Blem.com: Problematika Hadis

Jumat, April 12, 2013

Problematika Hadis



Hadis sebagaimana diyakini oleh kaum muslim merupakan sumber kedua setelah al-qur’an. Dimana dalam keyakinan tersebut mempelajarinya merupakan ibadah. Oleh karena Hadis juga memiliki otoritas dalam keagamaan maka para ulama terdahulu telah  memilih serta menyeleksi hadis berdasarkan pada klasifikasi yang sangat ketat. Sehingga dapat diyakini  keotentikanya. Sementara itu para sarjana muslim pengkaji hadis sangat dipengaruhi oleh peran penting hadis sebagai sumber hukum serta otoritasnya. Namun dilain sisi, ada perbedaan sudut pandang yang dilakukan oleh Barat dimana hadis bukan dimaknai sebagi sumber ajaran teologis melainkan hanya untuk kepentingan sejarah.sebagai  contoh adalah ketika mereka mempelajari hukum Islam.mereka memandang bukan dari sudut pandang bahwa semua itu merupakan sumber pemikiran, bukan sebagai hak dan kewajiban yang harus dilakukan. Dengan kata lain,mereka merupakan para pakar budaya, bukan ahli hukum meskipun mereka  mengetauhi hukum.
Sejak  abad ke 19 pengkajian mengenai otentisitas hadis mulai  ramai diperbincangkan, baik dari kalangan Muslim ataupun Barat.  Sebagaimana Abu Hayyan menyebutkan bahwa originalitas hadis telah rusak karena adanya periwayatan bil ma’na.
Pandangan Barat yang mengatakan bahww hadis merupakan sumber sejarah telah menjadi polemik yang sangat panjang. Diantaranya adalah munculnya sikap skeptis terhadap hadis. Bahkan mereka meragukan separuh hadis yang dimuat dalam shohih Bukhori. Sikap kritis Barat ini menjadikan hadis menuai  banyak kritik.  Sampai pada puncaknya adalah apa yang dilakukan oleh Ignaz Golziher sebagai orang yang pertama kali membawa hadis pada ranah kajian kritis. Ia menganggap bahwa hadis bukan merupakan sumber terpercaya dalam Islam melainkan sebuah sumber yang mengandung nilai dogmatis.
Tidak berhenti sampai disitu,pengkajian Barat mulai ramai sebagaimana muncul pula Josep shcat yang mengatakan bahw suatu sanad memiliki kecenderungan membengkak pada masa belakangan dari periwayatan. Dengan teori common linnk-nya ia mengatakan bahwa sedikit sekali hadis yang berasal dari nabi. Asumsi ini dilandaskan pada orang yang meriwayatkan hadis. Suatu hadis dinyatakan historis apabila memiliki periwayat yang banyak. Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa dimasa awal islam, periwayat hadis sangatlah sedikit. Baru pada masa belakangan muncul para periawayat baru yang sangat banyak jumlahnya.
Study Barat atas Islam tidak berhenti disitu. Setelah Shcat memunculkan teorinya, teori tersebut  juga diadopsi oleh sarjana Barat yaitu Juynboll.  Ada hal pe nting yang menjadi pertanyaan mendasardalam study Juynboll adalah bahwa historisitas suatu hadis sepatutnya  dimunculkan dari pertanyaan “dimana, kapan dansiapa yang bertanggungjawab atas keotentikan suatu hadis.
Baik Shcat  ataupun Juynboll, keduanya mengatakan bahwa common link merupakan pemalsu hadis. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dikatakan oleh  Motzki yang cenderung mengatakan bahwa common link merupakan bukti dari suatu hadis mulai diriwayatkan secara sistematis. Oleh karenanya dengan kesimpulan ini, berarti apa yang ada diatas common link merupakan periwayat hadis yang asli.

Bagi sarjana Muslim awal, polemik mengenai keotentikan suatu hadis sudah diyakini dan diketahui lebih awal sebelum Barat mulai melakukan kritik terhadap keotentikan hadis. Hal ini terlihat dari banyak karya ulama yang mencoba menelusuri hadis-hadis yang shohih dan yang memiliki derajatdibawahnya. Dalam melakukan kritik hadis tersebut, para ulama klasik menggunakan tiga pendekatan yaitu: Pertama: mengkaji riwayat.  Yakni  menelusuri kesinambungan antara perowi yang satu dengan perowi yang lainya. Usaha ini merupakan mencari jalur-jalur sanad yang dapat dipercaya dan memiliki ketersambungan sanad. Kedua: mengkaji tentang nama-nama perowi. Dalam hal ini yang dilakukan adalah menjelaskan nama-nama perowi  baik kelahiranya, guru, murid, sikap, keseharian, serta daya ingat atau kekuatan hafalanya. Ketiga: mengkaji kandungan hadis. Dimana dalam hal ini yang ditekankan adalah pengkajian matan hadis. Apakah ia bertentangan denganal-Qur’an atau tidak,  atau juga dengan hadis lain yang lebih tsiqoh.
Metode yang dilakukan oleh ulama hadis periode awal ini juga sempat menimnulkan kontroversi. Analisis sanad yang lebih dikedepankan oleh para ulama,  dinilai telah mengabaikan esensi dari makna hadis. Pendapat seperti ini juga ditolak oleh beberapa pengkaji lain bahwa pad dasarnya, apa yang dilakukan oleh sarjana di awal penulisan hadis sama sekali tidak meninggalkan aspek matan. Bahkan pengkajian sanad sendiri erupakan satu upaya untuk mengetahuai kualitas hadis. Yang pada akhirnya akan pada satu kesimpulan bahwa apa yang telah dilakukan oleh para pengkaji hadis di masa awal itu merupakan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar