَتْ عَلَيْنَا دِمَاؤُهُمْ وَأَمْوَالُهُمْ إِلاَّ
بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ قَالَ.
Artinya: ... Aku
diperintah untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan “tidak
ada tuhan selain Allah”...
Istilah
jihad merupakan salah satu hal yang sudah tidak asing lagi dikalangan umat
islam. Lebih-lebih setelah maraknya berbagai aksi teror bom yag melibatkan dan
bahkan dimotori oleh umat islam. Dengan dalil bahwa jihad adalah perintah agama,
maka melakukan teror ataupun pengeboman adalah hal yang dianggap sebagai jihad.
Jihad yang pernah dilakukan oleh nabi sering dimaknai dengan perjuangan umat
islam dalam menghadapi konspirasi orang Yahudi dan orang-orang Kristen.[14]
Oleh karenanya, jihad dipahami hanya peperangan, terutama terhadap orang non
islam yang pada implikasinya akan menjadikan pemahaman bahwa sitiap orang non
islam adalah sesuatu yang sah untuk diperangi dan telah mendapatkan legitimasi
al-Qur’an dan al-Hadits. Sebagaimana dalam al-qur’an disebutkan telah
diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya
mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong
mereka itu, (al-Hajj:39). Dan juga dijelaskan dalam al baqoroh: 190 yang artinya: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang
yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Ayat
diatas jika dilihat secara sepintas seakan-akan terlihat bahwa al-Qur’an itu
memerintahkan peperangan secara formal. Artinya, legistimasi perang sendiri
merupakan perintah yang sudah jelas termaktub dalam al-Qur’an. Dari dasar ini
pula munculah klaim barat terhadap islam yang mengatakan bahwa islam adalah
agama terorisme.
Berkaitan
dengan masalah jihad, Ibnul Qoyyim al-Jauziyah sebagaiman dikutip oleh
Nasaruddin Umar bahwa jihad itu terbagi dalam tiga bentuk yaitu: jihad
mutlak, jihad hujjah dan jihad ‘am.
a.
Jihad
mutlak adalah perang
melawan musuh dalam medan pertempuran. Akan tetapi jihad seperti ini memiliki
berbagai persyartan yang harus dipenuhi diantaranya: perang merupakan timbal
balik dari adanya perlawanan musuh,[15]
menghilangkan fitnah,[16]
menciptakan perdamaian[17]
serta mewujudkan kebajikan dan keadilan.[18]
Adapun mengenai peperangan, sebagaimana perintah nabi saat umat islam
menghadapi tentara romawi bahwa peperangan yang ditempuh bukanlah hal yang
final akan tetapi atas berbagai pertimbangan kemanusiaan.
b.
Jihad hujjah adalah upaya mengajak
orang islam dengan cara mengemukakan argumentasi yang kuat dan rasional agar
dapat diterima dengan baik.
c.
Jihad
‘am adalah jihad yang mencakup seluruh aspek
kehidupan baik yang bersifat moral ataupun material. Jihad seperti ini akan
memiliki penyebaran makna yang lebih luas
ddimana pemaknaan jihad akan menyentuh pada seluruh aspek kehidupan.
Jihad ini tidak butuh ruang dan waktu karena pengamplikasianya sendiri sesuai
dengan kondisi yang dihadapi masing-masing.
Penjelasan
diatas menyiratkan bahwa jihad yang berarti perang adalah merupakan bagian dari
beberapa bentuk jihad yang lain sebagaimana terdapat dalam hadits-hadist nabi
dalam berbagai redaksi yang berbeda. Dalam beberapa hadisnya nabi menjelaskan
bahwa diantar bentuk jihad adalah haji mabrur,[19]
menyampaikan kebenaran kepada penguasa dzolim,[20]
berbakti kepada orang tua.[21]
Jika
pemaknaan jihad dikontekskan pada masa sekarang maka akan berarti bahwa jihad
adalah upaya untuk melawan arus
kesesatan idiologi, budaya, gaya hidup, baik yang menyerang media cetak ataupun
elektronik serta yang lainya. Jika kita melihat pada realitas sesungguhnya,
betapa rapuhnya pertahanan kaum muslimin sehingga dengan begitu mudahnya kita
akan mudah tersusupi dan ditundukan oleh serangan dari luar berupa intrik
keindahan yang berbalut dengan masuknya budaya hedonisme, seks bebas, hawa
nafsu, menjual kehormatan, mengurusi permasalahan orang lain serta hal-hal lain
yang lebih parah lagi dari itu. Oleh karenanya, jihad yang realistis adalah
bagaimana kita menyelamatkan umat ini
dari rongrongan musuh yang sangat halus.[22]
2. Toleransi dan Kasih Sayang Terhadap Sesama
Sebagaimana kita ketahui bahwa islam
berarti ketundukan, patuh dan pasrah. Dari makna tersebut, islam juga berarti
keselamatan, keamanan serta kedamaian yang dalam praktiknya berarti bahwa orang
muslim adalah orang yang bisa memberikan keselamatan serta kerukunan di
masyarakat.[23]
Adapun toleransi sendiri adalah pengakuan
atas hak-hak asasi masing-masing individu manusia seperti hak dalam persamaan,
pendidikan, kesempatan, keadilan, keamanan dan sebagainya. Sikap ini berarti
membiarkan berbeda dan tidak memaksa berlaku baik serta memaafkan.[24]
Jika sikap tersebut selalu dipupuk, maka pada giliranya akan mengantarkan
manusia pada kepedulian serta kasih
sayang baik terhadap Tuhan, manusia serta alam sekitarnya.[25]
Dalam bahasa Arab kata toleransi diartikan sebagai Tasamuh
para pakar leksikograf Arab mengartikan sebagai berlaku lembut dan
mempermudah.[26]
Ibnu al-Atsir berkata istilah Musamah artinya bertoleransi dan
memberikan kemudhan.[27]
Imam Ibnu Hajar mendefenisikan kata al-samhah dengan pengertian
kemudahan yaitu sesuatu yang berlandaskan kemudahan.[28]
Berkaitan
dengan maslah toleransi, nabi Muhammad SAW. Bersabda dalam hadisnya:
« أَحَبٌّ الدِّيْنِ إِلىَ
اللهِ الحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَةُ »
Artinya:
Agama yang paling dicintai disisi Allah adalah agama
yang lurus dan toleran.[29]
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَمُسَدَّدٌ - الْمَعْنَى -
قَالاَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ أَبِى قَابُوسَ مَوْلًى لِعَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو يَبْلُغُ بِهِ النَّبِىَّ
-صلى الله عليه وسلم- « الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ
الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ ». [30]
Artinya: Allah menyayangi hambaNya yang
menyayangi. Sayangilah makhluk yang ada dibumi, niscaya penghuni langit akan
menyayangimu.
Sikap toleransi dan kasih sayang sangat
diperlukan di masyarakat. Karena, keragaman dan perbedaan dalam masyarakat yang multikultural
ini bisa saja terjadi apabila terjadi ketersinggungan atau pemaksaan. Lebih
lagi ketika ketersinggungan tersebut dengan membawa label agama, maka sudah
barang tentu perpecahanlah yang akan terjadi. Oleh karenanya, islam sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai kasih sayang sebagaimana dijumpai dalam
al-Anbiya:107
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Artinya:
Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.
Adapun yang dimaksud dengan rahmat itu sendiri
sebagimana dikutip oleh Achmad Lutfi dari kamus al-Munjid adalah “kelembutan
hati dan welas asih yang mengarahkan
untuk berbuat memaafkan dan kebajikan. Pada tahap selanjutnya, sikap ini akan
membuahkan hasil bukan hanya berupa pemahaman akan tetapi menjelma kedalam
sikap toleransi terhadap sesamanya.[31]
Inti dari ayat diatas adalah menggambarkan
bagaimana islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam yang dinyatakan dengan
sikap welas asih, tolong menolong, saling berbagi, anti kekerasan, solidaritas,
serta memahami bagaimana seharusnya seseorang berbuat dalam memahami masyarakat
yang kompleks.
Nasaruddin Umar menyebutkan bahwa ada
empat prinsip toleransi dalam islam yaitu:[32]
a.
Rasionalisasi
agama: yaitu memahami agama dengan aktualisasi ajaran kedalam perilaku
sehari-hari dengan sikap saling menghrgai dan tidak arogan. Sikap ini juga
mengandung prinsip bahwa islam menolak segala bentuk pemaksaan ataupun sikap
anarkisme melainkan membuat umat cenderung kepada kemajuan intelektualnya serta
menunjukan bahwa agama islam merupakan sebuah penalaran yang memungkinkan
munculnya sesuatu yang serba baru.
b.
Lapang
dada: yaitu sikap bathin yang lahir dari kesabaran untuk mencapai kemaslahatan,
keselamatan dan kerukunan antar umat beragama. Dalam konteks social, lapang
dada juga berarti mencegah konflik, perselisihan serta pertengkaran demi
terwujudnya kemaslahatan bersama.
c.
Egalitariaisme
beragama: yaitu sikap persamaan yang tidak membedakan umat manusia berdasarkan
jenis kelamin, etniss suku, warna kulit, latar belakang, social, ekonomi dan
sebagainya.
d.
Dialog
dan ukhuwwah islamiyah: yaitu salah satu cara dalam mengekspresikan sikap
toleransi yang tujuanya adalah untuk menghilangkan sifat kefanatikan,
mengurangi kecurigaan serta meluruskan cara pandang yang berbeda.
Dari
berbagai penjelasan diatas, diharapkan bisa menjadi inspirasi umum kepada kita
semua bahwa keberagaman Idonesia ditinjau dari berbagai hal, tidak menjadikanya
sebagai alasan untuk bersikap egois, curiga, fanatisme dan berbagai sikap
lainya yang merugikan serta menghancurkan keindahan. Namun sebaliknya,
seharusnya keragaman tersebut dimaknai dengan baik dan memahami bahwa hal itu
adalah fitrah kehidupan. Sehingga yang muncul kemudian adalah keamanan dan
kenyamanan dalam kehidupan sosial.
D. Kesimpulan
Dari
penjelasan diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa perbedaan adalah suatu
hal yang sangat niscaya. Karena dalam semua aspek kehidupan tidak akan berjalan
tanpa adanya perbedaan. Dari perbedaan, akan timbul timbal balik saling
membutuhkan. Oleh karenanya, seharusnya perbedaan itu dimaknai dengan sebuah
rahmat agar menghasilkan keserasian.
Dalam
menghadapi kondisi diatas, hadits sebagai landasan dasar kedua setelah
al-Qur’an, sebaiknya dimaknai sesuai dengan konteks yag ada pada saat ini
dengan harapan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang sering terjadi karena
pemaknaan dari perbedaan yag kurang tepat.
Sebagai
contoh adalah pemaknaan makna jihad. Jihad sering diartikan dengan kekerasan
dan peperangan fisik. Sehingga yang terjadi adalah ketiidaknyamanan dan permusuhan. Oleh
karenanya, demi terciptanya kedamaian dan kenyamanan, kita harus memaknainya
dengan baik. Agar islam tidak tercoreng nama baiknya.
Al-qur’an dan terjemahnya, Departemen Agama
Al-Bukhori, Shohih Al-Bikhori, al-kitab
al-masykul, lilmathbu’, juz 5,
Jauhaurddin, Menguak hadits diskriminatif, makalah tidak
diiterbitkan ( Cirebon:2012 )
Muhammad, Hasyim, Tasir Tematis Al-Qur’an & Masyarakat, (
Yogyakarta: Teras, 2009 ),
Mubarak, M Zaki, Genealogi Islam radikal di Indonesia, ( Jakarta:
LP3S, 2007),
Monib, Mohammad & Mulyana, Fery, Pelita Hati Pelita Kemanusiaan,
( Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009),
Muhammad,Akhsin Sakho dkk., Aktualisasi Nilai-nilai Al-Qur’an, (
Cirebon: LSQH IAIN Syekh Nurjati),
Sunan Abu Dawud, bab
rahmah, juz Sholeh,
Badrus dkk., Budaya Damai Komunitas Pesantren,( Jakarta: LP3S, 2007)
Rahman, Fazlur, Membuka Pintu Ijtihad, ( Bandung: Penerbit
Pustaka, 1995), cet. 3, terj.
Umar, Nasaruddin, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an & Hadis, (
Tangerang: Rahmat Semesta Center: 2009), cet. 3
Mujiddudin Ibnu al-Atsir, al-Nihayah fii Gharib al-Hadis,
(Cet. I; Lahore: Dar Anshar as-Sunnah, T.Th), Jld. II, h. 398
[1]
Ahamd bin Ali bin Hajar al-Asqalany,
Fath al-Bary, (Cet. I; Madinah al-Munawarah, 1417 H / 1996 M), Jld. I,
h. 94
[1]
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim
al-Bukhary, al-Jami' al-Shahih,Kitab; Iman, Bab; Agama itu Mudah, (Cet. I; Kairo: Maktah as-Salafiyah, 1400
H), Jld. I, h. 29
[1] Penulis adalah
ketua umum Himpunan Mahasiswa Tafsir Hadits (HIMA-TH) IAIN Syekh Nurjati
Cirebon periode 2013/2013
[2] MB Badruddin
Harun, Budaya Damai Komunitas Pesantren, ( Jakarta: LP3S, 2007), h.56
[3] Ahsin Sakho
Muhammad, Al-Qur’an dan Tata Dunia Baru, ( Cirebon: LSQH IAIN Syekh
Nurjati, 2011), h. 11
[4] Jauharuddin, Menguak
Hadits Diskriminatif, makalah tidak diterbitkan ( Cirebon: 2012)
[5] Fazlur Rahman,
Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung:
Pustaka) h. 265-266
[6] Ibid,.
[7]
Solahuddin, M Agus & Suryadi, Agus, Ulumul Hadis, ( Bandung: Pustaka
Satia, 2008 ) h. 33-35
[8]
Ibid,.
[9]
Nasaruddin
Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran dan Hadis, ( Tangerang: Rahmat
Semesta Center, 2009), h. 22
[10]
Ibid,.h. 24-29
[11]
Ibid,. h. 27-29
[12]
Nasaruddin
Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran dan Hadis, ( Tangerang: Rahmat
Semesta Center, 2009), h. 123-124
[13]
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhary, al-Jami'
al-Shahih Shohih Al-Bikhori, al-kitab al-masykul, lilmathbu’, juz 9, al-Maktabah al-Syamilah
[14]
M. Muzaki Mubarak, Genealogi Gerakan Islam Radikal di Indonesia, (
Jakarta: LP3S, 2008), h. 188
[15] Al-Baqoroh:190
[16] Al-Baqoroh:
193
[17] Al-Anfal:61
[18] QS. Al-Mumtahanah:
8
[19] Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhary, al-Jami' al-Shahih Shohih
Al-Bikhori, al-kitab al-masykul, lilmathbu’, juz 5, h. 399
[20] Ibid,
[21] Sunan
at-tirmidzi, juz 8. H. 83
[22]
Mohammad Monib & Fery Mulyana, Pelita Hati, Pelita Kemanusiaan¸(
Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), h. 217
[23] Nasaruddin
Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran dan Hadis, ( Tangerang: Rahmat
Semesta Center, 2009), h. 372
[24] Ibid,.h.
373
[25] Achmad Lutfi,Al-Qur’an
dan tata dunia baru, ( Cirebon: LSQH
IAIN Syeh Nurjati, 2011), h. 146
[26]
Luways Ma'luf, al-Munjid Fii
al-Lughah wa al-A'lam, (Cet. XXXIV; Beirut: Dar al-Masyriq, 1994), h. 349.
[27]
Mujiddudin Ibnu al-Atsir, al-Nihayah
fii Gharib al-Hadis, (Cet. I; Lahore: Dar Anshar as-Sunnah, T.Th), Jld. II,
h. 398
[28]
Ahamd bin Ali bin Hajar al-Asqalany,
Fath al-Bary, (Cet. I; Madinah al-Munawarah, 1417 H / 1996 M), Jld. I,
h. 94
[29] Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhary, al-Jami' al-Shahih,Kitab; Iman, Bab;
Agama itu Mudah, (Cet. I; Kairo:
Maktah as-Salafiyah, 1400 H), Jld. I, h. 29
[30]
Sunan Abu Dawud, bab rahmah, juz 4, h. 440
[31]
Op. cit
[32]
Nasaruddin
Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran dan Hadis, ( Tangerang: Rahmat
Semesta Center, 2009), h. 374-380
lumayan nich.....
BalasHapus