Blem.com: rahmatan lil'alamin

Sabtu, Februari 09, 2013

rahmatan lil'alamin



Dibawah Naungan Sunnah;
Sebuah Upaya Mewujudkan Islam yang Rahmah
Oleh: Badrun Lana El-Muna[1]

Abstack
Dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana hadis dipahami sebagai sesuatu yang dapat diaplikasikan sesuai dengan kondisi serta zaman demi mencapai sebuah kedamaian. Untuk menggapai hal itu, tentu juga harus adanya pemahaman mengenai hal-hal yang biasanya, cenderung memandang hadis sebagai legitimasi atas kekerasan dan perbuatanya. Padahal, dilain sisi, islam adalah agama yang santun dan penuh kasih sayang.

            Kata kunci: Hadis, Jihad, toleransi dan kasih sayang.

A.    Pendahuluan
            Pluralitas dan keanekaragaman manusia merupakan sebuah keniscayaan. Hal ini sejalan dengan kondisi kehidupan bangsa yang heterogen dengan berbagai pernak-perniknya. Oleh karena itu, seharusnya menjadikan kita sadar bahwa hal ini merupakan Sunnatullah yang tidak bisa tidak. Dan barang siapa yang mengabaikan berarti sama halnya dengan mengabaikan kemanusiaanya sendiri. Karena manusia sebagai makhluk sosial tidak akan bisa hidup sendiri tanpa dukungan dari pihak lain.[2]  Artinya, perbedaan tersebut harus dimaknai sebagai alat untuk saling melengkapi dan saling membutuhkan, bukan untuk saling memusuhi. Atau bahkan menjadikanya sebagai alat untuk melakukan penindasan terhadap orang lain.[3]  Namun pada kenyataanya, perbedaan yang ada sering dipahami sebagai bentuk perbedaan dalam arti sebenarnya. Sehingga yang muncul adalah konflik horizontal yang menjadikan isu-isu etnis ras dan agama sebagai pemicunya. Oleh karenanya keserasian yang diharapkan tidak pernah tercapai dan bahkan malah menimbulkan perpecahan.
            Adapun bila kita dihadapkan pada masalah-masalah semacam itu, disamping  merujuk kepada al-Qur’an, umat muslim juga menggunakan al-Hadits sebagai sumber kedua setelahnya. Penggunaan hadits sebagai sumber kedua ini tentunya secara tidak langsung menjadi tolak ukur dari kesalehan kita. Yaitu bagaimana kita dapat mengikuti dan mengerjakan pesan-pesan yang terkandung didalamnya. Hal ini dimaksudkan agar  apa yang kita lakukan merupakan sebuah interpretasi yang sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam al-Hadits.[4] Perintah dalam mengikuti hadits sebagai bentuk kewajiban kita mengikuti sumber  hukum yang  kedua itu termaktub dalam al-Qur’an yaitu surat al-Hasyr: 7
4........ !$tBur ãNä39s?#uä ãAqß§9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4......... 
            Artinya : apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah
            Dari ayat tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa penggunaan hadits setelah al-Qur’an merupakan hal yang diperbolehkan sebagaimana legitimasi dari ayat tersebut. Adapun apabila umat islam pada khususnya sedang menghadapi persoalan, maka mereka akan mencoba menyelesaikanya dengan dihadapkan pada dua hal yang ekstrim yaitu: Pertama, merasa panik dan tidak berdaya sehingga ia berusaha menyelesaikan masalah itu dengan nabi seperti halnya para sahabat ketika menghadapi suatu permasalahan. Kedua, mengkolaborasikan antara persoalan yang terjadi di masa lalu dengan persoalan yang terjadi di masa sekarang. Sehingga memunculkan sikap metamorfosis yang menjadikan seseorang akan hanyut dalam tema-tema baru sebagai bentuk penerimaan atau penolakan terhadap masa lalu.[5]
            Kedua hal diatas akan menimbulkan implikasi yang sangat serius dimana jika yang terjadi adalah hal yang pertama, maka, masa lalu yang telah silam akan menjadi rujukan utama dalam menyelesaikan suatu persoalan. Bahkan tidak hanya itu, karena harapan yang dimaksud berarti pula sebuah keinginan agar apa yang pernah terjadi di masa nabi bisa terulang kembali di masa sekarang.[6] Padahal,  apa yang telah dilakukan oleh nabi adalah sebuah bentuk respon atas realitas masyarakaat pada masa itu. Kemudian apabila hadits dimaknai secara konsumtif tanpa memahami pokok pikiran dari kejadian itu maka yang terjadi adalah kemandegan dan penyempitan makna.

B.     Hadits Dalam Lintas Sejarah
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa hadits adalah  respon nabi atas apa yang terjadi pada masa itu. Ia merupakan obat dahaga bagi para sahabat yang pada saat itu masih belum mengetahui banyak hal tentang islam. Oleh karenanya apa yang diucapkan, dilakukan ataupun persetujuan dari nabi berlaku sebagai undang-undang yang harus dilaksanakan. Pada giliranya, apa yang telah dilakukan pada zaman nabi pun menjadi acuan bagi umat sesudahnya yang oleh para ulama dijadikan menjadi bahasan tersendiri yaitu Fikih.
Hadits berfungsi menerangkan al-Qur’an dalam rangka  menegakan syariat islam. Pada masa ini hadits diterima dalam bentuk langsung ataupun tidak langsung. Yaitu  melalui  ceramah, pengajian, khotbah, ataupun penjelasan langsung kepada sahabat atas pertanyaan yang disampaikan.[7] Ketika itu, penulisan hadits belum dilaksanakan karena nabi menghawatirkan akan bercampurnya hadits dengan al-Qur’an.
Adapun mengenai gencarnya kebutuhan hadits sendiri terjadi pada masa sahabat kecil dan111 tabi’in besar. Hal ini terjadi karena daerah kekuasaan islam telah meluas ke berbagai daerah. Pada masa ini juga sering dilakukan lawatan ke daerah-daerah dimana hadits itu berada. Sehingga munculah para bendaharawan hadits di berbagai daerah . Kemunculan tersebut menjadikan pula keinginan untuk menuliskan hadits dalam sebuah buku disamping juga merupakan kegiatan yang dimotori oleh pemerintah yang dipimpin oleh Umar Ibn Abdul Aziz pada tahun 101 H.[8]
            Perkembangan hadits tidak berhenti sampai disitu, karena setelah masa pembukuan hadits secara resmi, kegiatan penulisan hadits senantiasa berkembang sebagai upaya menjaga otentisitas hadist. Dari berbagai usaha tersebut munculah berbagai kitab hadits yang sangat banyak dan menjadi rujukan bagi umat sesudahnya. Namun dari sekian banyak kitab yang ada, ada beberapa kitab hadits induk yang paling terkenal dan menjadi rujukan utama yang sering disebut dengan al-mashoodir al-ashliyah.

C.    Hadits dan Tantangan Zaman
            Dalam menghadapi masalah-masalah yang bersifat dinamis kita dihadapkan dimana Hadits dihadapkan pada hal-hal baru sedangkan ia adalah teks mati yang tidak mungkin mengalami perkembangan. Maka, yang diperlukan adalah bukan bagaimana menambahkan teks itu melainkan bagaimana menjadikanya sebagai inspirasi keagamaaan yang logis sebagai ide dari semua usaha kreatif menemukan jalan dalam suatu persoalan.
            Sepanjang sejarahnya, para Muhaddisin telah banyak melakukan pendekatan-pendekatan untuk menjaga otentisitas hadits serta memahami substansi hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam.  Usaha ini dilakukan oleh ulama hadits dengan mempersembahkan berbagai model pendekatan kajian hadits dan dikarangnya kitab ‘ulum al-hadits dan juga syarh al-hadits.[9]
            Usaha yang dilakukan oleh para muhaddisin pada intinya adalah sebuah upaya untuk meneliti bangunan hadits yang terkenal dengan sebutan sanad dan matan itu apakah shohih, hasan atau dho’if.  Karena dengan demikian kita dapat mengetahui apakh suatu dhadist itu bias dijadikan sandaran argumentative dalam beragama ataukah sebaliknya.
            Sebagimana disebutkan oleh Nasaruddin Umar  bahwa secara umum, mekanisme dalam memahami hadits ada tiga tahapan. Pertama, memperhatikan kualitas sanad, dimana sanad merupakan hal yang terpenting dalam mengkaji hadist karena pengkajian matan terhadap hadits yang dhoif terlalu parah atau bahkan maudhu’ adalah merupakan hal yang tidak berarti apa-apa. Kedua, mencermati susunan redaksi matan, dalam hal ini, terkadang sering terjadi perbedaan antar matan yang satu dengan matan yang lainya. Hal ini merupakan sebuah konsekuensi dari adanya riwayah bil ma’na sehingga perlu dilakukan komparasi dengan berbagai hadits yang mempunya redaksi yang serupa. Ketiga, meneliti dan memahami substansi matan. Dalam hal ini, terjadi banyak perbedaan dalam menentukan acuan. Namun diantar perbedaan tersebut bias disimpulkan antar lain sebagi berikut: akal sehat, fakta historis, pokok-pokok ajaran islam, ijma’ (konsensus ulama), serta perilaku sahabat.[10]
            Pada ahirnya, untuk memahmi hadits di era modern ini perlu dikembangkan kearah kontekstual. Artinya, pedekatan yang dilakukan bukanlah pada tingkat lahiriyah saja, melainkan dengan upaya untuk mengaitkan dalam aspek kontekstualnya.  Adapun hal yang harus diperhatikanya antara  lain: 1. asbabul wurud, 2. ‘illat yang menjadi peahaman dari nabi dengan mempertimbangkan dimensi manfaat dan maslahat, 3. melihat  pula kaitanya nabi sebagai  rasul, kepala keluarga, panglima perang dan sebagainya.[11]
            Setelah berbagai penjelasan diatas, pada kesempatan ini, penulis akan mencoba menjelaskan dari kerangka berfikir kreatif atas makna-makna yang dimungkinkan akan berimplikasi pada nilai-nilai kemasyarakatan guna membuktikan bahwa umat islam adalah Rahmah sekaligus pengayom bagi umat manusia tanpa terkecuali. Adapun tema-tema yang akan kami bahas dan  yang menurut kami sangat potensial meskipun dilain sisi masih banyak tema lain yang lebih penting dari yang akan kami bahas. Adapun tema-tema tersebut adalah:

1.      Jihad
            Secara etimologi kata jihad berasal dari kata al-juhd yaitu upaya, kesungguhan dan kesulitan. Dengan demikian jihad berarti berjuang keras dan secara tepat melukiskan usaha maksimal yang dilakukan seseorang untuk melawan sesuatu yang keliru. Sedangkan menurut terminology, jihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk menangkis serangan dari musuh yang tidak tampak yaitu hawa nafsu dan musuh yang tampak yaitu orang kafir.[12]
            Berkaitan dengan hal ini, nabi Muhammad SAW. Bersabda:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللهِ ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ
سُئِلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَيُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : جِهَادٌ فِي سَبِيلِ اللهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : حَجٌّ مَبْرُورٌ.[13]
            Artinya:... Nabi Muhammad SAW ditanya: “Amal apakah yang paling utama?” nabi menjawab: iman kepada Allah dan rasulnya. Kemudian apa? Nabi pun menjawab: jihad fi sabiilillah,...

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَإِذَا قَالُوهَا وَصَلَّوْا صَلاَتَنَا وَاسْتَقْبَلُوا قِبْلَتَنَا وَذَبَحُوا ذَبِيحَتَنَا فَقَدْ حَرُمَتْ عَلَيْنَا دِمَاؤُهُمْ وَأَمْوَالُهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ قَالَ.
            Artinya: ... Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan “tidak ada tuhan selain Allah”...
           
            Istilah jihad merupakan salah satu hal yang sudah tidak asing lagi dikalangan umat islam. Lebih-lebih setelah maraknya berbagai aksi teror bom yag melibatkan dan bahkan dimotori oleh umat islam. Dengan dalil bahwa jihad adalah perintah agama, maka melakukan teror ataupun pengeboman adalah hal yang dianggap sebagai jihad. Jihad yang pernah dilakukan oleh nabi sering dimaknai dengan perjuangan umat islam dalam menghadapi konspirasi orang Yahudi dan orang-orang Kristen.[14] Oleh karenanya, jihad dipahami hanya peperangan, terutama terhadap orang non islam yang pada implikasinya akan menjadikan pemahaman bahwa sitiap orang non islam adalah sesuatu yang sah untuk diperangi dan telah mendapatkan legitimasi al-Qur’an dan al-Hadits. Sebagaimana dalam al-qur’an disebutkan telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (al-Hajj:39). Dan juga dijelaskan dalam al baqoroh: 190 yang artinya: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
            Ayat diatas jika dilihat secara sepintas seakan-akan terlihat bahwa al-Qur’an itu memerintahkan peperangan secara formal. Artinya, legistimasi perang sendiri merupakan perintah yang sudah jelas termaktub dalam al-Qur’an. Dari dasar ini pula munculah klaim barat terhadap islam yang mengatakan bahwa islam adalah agama terorisme.
            Berkaitan dengan masalah jihad, Ibnul Qoyyim al-Jauziyah sebagaiman dikutip oleh Nasaruddin Umar bahwa jihad itu terbagi dalam tiga bentuk yaitu: jihad mutlak, jihad hujjah dan jihad ‘am.
a.       Jihad mutlak adalah perang melawan musuh dalam medan pertempuran. Akan tetapi jihad seperti ini memiliki berbagai persyartan yang harus dipenuhi diantaranya: perang merupakan timbal balik dari adanya perlawanan musuh,[15] menghilangkan fitnah,[16] menciptakan perdamaian[17] serta mewujudkan kebajikan dan keadilan.[18] Adapun mengenai peperangan, sebagaimana perintah nabi saat umat islam menghadapi tentara romawi bahwa peperangan yang ditempuh bukanlah hal yang final akan tetapi atas berbagai pertimbangan kemanusiaan.
b.       Jihad hujjah adalah upaya mengajak orang islam dengan cara mengemukakan argumentasi yang kuat dan rasional agar dapat diterima dengan baik.
c.       Jihad ‘am  adalah jihad yang mencakup seluruh aspek kehidupan baik yang bersifat moral ataupun material. Jihad seperti ini akan memiliki penyebaran makna yang lebih luas  ddimana pemaknaan jihad akan menyentuh pada seluruh aspek kehidupan. Jihad ini tidak butuh ruang dan waktu karena pengamplikasianya sendiri sesuai dengan kondisi yang dihadapi masing-masing.
            Penjelasan diatas menyiratkan bahwa jihad yang berarti perang adalah merupakan bagian dari beberapa bentuk jihad yang lain sebagaimana terdapat dalam hadits-hadist nabi dalam berbagai redaksi yang berbeda. Dalam beberapa hadisnya nabi menjelaskan bahwa diantar bentuk jihad adalah haji mabrur,[19] menyampaikan kebenaran kepada penguasa dzolim,[20] berbakti kepada orang tua.[21]
            Jika pemaknaan jihad dikontekskan pada masa sekarang maka akan berarti bahwa jihad adalah upaya untuk  melawan arus kesesatan idiologi, budaya, gaya hidup, baik yang menyerang media cetak ataupun elektronik serta yang lainya. Jika kita melihat pada realitas sesungguhnya, betapa rapuhnya pertahanan kaum muslimin sehingga dengan begitu mudahnya kita akan mudah tersusupi dan ditundukan oleh serangan dari luar berupa intrik keindahan yang berbalut dengan masuknya budaya hedonisme, seks bebas, hawa nafsu, menjual kehormatan, mengurusi permasalahan orang lain serta hal-hal lain yang lebih parah lagi dari itu. Oleh karenanya, jihad yang realistis adalah bagaimana kita menyelamatkan umat  ini dari rongrongan musuh yang sangat halus.[22]

2.      Toleransi dan Kasih Sayang Terhadap Sesama
Sebagaimana kita ketahui bahwa islam berarti ketundukan, patuh dan pasrah. Dari makna tersebut, islam juga berarti keselamatan, keamanan serta kedamaian yang dalam praktiknya berarti bahwa orang muslim adalah orang yang bisa memberikan keselamatan serta kerukunan di masyarakat.[23]
Adapun toleransi sendiri adalah pengakuan atas hak-hak asasi masing-masing individu manusia seperti hak dalam persamaan, pendidikan, kesempatan, keadilan, keamanan dan sebagainya. Sikap ini berarti membiarkan berbeda dan tidak memaksa berlaku baik serta  memaafkan.[24] Jika sikap tersebut selalu dipupuk, maka pada giliranya akan mengantarkan manusia pada kepedulian  serta kasih sayang baik terhadap Tuhan, manusia serta alam sekitarnya.[25] Dalam  bahasa Arab kata toleransi diartikan sebagai Tasamuh para pakar leksikograf Arab mengartikan sebagai berlaku lembut dan mempermudah.[26] Ibnu al-Atsir berkata istilah Musamah artinya bertoleransi dan memberikan kemudhan.[27] Imam Ibnu Hajar mendefenisikan kata al-samhah dengan pengertian kemudahan yaitu sesuatu yang berlandaskan kemudahan.[28]
Berkaitan dengan maslah toleransi, nabi Muhammad SAW. Bersabda dalam hadisnya:
« أَحَبٌّ الدِّيْنِ إِلىَ اللهِ الحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَةُ »
Artinya: Agama yang paling dicintai disisi Allah adalah agama yang lurus dan toleran.[29]

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَمُسَدَّدٌ - الْمَعْنَى - قَالاَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ أَبِى قَابُوسَ مَوْلًى لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو يَبْلُغُ بِهِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- « الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ ». [30]

Artinya: Allah menyayangi hambaNya yang menyayangi. Sayangilah makhluk yang ada dibumi, niscaya penghuni langit akan menyayangimu.
Sikap toleransi dan kasih sayang sangat diperlukan di masyarakat. Karena, keragaman dan  perbedaan dalam masyarakat yang multikultural ini bisa saja terjadi apabila terjadi ketersinggungan atau pemaksaan. Lebih lagi ketika ketersinggungan tersebut dengan membawa label agama, maka sudah barang tentu perpecahanlah yang akan terjadi. Oleh karenanya, islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kasih sayang sebagaimana dijumpai dalam al-Anbiya:107
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ  
Artinya:  Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Adapun  yang dimaksud dengan rahmat itu sendiri sebagimana dikutip oleh Achmad Lutfi dari kamus al-Munjid adalah “kelembutan hati dan welas asih yang  mengarahkan untuk berbuat memaafkan dan kebajikan. Pada tahap selanjutnya, sikap ini akan membuahkan hasil bukan hanya berupa pemahaman akan tetapi menjelma kedalam sikap toleransi terhadap sesamanya.[31]
Inti dari ayat diatas adalah menggambarkan bagaimana islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam yang dinyatakan dengan sikap welas asih, tolong menolong, saling berbagi, anti kekerasan, solidaritas, serta memahami bagaimana seharusnya seseorang berbuat dalam memahami masyarakat yang kompleks.
Nasaruddin Umar menyebutkan bahwa ada empat prinsip toleransi dalam islam yaitu:[32]
a.       Rasionalisasi agama: yaitu memahami agama dengan aktualisasi ajaran kedalam perilaku sehari-hari dengan sikap saling menghrgai dan tidak arogan. Sikap ini juga mengandung prinsip bahwa islam menolak segala bentuk pemaksaan ataupun sikap anarkisme melainkan membuat umat cenderung kepada kemajuan intelektualnya serta menunjukan bahwa agama islam merupakan sebuah penalaran yang memungkinkan munculnya sesuatu yang serba baru.
b.      Lapang dada: yaitu sikap bathin yang lahir dari kesabaran untuk mencapai kemaslahatan, keselamatan dan kerukunan antar umat beragama. Dalam konteks social, lapang dada juga berarti mencegah konflik, perselisihan serta pertengkaran demi terwujudnya kemaslahatan bersama.
c.       Egalitariaisme beragama: yaitu sikap persamaan yang tidak membedakan umat manusia berdasarkan jenis kelamin, etniss suku, warna kulit, latar belakang, social, ekonomi dan sebagainya.
d.      Dialog dan ukhuwwah islamiyah: yaitu salah satu cara dalam mengekspresikan sikap toleransi yang tujuanya adalah untuk menghilangkan sifat kefanatikan, mengurangi kecurigaan serta meluruskan cara pandang yang berbeda.
           
            Dari berbagai penjelasan diatas, diharapkan bisa menjadi inspirasi umum kepada kita semua bahwa keberagaman Idonesia ditinjau dari berbagai hal, tidak menjadikanya sebagai alasan untuk bersikap egois, curiga, fanatisme dan berbagai sikap lainya yang merugikan serta menghancurkan keindahan. Namun sebaliknya, seharusnya keragaman tersebut dimaknai dengan baik dan memahami bahwa hal itu adalah fitrah kehidupan. Sehingga yang muncul kemudian adalah keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan sosial.

D.    Kesimpulan
            Dari penjelasan diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa perbedaan adalah suatu hal yang sangat niscaya. Karena dalam semua aspek kehidupan tidak akan berjalan tanpa adanya perbedaan. Dari perbedaan, akan timbul timbal balik saling membutuhkan. Oleh karenanya, seharusnya perbedaan itu dimaknai dengan sebuah rahmat agar menghasilkan keserasian.
            Dalam menghadapi kondisi diatas, hadits sebagai landasan dasar kedua setelah al-Qur’an, sebaiknya dimaknai sesuai dengan konteks yag ada pada saat ini dengan harapan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang sering terjadi karena pemaknaan dari perbedaan yag kurang tepat.
            Sebagai contoh adalah pemaknaan makna jihad. Jihad sering diartikan dengan kekerasan dan peperangan fisik. Sehingga yang terjadi adalah  ketiidaknyamanan dan permusuhan. Oleh karenanya, demi terciptanya kedamaian dan kenyamanan, kita harus memaknainya dengan baik. Agar islam tidak tercoreng nama baiknya.
F. Daftar Pustaka 
Al-qur’an dan terjemahnya, Departemen Agama
Al-Bukhori, Shohih Al-Bikhori, al-kitab al-masykul, lilmathbu’, juz 5,
Jauhaurddin, Menguak hadits diskriminatif, makalah tidak diiterbitkan ( Cirebon:2012 )
Muhammad, Hasyim, Tasir Tematis Al-Qur’an & Masyarakat, ( Yogyakarta: Teras, 2009 ),
Mubarak, M Zaki, Genealogi Islam radikal di Indonesia, ( Jakarta: LP3S, 2007),
Monib, Mohammad & Mulyana, Fery, Pelita Hati Pelita Kemanusiaan, ( Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009),
Muhammad,Akhsin Sakho dkk., Aktualisasi Nilai-nilai Al-Qur’an, ( Cirebon: LSQH IAIN Syekh Nurjati),
Sunan Abu Dawud, bab rahmah, juz Sholeh, Badrus dkk., Budaya Damai Komunitas Pesantren,( Jakarta: LP3S, 2007)
Rahman, Fazlur, Membuka Pintu Ijtihad, ( Bandung: Penerbit Pustaka, 1995), cet. 3, terj.
Umar, Nasaruddin, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an & Hadis, ( Tangerang: Rahmat Semesta Center: 2009), cet. 3
Mujiddudin Ibnu al-Atsir, al-Nihayah fii Gharib al-Hadis, (Cet. I; Lahore: Dar Anshar as-Sunnah, T.Th), Jld. II, h. 398
[1] Ahamd bin Ali bin Hajar al-Asqalany, Fath al-Bary, (Cet. I; Madinah al-Munawarah, 1417 H / 1996 M), Jld. I, h. 94
[1] Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhary, al-Jami' al-Shahih,Kitab; Iman, Bab; Agama itu Mudah,  (Cet. I; Kairo: Maktah as-Salafiyah, 1400 H), Jld. I, h. 29



[1] Penulis adalah ketua umum Himpunan Mahasiswa Tafsir Hadits (HIMA-TH) IAIN Syekh Nurjati Cirebon      periode 2013/2013
[2] MB Badruddin Harun, Budaya Damai Komunitas Pesantren, ( Jakarta: LP3S, 2007), h.56
[3] Ahsin Sakho Muhammad, Al-Qur’an dan Tata Dunia Baru, ( Cirebon: LSQH IAIN Syekh Nurjati, 2011), h. 11
[4] Jauharuddin, Menguak Hadits Diskriminatif, makalah tidak diterbitkan ( Cirebon: 2012)
[5] Fazlur Rahman,  Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung: Pustaka) h. 265-266
[6] Ibid,.
[7] Solahuddin, M Agus & Suryadi, Agus, Ulumul Hadis, ( Bandung: Pustaka Satia, 2008 ) h. 33-35
[8] Ibid,.
[9] Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran dan Hadis, ( Tangerang: Rahmat Semesta Center, 2009), h. 22
[10] Ibid,.h.  24-29
[11] Ibid,. h. 27-29
[12] Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran dan Hadis, ( Tangerang: Rahmat Semesta Center, 2009), h. 123-124
[13] Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhary, al-Jami' al-Shahih Shohih Al-Bikhori, al-kitab al-masykul, lilmathbu’, juz 9, al-Maktabah al-Syamilah
[14] M. Muzaki Mubarak, Genealogi Gerakan Islam Radikal di Indonesia, ( Jakarta: LP3S, 2008), h. 188
[15] Al-Baqoroh:190
[16] Al-Baqoroh: 193
[17] Al-Anfal:61
[18] QS. Al-Mumtahanah: 8
[19] Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhary, al-Jami' al-Shahih Shohih Al-Bikhori, al-kitab al-masykul, lilmathbu’, juz 5, h. 399

[20] Ibid,
[21] Sunan at-tirmidzi, juz 8. H. 83
[22] Mohammad Monib & Fery Mulyana, Pelita Hati, Pelita Kemanusiaan¸( Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), h. 217
[23] Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran dan Hadis, ( Tangerang: Rahmat Semesta Center, 2009), h. 372
[24] Ibid,.h. 373
[25] Achmad Lutfi,Al-Qur’an dan tata  dunia baru, ( Cirebon: LSQH IAIN Syeh Nurjati, 2011), h. 146
[26] Luways Ma'luf, al-Munjid Fii al-Lughah wa al-A'lam, (Cet. XXXIV; Beirut: Dar al-Masyriq, 1994), h. 349.
[27] Mujiddudin Ibnu al-Atsir, al-Nihayah fii Gharib al-Hadis, (Cet. I; Lahore: Dar Anshar as-Sunnah, T.Th), Jld. II, h. 398
[28] Ahamd bin Ali bin Hajar al-Asqalany, Fath al-Bary, (Cet. I; Madinah al-Munawarah, 1417 H / 1996 M), Jld. I, h. 94
[29] Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhary, al-Jami' al-Shahih,Kitab; Iman, Bab; Agama itu Mudah,  (Cet. I; Kairo: Maktah as-Salafiyah, 1400 H), Jld. I, h. 29

[30] Sunan Abu Dawud, bab rahmah, juz 4, h. 440
[31] Op. cit
[32] Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran dan Hadis, ( Tangerang: Rahmat Semesta Center, 2009), h. 374-380

1 komentar: