“WACANA POLITIK UMAT”
Mengawali study wacana umat mengenai politik dan tata negara dalam hubunganya dengan islam, ada baiknya bila kita perhatikan ungkapan nurcholis majid ketika ia mengantarkan buku yang ditulis oleh Syafii ma’arif bahwa salah satu karakteristik agama islam pada masa-masa penampilanya ialah kejayaan di bidang politik.
Tercatat dalam sejarah islam bahwa sepeninggal Rosulullah SAW, persoalan imamah dalam kehidupan umat semakin penting sehingga banyak diperbincangkan. Akan tetapi kemudian masalah tersebutdianggap selesai setelah Abu Bakar diangkat menjadi kholifah. Meskipun dikemudian hari masalah tersebut muncul dan menghangat kembali dikalangan umat.
Dalam hubunganya dengan konstelasi politik dan perjuangan umat islam di Indonesia hingga kini tidak sedikit diantara umat yang masih terkesan kaku ketika membicarakan masalah politik. Bahkan , terkesan ketakutan. Padahal polotik adalah sesuatu yangmulia dan terhormat yang hanya dimiliki oleh manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling bermartabat, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Kholdun. Di dalam ajaran islam, bidang politik merupakan salah satu bidang kehidupan umat yang memegang peranan penting untuk mengembangkan dan mengeksisitensikan umat islam itu sendiri. Jadi, politik itu bukan sesuatu yang selamanya kotor apalagi harus dijauhi.
Persoalan yang mungkin timbul ialah mengapa di Indonesia cenderung seperti itu? Hal ini tentu dapat dipahami karena:
1. Selama ini masih kuat anggapan bahwa agama pada umumnya merupakan acuan etik normatif, sedangkan politik adalah urusan duniawi semata.
2. Indonesia bukan negara yang didasarkan pada slah satu agama, tetapi juga tidak sekuler.
Dalam lintasan sejarah Indonesia, umat islam telah mengusahakan bagaimana agar islamdapat dijadikan dasar negara indonesia. Akan tetapi, gagasan itu tidak terwujud. Mengapa? Jika politik bagian dari produk umat, itu berarti bahwa uamat islam Indonesia telah berada pada rel yang benar terhadap pembaharuan politik dalam wacana umat. Bahkan, islam telahmenunjuka jati dirinya sebagai komponen terpenting yang turut membentuk danmewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Kekuranganya adasatu –terutama waktu itu- yaitu tidak didukung oleh ilmu. Seandainya kekurangan itu teratasi, tidak mustahil dari bumi Indonesia akan lahir dan muncul pemikiran-pemikiran segar dan jernih mengenai konsepsi politik islam yang modern.
Menghadapi pemikiran dan kenyataan seperti itu, Natsir (1957:11) menyatakan bahwa ajaran-ajaran islam mengenai ketatanegaraan dan kehidupan masyarakat mempunyai sifat-sifat yanf sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat, serta dapat menjamin terjadinya keragaman hidup atau adanya sikap saling menghargai antara berbagai golongan di dalam suatu negara. Disinilah buktinya bahwa politik merupakan bagian integral dari ajaran islam.
Politik sebagai sistem adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan negara, siapa pelaksana kekuasaan tersebut, apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan dan kepadasiapa pelaksana kekuasaan itu diberikan, kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk pertanggungjawabanya. Adapun tentang bagaimana bentuk negara atau sistem pemerintahanya, islam memberikan peluang secarafleksibel untuk memilih dan menentukan mana yang dianggap atau paling sesuai dengan aspirasiumat sepanjang aspirasi dan kehendaktersebut secara prinsipil tidak bertentangan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh islam.
Landasan normatif wacana politik umat
Harapan yang dicapailewat bagian ini adalah terkuaknya apa dan bagaimanaislam sehingga mampumemberikan petunjuk bagi umat manusia, terutama kepada umat islam sendiri. Untuk itu, akan dikemukakan beberapa ayat yang meyebut secara eksplisit di bidang-bidang universal serta prinsip dasardalam interaksinya dengan komunitas kehidupan tertentu yang berhubungan dengan bidang politik.
Perkembangan politik umat
Budaya dan perilaku umat islam Indonesia, juga tidak tertutup kemungkinan untuk mengalami suatu riwayat kehidupan politik yang mudah untuk berpecah. Pernyataan tersebut harus diakui sebagai suatu kenyataan umum yang tejadi dimana-mana. Guan meminimalisasikan keadaan seperti itu, jauh sebelumnya, Allah maupun rosulNya telah memperingatkan kepada umat islam bahwa persatuan itu jauh lebih baik dan penting daripada perpecahan. Perpecahan dalam berbagai segi tidak pernah menguntungkan. Secara normatif kita telah memahami mengenai urgensi persatuan dan kesatuan, serta bahayanya perpecahan. Ada yang hilang dan jauh dari kita selama ini, yaitu kesadaran dan kesiapan kita menundukkan kemanusiaan kitaitu dibawah kehendak Allahsebagai mana yang termaktub dalam ajaran-Nya.
Oleh karena itu, yang perlu kita kembangkan sekarang ini ialah memandang keragaman pendapat sebagai kekeyaan bersama. Apakah kita dapat menjadikan pebedaan diantarakita sebagai rahmat, sebagaimana yang pernah diberi tahukan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam sabdanya, “Ikhtilafu ummati rahmat”. Dengan demikian, janganlah perbedaan itu menyebabkan kita saling benci, saling memojokan dan menyalahkan. Ini sejalan dengan slogan yang kita sebut bahwa secara sosiologis atau kuntitatif, umat Islam yang mayoritas ini dapat dijadikan aset potensial untuk membangun peradaban dan tatanan masyarakat Indonesia yang modern, maju, dan unggul.
Tidak dapat kita persalahkan begitu saja mereka yang berpendapat bahwa pejalanan politik umat sebagian dari komunitas plural ini belum optimal memainkan peranannya di semua sektor kehidupan. Kenyataan ini karena kebanyakan umat masih di pengaruhi oleh paradigma berpikir yang terkotak-kotak oleh hal yang bersifat furu atau fuqhiyah, perbedaan latar belakang dan level pendidikan, rendahnya kualitas pendidikan, dominasi kepentingan pribadi atau kelompok, adanya infiltrasi aqidah umt dari dalam dan luar.
Pantaslah jika sepanjang sejarah perjalanan dan perjuangan bangsa Indonesia, umat islam indonesia pelum pernah menunjukan suatu reputasi internasioal di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi walaupun secara internal, umat ini telah menunjukkan keberhasilannya di bidang sejarah, yaitu ketika menguasai wilayah dan membentuk kerajaan di masa silam ( Karim, 1985:30 ). Jadi, besar kemungkinan motif utama adanya gerakan umat islam ini masih lebih bersifat politis dibandingkan ekonomi.
Jika benar apa yang di kemukakan di atas, semakin kuatlah dugaan adanya keinginan umat untuk menghadirkan Ilam sebagai suatu idiologi modern dan sistem pemerintahan yang lebih progresif, dalam artian pemikiran Islam telah berusaha untuk melakukan redefinisi terhadap seejumlah konsep, teori, dan wacana politik islam ke dalam istilah demokrasi. Paham tersebut menurut Najjar ( 1990:81 ) adalah kesamaan dan kesejajaran manusia di hadapan Tuhan dapat mengatasi perbedaan-perbedaan rasial, etnis dan warna kulit, kebebasan beragama dan berpikir, baik kepada kaum muslim maupun non- muslim, pengakuan otoritas (bay’ah), dan konsesus (ijma).
Di indonesia misalnya, tampak adanya pemikiran, pertumbuhan, dan pergeseran dinamika umat yang sekaligus menggambarkan terjadinya polarisasi umat berdasarkan politik aliran. Fakta tersebut dapat dilihat melalui adanya dua macam kelompok yang menurut istilah Anshori (1981:8) adalah nasionalism eislam dan nasionalisme sekuler. Keduanya menjadi sublimasi sistem dan wacana umat yang kian terbelah kedalam berbagai kelompok komunitas yang semakin kompleks dan terpilah-pilah. Segmentasi dan penyimpangan solidaritas kelompok tersebut merupakan gejala yang menghiasi perjalanan perkembangan sosial politik umat islam di Indonesia.
Kalau kita memperhatikan aktualisasi politik aliran umat islam ditanah air,hal itu muncul pertama kali dalam bentuk yang lebih ekonomis melalui syarikat islam (SI). Bahkan, sepanjang perjalananya menjadi partai politik pertama dalam sejarah Indonesia. SI lebih menampakan corak nasional. Adapun partai Masyumi, NU, Perti dan lain-lainya, bagaimanapun penilaian terhadapnya, merupakan bagian dari peran politik umat islam di Indonesia, yang menjadi tempat umat untuk menyalurkan aspirasi politiknya.
Tolak ukur keberhasilan suatu partai biasanya dilihat berdasarkan kursi yang dioperolehnya di lembaga legislatif.
Banyaknya partai yang muncul dengan membawa bendera islam, maka sudah dapat dipastikan akan menyentuh “sentimen-sentimen keagamaan”. Karena bagaimanapun juga, simbol dan bahasa agama, hingga kini masih dianggap paling ampuh untuk membentuk wacana umat, mempengaruh isimpatisan, yang pada akhirnya memperoleh dukungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar