Hadis sebagaimana diyakini oleh kaum muslim merupakan sumber kedua setelah al-qur’an. Dimana dalam keyakinan tersebut mempelajarinya merupakan ibadah. Oleh karena Hadis juga memiliki otoritas dalam keagamaan maka para ulama terdahulu telah memilih serta menyeleksi hadis berdasarkan pada klasifikasi yang sangat ketat. Sehingga dapat diyakini keotentikanya. Sementara itu para sarjana muslim pengkaji hadis sangat dipengaruhi oleh peran penting hadis sebagai sumber hukum serta otoritasnya. Namun dilain sisi, ada perbedaan sudut pandang yang dilakukan oleh Barat dimana hadis bukan dimaknai sebagi sumber ajaran teologis melainkan hanya untuk kepentingan sejarah.sebagai contoh adalah ketika mereka mempelajari hukum Islam.mereka memandang bukan dari sudut pandang bahwa semua itu merupakan sumber pemikiran, bukan sebagai hak dan kewajiban yang harus dilakukan. Dengan kata lain,mereka merupakan para pakar budaya, bukan ahli hukum meskipun mereka mengetauhi hukum.
Sejak abad ke 19 pengkajian
mengenai otentisitas hadis mulai ramai
diperbincangkan, baik dari kalangan Muslim ataupun Barat. Sebagaimana Abu Hayyan menyebutkan bahwa
originalitas hadis telah rusak karena adanya periwayatan bil ma’na.
Pandangan Barat yang mengatakan bahww hadis merupakan sumber
sejarah telah menjadi polemik yang sangat panjang. Diantaranya adalah munculnya
sikap skeptis terhadap hadis. Bahkan mereka meragukan separuh hadis yang dimuat
dalam shohih Bukhori. Sikap kritis Barat ini menjadikan hadis menuai banyak kritik. Sampai pada puncaknya adalah apa yang
dilakukan oleh Ignaz Golziher sebagai orang yang pertama kali membawa hadis
pada ranah kajian kritis. Ia menganggap bahwa hadis bukan merupakan sumber
terpercaya dalam Islam melainkan sebuah sumber yang mengandung nilai dogmatis.
Tidak berhenti sampai disitu,pengkajian Barat mulai ramai
sebagaimana muncul pula Josep shcat yang mengatakan bahw suatu sanad memiliki
kecenderungan membengkak pada masa belakangan dari periwayatan. Dengan teori common
linnk-nya ia mengatakan bahwa sedikit sekali hadis yang berasal dari nabi.
Asumsi ini dilandaskan pada orang yang meriwayatkan hadis. Suatu hadis
dinyatakan historis apabila memiliki periwayat yang banyak. Lebih lanjut ia
juga mengatakan bahwa dimasa awal islam, periwayat hadis sangatlah sedikit. Baru
pada masa belakangan muncul para periawayat baru yang sangat banyak jumlahnya.
Study Barat atas Islam tidak berhenti disitu. Setelah Shcat
memunculkan teorinya, teori tersebut
juga diadopsi oleh sarjana Barat yaitu Juynboll. Ada hal pe nting yang menjadi pertanyaan
mendasardalam study Juynboll adalah bahwa historisitas suatu hadis
sepatutnya dimunculkan dari pertanyaan
“dimana, kapan dansiapa yang bertanggungjawab atas keotentikan suatu hadis.
Baik Shcat ataupun Juynboll,
keduanya mengatakan bahwa common link merupakan pemalsu hadis. Hal ini
sangat berbeda dengan apa yang dikatakan oleh
Motzki yang cenderung mengatakan bahwa common link merupakan
bukti dari suatu hadis mulai diriwayatkan secara sistematis. Oleh karenanya
dengan kesimpulan ini, berarti apa yang ada diatas common link merupakan
periwayat hadis yang asli.
Bagi sarjana Muslim awal, polemik mengenai keotentikan suatu hadis
sudah diyakini dan diketahui lebih awal sebelum Barat mulai melakukan kritik
terhadap keotentikan hadis. Hal ini terlihat dari banyak karya ulama yang
mencoba menelusuri hadis-hadis yang shohih dan yang memiliki derajatdibawahnya.
Dalam melakukan kritik hadis tersebut, para ulama klasik menggunakan tiga
pendekatan yaitu: Pertama: mengkaji riwayat. Yakni
menelusuri kesinambungan antara perowi yang satu dengan perowi yang
lainya. Usaha ini merupakan mencari jalur-jalur sanad yang dapat dipercaya dan
memiliki ketersambungan sanad. Kedua: mengkaji tentang nama-nama perowi.
Dalam hal ini yang dilakukan adalah menjelaskan nama-nama perowi baik kelahiranya, guru, murid, sikap, keseharian,
serta daya ingat atau kekuatan hafalanya. Ketiga: mengkaji kandungan
hadis. Dimana dalam hal ini yang ditekankan adalah pengkajian matan hadis.
Apakah ia bertentangan denganal-Qur’an atau tidak, atau juga dengan hadis lain yang lebih tsiqoh.
Metode yang dilakukan oleh ulama hadis periode awal ini juga sempat
menimnulkan kontroversi. Analisis sanad yang lebih dikedepankan oleh para
ulama, dinilai telah mengabaikan esensi
dari makna hadis. Pendapat seperti ini juga ditolak oleh beberapa pengkaji lain
bahwa pad dasarnya, apa yang dilakukan oleh sarjana di awal penulisan hadis
sama sekali tidak meninggalkan aspek matan. Bahkan pengkajian sanad sendiri
erupakan satu upaya untuk mengetahuai kualitas hadis. Yang pada akhirnya akan
pada satu kesimpulan bahwa apa yang telah dilakukan oleh para pengkaji hadis di
masa awal itu merupakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar