A, Pendahuluan
Kemajemukan makhluk Tuhan dalam segala
fersinya merupakan sebuah keniscayaan yang mutlak harus ada. Pasalnya, keragaman yang
terjadi di dunia ini merupakan desain Tuhan yang tak tertandingi. Serta jika
kita sejenak berfikir bahwa manusia sebagai makhluk sosial,
tidak dapat hidup dengan sendirinya tanpa bantuan orang lain. Hal ini sejalan dengan kondisi kehidupan
bangsa yang heterogen dengan berbagai pernak-perniknya. Maka, barang siapa yang mengabaikanya berarti sama halnya dengan mengabaikan
kemanusiaanya sendiri. Karena manusia sebagai makhluk sosial tidak akan bisa
hidup sendiri tanpa dukungan dari pihak lain.[3] Artinya, perbedaan tersebut harus dimaknai
sebagai alat untuk saling melengkapi dan saling membutuhkan, bukan untuk saling
memusuhi. Atau bahkan menjadikanya sebagai alat untuk melakukan penindasan
terhadap orang lain.[4] Namun pada kenyataanya, perbedaan yang ada
sering dipahami sebagai bentuk perbedaan dalam arti sebenarnya. Sehingga yang
muncul kemudian adalah konflik horizontal yang menjadikan
isu-isu etnis ras dan agama sebagai pemicunya. Oleh karenanya keserasian yang
diharapkan tidak pernah tercapai dan bahkan malah menimbulkan perpecahan.
Dari sini, munculah pluralisme sebagai reaksi dari tumbuhnya klaim
kebenaran oleh masing-masing golongan terhadap pemikiranya sendiri. Setidaknya menurut
para pendukung pluralisme, konflik horisontal akan selesai jika masing-masing
agama tidak menganggap bahwa agamanya yang paling benar. Akan tetapi, masalah yang kita hadapi ketika
membicarakan topik ini adalah seputar bagimana pluralisme dipandang oleh para
mufassir? Yang dalam hal ini kami mengambil sampel dari penaafsiran As-Sya’rowi. Karena pada
kenyataanya, banyak kalangan yang menerima pluralisme sebagai sesuatu yang boleh,
akan tetapi disisi lain ada juga yang menganggap bahwa pluralisme itu tidak
boleh dan bahkan menyesatkan. Oleh karenanya, melalui tulisan ini, penulis akan
mencoba mengeksplor beberapa ayat al-Qur’an yang sering dijadikan argumentasi
berkaitan dengan bahasan ini dalam tafsir As-Sya’rowi.
B.
Pengertian Pluralisme
Plural dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan
sebagai “jamak” atau lebih dari satu. Sedangkan pluralisme diartikan sebagai
keadaan masyarakat yang majemuk berkaitan dengan sistem sosial dan polittiknya.[5] Adapun
jika pluralisme disandarkan dengan agama, setidaknya akan berarti suatu
realitas tunggal tertinggi yang dipahami dan diyakini secara berbeda-beda dalam
tradisi-tradisi agama-agama, dimana agama-agama tersebut menawarkan jalan yang berbeda-beda menuju
tujuan tertinggi yang sama.[6]
Secara
sederhana pluralisme dapat diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya
keragaman pemikiran, peradaban, agama dan budaya. Bahkan, bukan hanya
menoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui
kebenaraan masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya
Nama Assya’rowi adalah Syaikh Muhammad Mutawalli
As-Sya’rawi, Beliau adalah seorang Syaikh Imam ad-Da’iyat al-Islam (penyeru
agama Islam. Beliau lahir pada tanggal 16 April 1911 M di
kampung Daqadus desa Mid Ghamr provinsi Daqahliyyah. Beliau wafat pada tanggal
17 juni 1998. Sejak kecil Sya’rawi sudah mendapat gelar dari ayahnya sebagai
al-amin dan gelar ini juga dikenal masyarakat di daerahnya. Beliau berasal dari
keluarga yang sederhana namun memiliki keturunan terhormat. Ayahnya adalah
seorang pedagang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan.
Pendidikan Sya’rawi dimulai dari menghafal al-Qur’an
kepada seorang syaikh di daerahnya yaitu Syekh Abdul Majid Pasha. Beliau
tamat menghafal al-Qur’an pada usia 11 tahun, kemudian Ia disekolahkan di
sekolah dasar al-Azhar di Zaqaziq tahun 1926. Lalu,
dia melanjutkan sekolah menengah pertama di al-Azhar, tamat Tsanawiyyah pada
tahun 1932. Syaikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi masuk kuliah di fakultas Bahasa
Arab pada tahun 1937, beliau tamat pada tahun 1941. Kemudian ia juga menamatkan
pendidikan A’lamiyyah dan mendapatkan lisensi mengajar pada tahun 1943.
Karirnya diawali sebagai tenaga pengajar di ma’had
al-Azhar Thantha, ma’had Alexandria, ma’had Zaqaziq, kemudian mengajar di
ma’had Thantha lagi. Beliau juga menjadi dosen jurusan tafsir hadis
di fakultas Syari’ah Universitas Malik Abdul Aziz di Makkah, ia mengajar selama
sembilan tahun. Ia juga diangkat menjadi wakil kepala sekolah di Al-Azhar,
pernah memangku jabatan sebagai direktur dalam pengembangan dakwah Islam pada
departemen wakaf tahun 1961 M. beliau mulai terkenal ketika menjadi seorang
da’i pada tahun 1973. Sya’rawi ditawari mengisi acara Nur ‘ala Nur di stasiun
televisi Mesir, mulailah namanya mencuat dan terkenal sebagai da’i yang
kondang. Begitu banyak karir beliau dalam bidang pembelajaran, dalam bidang
pemerintahan maupun bidang Da’i, sehingga tidak bisa disebutkan satu persatu.[8]
Perlu diketahui bersama, bahwasannya Sya’rawi tidak
menulis buku-bukunya karena beliau berpendapat bahwa kalimat yang disampaikan
secara langsung dan diperdengarkan akan lebih mengena daripada kalimat yang
disebarluaskan dengan perantara tulisan, sebab semua manusia akan mendengar
dari narasumber yang asli. Jika dalam bentuk tulisan maka tidak semua
orang dapat membacanya. Kitab ini merupakan hasil
kolaborasi kreasi yang di buat oleh murid al-Sya‟rawi yakni Muhammad
al-Sinrawi, „Abd al-Waris al-Dasuqi dari kumpulan pidato-pidatoatau
ceramah-ceramah yang dilakukan al-Sya‟rawi. Sementara
itu, hadis-hadis yangterdapat didalam kitab Tafsir al-Sya‟rawi di takrij oleh Ahmad „Umar Hasyim. Kitab ini diterbitkan oleh Ahbar al-Yaum Idarah
al-Kutub wa al-Maktabah pada tahun 1991(yaitu tujuh tahun sebelum al-Sya‟rawi meninggal dunia). Dengan demikian, Tafsir
al-Sya‟rawi ini merupakan kumpulan hasil-hasil pidato
atau ceramah al-Sya‟rawi yang kemudian di edit dalam bentuk tulisan
buku oleh murid-muridnya. Tafsir ini merupakan golongan tafsir bi al-lisan atau
tafsir sauti (hasil pidato atau ceramah yang kemudian di bukukan).[9]
Diantara
karya-karyanya itu adalah sebagai berikut: Al-Syaithan wa al-Insan, Al-Du’a
Al-Mustajabah, Al-Mar’ah Fi al-Qur’an, Al-Mukhtar min Tafsir Al-Qur’an
al-‘Adzim, Syekh Mutawalli Sya’rawi Qadhaya Ashr, Al-Fatawa al-Kubro, Majmu’at
Muhadharah Sya’rawi, Al-Mausu’ah al-Islamiyah li al-Athfal.[10]
Adapun mengnai nama tafsir al-Sya‟rawi di ambil dari nama asli pemiliknya yakni al-Sya‟rawi.Menurut Muhammad „Ali Iyazi, judul yang terkenal
dari karya ini adalah Tafsir al-Sya‟rawi Khawatir al-Sya‟rawi Haula al-Qur‟an al-Karim. Pada mulanya
tafsir inihanya di beri nama Khawatir al-Sya‟rawi yang dimaksudkan
sebagai sebuah perenungan (Khawatir) dari diri al-Sya‟rawi terhadap ayat-ayat al-Qur‟an yang tentunya bisa saja salah dan benar terhadap orang
yang menafsirkannya.
D.
Pluralisme dalam
Tafsir As-Sya’rowi[11]
Ketika berbicara
tentang pluralisme orang-orang pluralis biasanya menggunakan ayat-ayat
al-Qur’an sebagi berikut:
Ayat pertama
لا
إِكْرَاهَ فِي الدِّين
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)” (QS. Al Baqarah [2]: 256)
Dalam menafsirkan ayat tersebut As-sya’rowi
menjelaskan bahwa yang dinamakan “ikroh” adalah seperti kita membawa perubahan
atas suatu pekerjaan yang tidak diketahui secara pasti apakah ia baik jika
dikerjakan
Makna dari ayat diatas adalah bahwa sesungguhnya Allah
tidak memaksa makhlukNya dalam beragama meskipun pada hakikatnya Allah pun bisa
memaksa makhlukNya pada satu pilihan agama sebagaimana Allah juga memaksa
langit, bumi,hewan, tumbuhan serta yang lainya. Dan sesungguhnya
tidak ada seorangpun yang dapat mencegah terhadap apa yang telah dikehendakiNya. Berkaitan
dengan kehendak Allah adalah Sebagaimana Allah SWT. Berfirman dalam surat
Ar-Ra’du:31
Begitu pula ketika para utusan Allah ditugasiNya. Mereka tidak melakukan paksaan akan tetapi
dengan ajakan yang baik untuk
menyembah kepada Allah semata. Oleh
karenanya, Allah menjadikan makhluk yang mengikuti perintah para rasulNya sebagai makhluk
pilihan. Allah juga berfirman dalam surat Yunus:99
وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأرض
كُلُّهُمْ جَمِيعاً أَفَأَنتَ تُكْرِهُ الناس حتى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ
Sesungguhnya yang terpenting dikerjakan oleh para
utusan adalah menyampaikan apa yang diperintahkan oleh Allah. Jika seperti itu,
maka ada perbedaan antara “Paksaan atas agama” dan juga “Paksaan untuk mencari
agama”
Sebagai contoh apabila kita bertanya kepada seseorang
mengapa engkau tidak sholat? Lalu dia
menjawab “لاَ إِكْرَاهَ فِي الدين
“ maka hal ini tidak bisa dipakai untuk dalil yang demikian, karena ayat ini hanya berhubungan dengan
akidah dan keimanan. Maka, apabila seseorang telah beriman, berarti dia telah menjadi muslim.
Maka, segala konsekuensi yang berhubungan
dengan iktikad itu harus ditanggungnya.
Ayat kedua
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ
هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi,
orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang
benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan
menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah [2]: 62
Menurut
As-Sya’rowi yang dimaksud dengn ayat diatas adalah orang-orang yang beriman
atau kesucian yang diturunkan bersama nabi Adam ke bumi. Kemudian datang pula
agama-agama baru akan tetapi banyak yang mengingkarinya seperti halnya kaum
nabi Nuh, nabi Lut, firaun dan sebagainya. Kemudian datang pula agama baru yang
banyak diikuti sampai sekarang seperti Yahudi, Kristen dan Shobaniyah. Akan
tetapi Allah SWT berkehendak ingin mengumpulkan semua agama-agama terdahulu
pada risalahnya nabi Muhammad SAW.[12]
Jadi, mereka yang mengimani nabi Adam ataupun utusan yang
lainya, orang-orang Yahudi, Kristen serta Shobiun, maka Allah memberitahukan bahwa ajaran
yang mereka gunakan itu telah selesai. Dan barangsiapa yang beriman
kepada nabi Muhammad SAW maka tidak ada keraguan serta tidak pula
bersedih hati.[13]
Semua manusia juga dituntut untuk beriman
kepada nabi Muhammad SAW. Dan
sesungguhnya nabi juga telah mengajak kepada semuanya untuk beriman
kepada risalahnya. Meskipun ada orang yang dahulu
pernah hidup di zaman nabi Adam, nabi
Idris, serta yang lainya, mereka juga dituntut untuk mengimani dan membenarkan
satu agama yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW yaitu islam. Kerena sesungguhnya agama islam
telah menghapus kepercayaan-kepercayaan yang dulu di bumi. Adapun apabila mereka telah beriman,
maka tidak ada ketakutan dan kesusahan baginya.
Kedatangan islam sendiri merupakan suatu upaya untuk
menghilangkan anggapan bahwa agama yang mereka anut adalah benar. Sebagaimana pada ayat yang lainya Allah
telah berfirman juga dalam surat Ali Imron:19
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإسلام دِيناً
فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ } [ آل عمران : 85 ]
“Barangsiapa mencari agama selain
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya,
dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran [3]: 85)
Berkitan dengan ayat diatas, As-Sya’rowi juga
menjelaskan bahwa barang siapa mencari agama selain islam, maka ia tertolak. Adapun
yang dimaksudkan dari ayat itu adalah Allah menghendaki pada orang-orang yang mengikuti
agama setelah islam dan beranggapan bahwa agama yang mereka anut adalah benar
dan bermanfat baginya. Maka, dengan ayat
diatas, Allah memberikan jawaban bahwa
orang yang mencari agama selain islam maka agamanya tertolak.[14]
Rasulullah
juga menegaskan dalam sabdanya:
(( وَالَّذِيْ
نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يِسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ
يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ َيمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ
أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ ))
“Demi Yang jiwaku di Tangan-Nya,
tidak seorangpun dari umat manusia yang mendengarku; Yahudi maupun Nasrani,
kemudian mati dan tidak beriman dengan ajaran yang aku bawa melainkan dia
adalah penghuni neraka.” (HR Muslim)[15]
Adapun yang dinamakan kaum Shobaniyah ulama berbeda
pendapat sebagian ada yang mengatakan bahwa mereka adalah umat nabi Nuh akan
tetapi mereka berubah setelah nabi Nuh tiada kemudian mereka menyembah selain
Allah seperti halnya matahari, bulan dan
bintang. Pendapat lain mengatakan bahwa yang dinamakan kaum Shobaniyah adalah
orang-orang yang berpindah agamayang ada dizamanya kepada agama yang baru.
Serta ada pula yang berpendapat bahwa yang dinamakan kaum Shobaniyah adalah
sekelompokorang-orang yang berakal. Mereka berkata “bagaima mungkin kami
menyembah berhala,sedangkan kami sendiri yang membuatnya?
Ayat ketiga
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا
وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ
إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا
فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي
إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu
tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan
Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat
berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah
menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada
(agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Asy Syura [42]: 13)
Ayat ini juga di antara ayat yang
dikatakan mendukung pluralisme agama karena dalam ayat ini disebutkan tentang
syariat nabi-nabi sebelum nabi Muhammad shallallah ‘alaihi wa sallam. Mereka
mengatakan bahwa seluruh ajaran para nabi adalah sama, maka dengan demikian
agama-agama yang ada sekarang pun adalah sama. Padahal, ayat ini juga tidak
menunjukkan kebenaran faham pluralisme agama sama sekali. Benar, bahwa pokok
ajaran para nabi seluruhnya adalah sama, seperti yang disebutkan dalam ayat
ini. Semua para nabi dan rasul yang diutus oleh Allah membawa ajaran yang satu.[16]
إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَٰمُ ۗ وَمَا ٱخْتَلَفَ
ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ إِلَّا مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلْعِلْمُ
بَغْيًۢا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ فَإِنَّ ٱللَّهَ
سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat
cepat hisab-Nya.
Dalam menafsirkan ayat tersebut As-Sya’rowi secara tegas mengatakan tidak
ada agama yang diterima disisi Allah kecuali islam. Sebagaimana kita ketahui
bahwa disetiap agama lain juga memerintahkan unutk berbuat kebajikan dan
kepatuhan, akan tetapi semua itu tidaklah berarti bagi Allah. Karena
sebagaimana ayat diatas menjelaskan bahwa agama yang diridhoi disisi Allah
adalah islam. Maka, lebih lanjut As-Sya’rowi juga mengutip ayat lain yaitu :لكم دينكم ولي دين “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”
Setelah kita melihat berbagai penafsiran As-Sya’rowi diatas, maka ada yang
perlu disiasati bila akan kita praktikan dimana agama yang berkembang
dimasyarakat sangat beragam. Diantaranya adalah mengembangkan sikap toleransi
kepada umat-umat lain. Sebagaimana Allah sendiiri menjelaskan bahwa tidak ada
paksaan dalam beragama.
Oleh karenanya, demi
terwujudnya kehidupan yang harmonisdan taanpa harus menggadaikan agama, maka
alangkah etisnya apabila pluralisme yang kitayakini adalah pluralisme yang “Toleran
tertutup” yaitu dengan menggarisbesarka pluralisme sebagai berikut: Pertama:
pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan.
Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan
tersebut. Seseorang baru dapat dikatakan sebagai penyandang sifat tersebut bila
ia dapat berinteraksi dalam lingkungan tersebut secara baik. dengan kata lain,
pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama ditutut bukan saja
mengakui keberadaan dan hak agama lain,
akan tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaandan persamaan guna tercapainya
kerukunan dalam kebhinekaan. Kedua:Pluralisme
harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Dimana bahwa kosmopolitanisme menunjuk
kepada suatu relita dimana aneka ragam
agama, ras danbangsa hidup berdampingan
disuatu lokasi. Ketiga: konseppluralisme tidak dapat disamakan
dengan relativisme yang menitikberatkan suatu kebenaran dengan cara berpikir
sesorang atau kelompok. Karena, sebagai konsekuensinya adalah doktrin agama
apapun harus dinyatakan “Benar” atau dalam bahasa lain, semua agama sama. Oleh
karenanya banyak orang yang enggan
menggunakan kata pluralisme agama, karena hawatir terperangkap dalam pusaran relativisme agama. Keempat:
Pluralisme agama bukanlah sinkretisisme yaitu mencipatakan suatu agamaatau
kepercayaan baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian koponen agama
untuk dijadikan satu.[17]
E.
Analisis
penulis
Setelah membaca penafsiran As-Sya’rowi
tentang aya-ayat yang sering digunakan oleh kaum pluralis, maka, tampak jelas
sekali bahwa dalam menafsirkan ayat-ayat terssebut beliau tidak memberikan
peluang kepada kaum pluralis untuk menguatkan
pendapatnya. Akan tetapi, As-Sya’rowi lebih memilih menafsirkan ayat-ayat
tersebut berdasarkan kenyataan bahwa agama yang dikehendaki serta diridhoi dalam ayat-ayat yang disebutkan adalah agama
islam. Sedangkan agama yang lainya itu ditolak. Oleh karenanya, bila sedikit
disimpulkan, As-Sya’rowi sama sekali tidak menerima kebenaran diluar agama
islam.
Dengan demikian, maka berarti pula
bahwa penafsiranya tidak bisa dijadikan argumentasi bagi kaum pluralis untuk menguatkan
pendapatnya.
F.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas
dapat disimpulkan bahwa Allah sama sekali tidak memaksa hambanya untuk condong
pada satu agama saju (baca: islam). Hal ini menunjukan pula arti bahwa secara
fungsional, islam mengakui adanya agama diluar islam. Meskipun secara tegas dibantah oleh As-Sya’rowi
bahwa keberadaan agama lain diluar islam berarti diperbolehkan kepada kita
untuk mengikutinya. Karena pada dasarnya meskipun banyak beragam agama, hanya
islam saja yang yang diterima.
Adapun bila kita
melihat kondisi masyarakat yang heterogen, maka demi terciptanya kerukunan
bersama pengakuan pada agama lain itu sangat diperlukan. Hanya saja tidak
sampai pada level pengakuan bahwa semua agama itu benar dan sama.
G.
Daftar Pustaka
MB Badruddin Harun, Budaya Damai Komunitas Pesantren, (
Jakarta: LP3S, 2007),
Ahsin Sakho Muhammad, Al-Qur’an dan Tata Dunia Baru, (
Cirebon: LSQH IAIN Syekh Nurjati, 2011)
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Balai Pustaka; Jakarta)edisi 2, cet 1, halaman 777
Sanusi, Burhanudin, Abdurrahman
Wahid; Warna Pemikiran dalam Diskursus Pluralisme Global, Makalah tidak diterbitkan,
Cirebon, 2011,
Pada bagian ini penulis merangkum dari http://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir-al-syarawi-khawatir-al-syarawi-haula-al-quran-al-karim/ diakses pada hari Minggu, 10 Februari 2013
jam 13.14
Mutawalliy Al-Sya’rowi, Muhammad, Tafsir
Al-Sya’rowi (al-Maktabah al-Syaamilah)
Al Ibthâl li Nadzariyyati al Khalth Bayna Dînil Islâm
wa Ghairi Minal Adyân,
“Membangun Landasan Dialog antar
Agama”
Abul HusainMuslim binAl-Hajjajbin Muslim,Shohih
Muslim, (al-Maktabah al-Syamilah)
[1] Diajukan untuk memenuhi
tugas pribadi dalam mata kuliyah Study Tafsir Modern yang diampu oleh ibu Hj.
Hartati, MA
[2] Penulis adalah mahasiswa jurusan Tafsir Hadis
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
[3] MB
Badruddin Harun, Budaya Damai Komunitas Pesantren, ( Jakarta: LP3S,
2007), h.56
[4]
Ahsin Sakho Muhammad, Al-Qur’an dan Tata Dunia Baru, ( Cirebon: LSQH
IAIN Syekh Nurjati, 2011), h. 11
[6] Sanusi, Burhanudin, Abdurrahman
Wahid; Warna Pemikiran dalam Diskursus Pluralisme Global, Makalah tidak
diterbitkan, Cirebon, 2011, hal. 2
[7] Pada bagian ini penulis
merangkum dari http://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir-al-syarawi-khawatir-al-syarawi-haula-al-quran-al-karim/ diakses pada hari Minggu, 10 Februari 2013 jam 13.14
[9] http://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir-al-syarawi-khawatir-al-syarawi-haula-al-quran-al-karim/ diakses pada hari Minggu, 10 Februari 2013 jam 13.14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar