Blem.com: Pesantren
Tampilkan postingan dengan label Pesantren. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pesantren. Tampilkan semua postingan

Selasa, Februari 20, 2018

Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo Kediri


Lirboyo, awalnya adalah nama sebuah desa terpencil yang terletak di Kecamatan Mojoroto Kota Kediri Jawa Timur.  dahulu desa ini merupakan sarang penyamun dan perampok, hingga pada suatu ketika atas prakarsa Kyai Sholeh, seorang yang Alim dari desa Banjarmelati dan dirintis oleh salah satu menantunya yang bernama KH. Abdul  Karim, seorang yang Alim berasal dari Magelang Jawa Tengah.
Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya dengan awal mula KH. Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun 1910 M. setelah kelahiran putri pertama beliau yang bernama Hannah dari perkawinannya dengan Nyai Khodijah (Dlomroh), putri Kyai Sholeh Banjarmelati.
Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatar belakangi, dorongan dari mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang da’i, karena Kyai Sholeh berharap dengan menetapnya KH. Abdul Karim di Lirboyo, maka  syiar Islam lebih luas. Disamping itu, juga atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh agar berkenan menempatkan salah satu menantunya  di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram.
Harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama kali kyai Abdul Karim menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga semalaman penduduk Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang menyelamatkan diri.
Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah waqaf tersebut, KH. Abdul Karim mendirikan surau mungil nan sederhana untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta.
SANTRI PERDANA DAN PONDOK LAMA
Adalah seorang bocah lugu yang bernama Umar asal Madiun, dialah santri pertama yang menimba ilmu dari KH. Abdul Karim di Pondok Pesantren Lirboyo. Kedatangannya disambut baik oleh KH. Abdul Karim, karena kedatangan musafir itu untuk THOLABUL ILMI , menimba pengetahuan agama. Selama NYANTRI, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada Kyai.

Demikian jalan yang ditempuh Umar selama di Lirboyo. Selang beberapa waktu ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal KH. Abdul Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad Dan Sahil. Tidak lama kemudian datanglah dua orang santri bernam Syamsuddin dan Maulana, keduanya berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud untuk mendalami ilmu agama dari KH. Abdul Karim. Akan tetapi baru dua hari saja mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes di sambar pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman,  di Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan kotor. Akhirnya mereka berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung halamannya.
Tahun demi tahun, keberadaan Pondok Pesantren Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin banyaklah santri yang berdatangan mengikuti santri-santri sebelumnya untuk berTHOLABUL ILMI , maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuklah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling disekitar pondok.

BERDIRINYA MASJID PONDOK PESANTREN LIRBOYO
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren, karena keberadaannya yangbegitu penting bagi perkembangan dakwah bagi ummat Islam dan sebagai sarana untuk mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan, sebagaimana praktek sholat berjama’ah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh jika dimana  ada pesantren disitu pula ada masjid, seperti yang dapat kita lihat di Pondok Pesantren Lirboyo.
Asal mula berdirinya masjid di Pondok Lirboyo, karena Pondok Pesantren yang sudah berwujud nyata itu kian hari banyak santri yang berdatangan, sehingga dirasakan KH. Abdul Karim, belum dianggap sempurna sebuah pesantren kalau belum ada masjidnya. Maka dua setengah tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, tepatnya pada tahun 1913 M. timbullah gagasan dari KH. Abdul Karim untuk merintis berdirinya masjid dilingkungan Pondok.
Semula masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin beliung dengan kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang tidak lain adalah kakak ipar KH. Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Jalan keluar yang ditempuh KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul Karim guna meminta pertimbangan dan bermusyawarah. Tidak lama kemudian seraya KH. Abdul Karim mengutus H. Ya’qub yang tidak lain adik iparnya sendiri untuk sowan berkonsultasi dengan KH. Ma’ruf Kedunglo mengenai langkah selanjutnya yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan masjid tersebut.
Dari pertemuan antara H. Ya’qub dengan KH. Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana pembangunan masjid dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan. Usai pembangunan itu diselesaikan, peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M. Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim yang kedua , Salamah dengan KH. Manshur Paculgowang.
Dalam tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi, dinding serta lantainya yang terbuat dari batu merah, gaya bangunannya yang bergaya klasik, yang merupakan gaya arsitektur Jawa kuno dengan gaya arsitektur negara Timur Tengah.
Untuk mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, maka atas prakarsa KH. Ma’ruf pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi sembilan, mirip kejayaan daulat Fatimiyyah.
Selang beberapa tahun setelah bangunan masjid itu berdiri, santri kian bertambah banyak. Maka sebagai akibatnya masjid yang semula dirasa longgar semakin terasa sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan menambah serambi muka, yang sebagian besar dananya dipikul oleh H. Bisyri, dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan ini dilakukan pada tahun sekitar 1984 M.
Tidak sampai disitu, sekitar tahun 1994 M. ditambahkan bangunan serambi depan masjid. Dengan pembangunan ini diharapkan cukupnya tempat untuk berjama’ah para santri, akan tetapi kenyataan mengatakan lain, jama’ah para santri tetap saja membludak sehingga sebagian harus berjamaah tanpa menggunakan atap.  Bahkan sampai kini bila berjama’ah sholat Jum’at banyak santri dan penduduk yang harus beralaskan aspal jalan umum.
Untuk menjaga dan melestarikan amal jariyyah pendahulu serta menghargai dan melestarikan nilai ritual dan histories, sampai sekarang masjid itu tidak mengalami perobahan, hanya saja hampir tiap menjelang akhir tahun dinding-dindingnya dikapur dan sedikit ditambal sulam.

PONDOK PESANTREN LIRBOYO KOTA KEDIRI
Sistem pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Lirboyo, yang dikenal selama ini adalah sistem Klasikal dan sistem Klasik (bandongan, sorogan dan wethon). Sistem klasik diajarkan di Pondok Pesantren Lirboyo sebelum berdirinya  Madrasah Hidayatul  Mubtadi-ien tepatnya sejak berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, yaitu 1910 Masehi. Sementara sistem klasikal dimulai sejak berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien tahun 1925 Masehi hingga sekarang.
Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien berdiri bermula dari gagasan JAMHARI seorang santri senior asal Kaliwungu Kendal Jawa Tengah. Gagasan tersebut dilaksanakan setelah mendapat restu dari Romo KH. Abdul Karimkemuadian diikuti oleh Mas Syamsi asal Gurah Kediri dan Mas Syamsi orang yang pertama memasang papan tulis disetiap kelas sebagai sarana untuk menulis dan menerangkan pelajaran. Dan saat itu secara resmi, Madrasah  yang baru lahir itu diberi nama “HIDAYATUL MUBTADI-IEN”

Berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien ini sangat direstuhi oleh Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Hadrotus Syaikh Romo KH. Abdul Karim, sehingga beliau dawuh kepada semua santri “ SANTRI-SANTRI KANG DURUNG BISO MOCO LAN NULIS KUDU SEKOLAH “ (para snatri yang belum bisa membaca dan menulis harus mengikuti sekolah).

TUJUAN BERDIRINYA MADRASAH HIDAYATUL MUBTADI-IEN
1.      Dengan adanya sistem yang sederhana (klasikal) dapat meningkatkan mutu pendidikan.
2.      Menyesuaikan pada tingkat kebutuhan dan kemampuan para santri.
3.      Lebih intensif dalam mendidik dan membentuk kepribadian santri.

KENDALA-KENDALA DALAM TAHUN-TAHUN PERTAMA
Dalam tahun pertama berdiri Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien ternyata mengalamai banyak kendala yang menyebabkan keadaan makin lama makin memburuk Karena pada waktu itu kurang berminatnya santri  untuk memasuki pendidikan Madarasah karena madrasah merupakan sistem pendidikan yang masih asing, akhirnya setelah berjalan kurang lebih enam tahun Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien mengalami kevakuman ditengah jalan.
Meskipun demikian, jangka waktu selama 6 tahun terhitung sejak tahun 1925 sampai tahun 1931 itu menghasilkan beberapa pengalaman yang cukup berharga yaitu :
1.      Madrasah sudah terbagi menjadi bebrapa lokal
2.      Beberapa guru dan pembimbing diantara Ustadz Sanusi (dari bangil) Ustadz Syairozi ( dari Perak) Kyai Bahri (dari kediri) dan lain-lain
Setalah mandek selama dua tahun tepatnya  tahun 1931 M. sampai tahun 1933M.        KH. Jauhari menantu Hadrotus Syaikh Romo KH. Abdul Karim bersama kepala Pondok pesantren Lirboyo yang kala itu dijabat Oleh K. Kholil asal Melikan Kediri serta KH. Faqih Asy’ari asal Sumber Pare Kediri menghidupkan kembali Madrasah Hidayatul Mubtadi-ienDan madrasah dibuka kembali pada malam Rabu bulan Muharrom 1353 H. yang bertepatan dengan tahun 1933 M. Dan saat itu setiap siswa ditarik sumbangan Sen setiap bulan.
Perlu diketahui, bahwa Madrasah pada masa itu masuk malam hari yaitu ba’dal Maghrib dan dibagi dalam 8 (delapan) kelas, 3 kelas untuk Sifir (persiapan), yang terdiri dari Sifir Awal, Sifir Tsany dan Sifir Tsalis. Sedangkan 5 kelas dipergunakan untuk tingkat Ibtidaiyyah yang terdiri dari kelas I, kelasII, kelas III, kelas IV, dan kelas V kelas.

Sedangkan kurikulum yang diajarkan pada tingkat sifir adalah mata pelajaran dasar semacam pelajaran menulis huruf Arab ( Khoth) pelajaran membaca Al-qur’an, tajwid dan pelajaran Fiqh ibadah tahap permulaan. Sedangkan untuk kelas yang lebih tinggi, pelajarannya pun ditingkatkan sesuai dengan tingkatan kelasnya, dan untuk tingkatan yang paling tinggi pelajaran ketika itu adalah Al Jauharul Maknun.
Pada dasarnya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien semenjak berdirinya memberikan porsi lebih banyak untuk mata pelajaran Ilmu Nahwu dan shorof , sehingga menjadi ciri khas  tersendiri bagi Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.

KETIKA MASA PENJAJAHAN JEPANG
Pondok Pesantren Lirboyo, sejak zaman kolonial Belanda merupakan salah satu diantara sekian banyak pesantren yang ikut berjuang mengusir penjajah dari bumi nusantara tercinta. Hal ini dapat dibuktikan pada waktu tentara Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah dengan dalih demi kemakmuran Asia Timur Raya. Ketika mereka mengundang para Ulama le Jakarta, maka KH.
Abdul Karim selaku pengasuh Pondok Pesantren berkenan hadir bersama KH. Ma’ruf Kedunglo dan KH. Abu Bakar Bandar Kidul dengan dikawal oleh Agus Abdul Madjid Ma’ruf. Ketika Jepang mengadakan latihan di Cibasura Bogor, Residen Kediri, R. Abd. Rahim Pratalikrama memohon kesediaannya KH. Mahrus Ali untuk berangkat sebagai utusan daerah Kediri. Berhubung beliu berlangan untuk hadir, maka diutuslah beberapa santri, antara Thohir Wijaya Blitar, Agus Masrur Lasem, Mahfudz Yogyakarta dan Ridlwan Anwar Kediri.Usai menghadiri pertemuan di Bogor, segala hal dan ihwal yang mereka ketahui di sana, segera disampaikan pada seluruh santri Lirboyo. Semua itu adalah merupakan satu usaha mngambil manfaat dalam rangka kerjasama dengan pemerintah Jepang. Akan tetapi dibalik itu ada maksud lain, yaitu sebagai persiapan Indonesia merdeka. Para utusan yang telah mendapat ilmu tentang kemiliteran, segera mengadakan latihan baris berbaris di Pondok Pesantren Lirboyo. Waktu itu sekitar tahun 1943-1944 M., yang mana di Kediri sudah dibentuk barisan Hizbullah dengan kepemimpinan KH. Zainal Arifin di tingkat pusatnya.
Pada masa itu adalah merupakan masa-masa penuh harapan  rakyat Indonesia untuk terlepas dari cengkraman penjajah dari kepemerintahan negara yang dikenal dengan negeri Sakura itu. Rakyat sudah muak dengan segala tindakan penjajah. Mereka sangat rindu damai dalam merdeka. Betul juga, beberapa hari sesudah Hirosima dan Nagasaki yang merupakan dua kota besar di Jepang kejatuhan bom tentara sekutu, Jepang pun menyerah tanpa syarat. Akhirnya Indonesia yang sudah lama menunggu kesempatan amas dan hari-hari bersejarah itu segera memproklamirkan kemerdekaannya, tepat pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945, kebahagiaan bangsa Indonesia termasuk santri Lirboyo tidak dapat terlukiskan lagi.
Jabatan kepala Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien yang semula dijabat oleh HK. Faqih Asy’ari, kemudian pada tahun 1942 diserahterimakan kepada KH. Zamroji, sebagai kepala Madrasah yang baru. Dan ditahun itu pula Jepang dengan semboyannya “GOSPEL ANDA GLORI“ mulai menjajah bangsa Indonesia tercinta serta menguras seluruh kekayaan bangsa Indonesia, sehingga pada saat itu sulit untuk mencari sandang dan pangan. Sejak saat itu pula Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien yang semual masuk malam hari ba’da (setelah) Maghrib dirubah menjadi siang hari, karena untuk mendapatkan bahan bakar minyak sewbagai penerangan saat itu sangat sulit, hal ini berlangsung hingga tahun 1945. Dan ketika itu berkembangan Madrasah Hidayatul Mubtadi-ienmenurun secara drastis. Jumlah siswa yang sebelumya mencapai 350 siswa lebih, dimasa pendudukan Jepang turun menjadi 150 siswa. Dari jumlah itupun yang bisa menyelesaikan studinya hanya sedikit sekali, bahkan pernah terjadi hanya 5 siswa yang bisa menyelesaikan pendidikan terakhir.

SETELAH MERDEKA
Setelah Jepang bertekuk lutut kepada sekutu bersamaan dengan dikumandangkan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, barulah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ienmengalami kemajuan yang cukup mengembirakan dengan semakin banyak siswa yang berdatangan untuk menuntut ilmu agama di Pondok Pesantren Lirboyo.
Dua tahun setelah Indonesia Merdeka, tepatnya tahun 1947 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien mengalami pembaharuan dengan disusunnya tingkat jenjang pendidikan. Yang semula merupakan sifir dan Ibtidaiyyah menjadi Ibtidaiyyah dan tsanawiyah adapun kulikulumnya masih mengunakan kurikulum lama. Dan pada tahun 1947 ini pula didirikan lembaga baru yang berupa Madrasah Mualimin atas gagasan KH. Zamroji yang waktu itu menjadi pengajar/Mustahiq Tingkat Tsanawiyyah, sebagai penyempurnaan, sedangkan waktu sekolah adalah malam hari dengan kurikulum, untuk Fiqh adalah fathul Wahab, Uqudul Juman (Fan Balaghoh), Jami’ul Jawami’ ( Fan Ushul Fiqh).

MASA PEMBENAHAN KURIKULUM
Pada tahun ajaran 1977-1978 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ienmenyediakan tingkat Aliyah. Keputusan ini disepakati dalam sidang Panitia kecil Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, yang pada masa itu dipimpin  oleh Bapak Ilham Nadzir.
Dengan terbentuknya pendidikan tingkat aliyah ini, merupakan masa peralihan dari sistem pendidikan model lama menuju sistem modern yang diselaraskan dengan tradisi pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo. Dan pada tahun ini pula jenjang pendidikan disempurnakan untuk Ibtidaiyah 6 Tahun, Tsanawiyah 3 Tahun dan Aliyah 3 tahun.
Pada tahun ajaran 1983-1984 sidang Panitia kecil yang dipimpin KH. Anwar Manshur. Menetapkan penyempurnaan kurikulum dengan menambah kitab Al-Mahalli ( Fan Fiqh ) Jami’ush Shohir (Fan Hadits) dan Jam’ul Jawami’ (Fan Ushul Fiqh) kitab-kitab inilah yang menjadi kitab pelajaran Aliyah, dan kitab yang paling besar yang ada di Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.

PERKEMBANGAN TERAKHIR
Perkembangan terakhir kurikulum Madrasah Hidayatul Mubtadi-iensetelah tahun 1984 sampai tahun 1997 tidak banyak mengalami perubahan, sampai tahun terakhir 2003 yang dipimpin oleh KH. Habibulloh Zaini.
VISI :
Beriman, bertaqwa, berakhlaqul karimah dan disiplin
MISI :
Mencetak muslim intelektual yang beriman, bertaqwa dan berakhlaqul karimah
serta menciptakan kader ulama yang mampu mentransformasikan ilmu agama
dalam berbagai kondisi.
sumber   :
3.SEJARAH BERDIRINYA PONDOK PESANTREN LIRBOYO

Senin, Februari 19, 2018

Pentingya Kaderisasi NU


Pemuda sekarang adalah pemuda di masa depan. Itulah isi dari hadis nabi yang kita dengar sehari-hari. Pesan dalam hadis itu adalah agar generasi muda saat ini, dipersiapkan untuk melanjutkan perjuangan para pendahulunya kelak. Baik pendidikan agama ataupun pendidikan yang lainnya. Dalam hal ini kita patut memperhatikan nasib NU di masa depan adalah bergantung kepada pemuda NU di masa kini. Maju mundur NU ada di tangan mereka. Oleh karenanya menjadi penting adalah mempersiapkan mereka sedini mungkin dengan membekalinya dengan nilai-nilai ke-NU-an.
          Melihat kondisi sekarang ini, pelajaran ke-NU-an hanya ada di lembaga pendidikan dibawah naungan LP Ma’arif NU. Meskipun diajarkan pula di beberapa sekolah yang memang manjadi basis NU.  Akan tetapi sepertinya hal ini belum menyeluruh di segala penjuru. Maka dari itu kiranya ini menjadi tanggung jawab kita bersama demi kelangsungan NU di masa depan.
          Krisis pemuda NU
          NU memiliki banom yang dapat berjalan bersama merekrut para anggota kader-kader muda NU untuk lebih mendalami lagi akan ke-NU-an nya. Sebab sangat disayangkan jika dalam kenyataannya banyak dari pemuda kita yang terjebak mengikuti aliran-aliran lain yang berbeda dengan NU. Kebanyakan dari mereka tidak tahu akan jati dirinya sebagai orang NU. Diakui atau tidak, Indonesia ini hampir keseluruhan orang-orang NU. Hal ini bisa terlihat dari kebiasaan masyarakat yang selalu menjalankan amaliyah NU. Akan tetapi jika kita bertanya kepada mereka tentang NU, belum tentu mereka dapat menjelaskan arti dari amaliyahnya. Oleh karenanya sangatlah mudah mereka dikatakan bidah  oleh kelompok lain sedang mereka mengamininya. Permasalahan ini akan lebih sulit lagi jika kita sebagai warga NU tidak menjelaskan kepada mereka nilai-nilai ke-NU-an kepada mereka.
          NU besar secara universal, namun kecil secara organisasi. Maksudnya, secara keseluruhan warga NU merupakan hampir keseluruhan dari masyarakat Indonesia, akan tetapi kebanyakan dari mereka para manusia yang hanya tung-tung grumbyung atau ikut-ikutan saja. Apabila imamnya ke selatan, mereka ikut ke selatan, apabila imamnya ke utara, maka mereka akan ikut ke utara. Demikianlah seterusnya.
          Krisis seperti ini harus segera mungkin diatasi dengan mengadakan sosialisasi kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa NU adalah jamiyah yang selalu eksis dengan budaya Indonesia dan sangat sesuai dengan kultur kebudayaan Indonesia. Dengan cara ini seluruh elemen dan anggota NU bertanggung jawab demi terwujudnya masyarakat yang paham dan memahami arti dari amaliyah yyang dilakukan.
          Pendidikan nilai-nilai ke-NU-an
          Sejak berdirinya hingga sekarang NU telah banyak berkhidmah bagi bangsa dan negara Indonesia ini. Dari perjuangan hingga mempertahankan perjuangan, kiprahnya selalu diperhitungkan di tingkat nasional. Maka amatlah penting kiranya hal yang demikian itu dipertahnkan agar kiprah NU senantiasa diakui. Oleh karenanya, perlu sejak dini NU mencari kader-kader yang berkompeten dalambidang ini. Pendidikan ke-NU-an harus selalu digalakan terutamakepada para santri di pondok pesantren seluruh nusantara. Sebab mereka adalah sasaran paling stategis dalam melaksanakan misi ini.
          Salam santri...

Minggu, Maret 20, 2016

Piagam Jakarta Menurut Kacamata Santri



FORSSISA Gedongan,- santri pondok pesantren gedongan mengelar diskusi mingguan dengan tema “piagam jakarta sebagai dasar negara” kamis (26/03). Kegiatan yang dihadiri oleh sekitar sepuluh santri ini dimotori oleh Forum Silaturahmi Santri Ikmali Sirojussu’adai dan At-Ta’at (FORSSISA) ini merupakan modal awal pembekalan santri untuk terbiasa mengungkkapkan pendapatnya didalam forum diskusi. Dengan harapan agar pada tahap selanjutnya mereka lebih terbiasa mengadapi forum-forum yang lebih bergengsi dan terbuka.
Dalam diskusi malam tersebut dijelaskan oleh seorang santri bahwa Pancasila lahir atas dasar kesamaan dalam piagam Madinah sejak zaman Rasulullah saw. Oleh karenanya sebagaimana sila pertama disepakati seperti sekarang “ketuhanan yang Maha Esa” dengan menghapus tujuh kata sebagaimana dalam piagam Jakarta. Alasan logis berikutnya adalah karena menghormati agama lain yang ikut serta dalam merebut kemerdekaan negara Indonesia. Selanjutnya adalah demi kebebasan beragama dan berkebangsaan semua warga Indonesia.
Peserta diskusi mengatakan bahwa  Poin yang paling penting adalah bahwasanya kebebasan beragama dalam sebuah negara sangat  diperlukan sebagaimana saat rasulullah masih hidup dengan menjamin kebebasan beragama mereka. Oleh karenanya kita harus memiliki sikap kebangsaan dengan penuh toleransi demi meningkatkan keharmonisan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lebih lanjut seorang peserta mengatakan bahwa potret Islam adalah kesantunan dan belas kasih. Bukan sebaliknya dengan mengangkat senjata demi memberantas ketidaksesuaian secara total. Akan tetapi dengan mengedepankan perdamaian dan diplomasi. Di sini, peran ormas-ormas Islam juga sangat diperlukan demi hal tersebut. Sehingga citra islam dimata dunia bukanlah kekerasan dan kekejaman. Dalam hal ini “pancasila” merupakan hal yang sangat sesuai dengan jalan Islam sebagai agama.
Fatih mengatakan bahwa Indonesia Islam memiliki beberapa wajah yang sangat beragam diantaranya adalah bahwa Islam Nasionalis, Islam leterelek (ortodok) dan yang lainnya. Akan tetapi pada dasarnya wajah Islam perlu keindahan dengan mempertahankan wajah yang santun dan penuh ramah
Alwi lebih lanjut mengatakan bahwa sila pertama dalam pancasila merupakan hal yang telah final. Akan tetapi, jika seandainya “piagam jakarta” diterapkan kembali dalam batang tubuh pancasila, maka akan sangat berbeda sekali dengan sila ke lima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada akhirnya, kebebasan beragama merupakan milik semua orang. Oleh karenanya, tidak ada paksaan dalam agama. (Blem).

Rabu, April 15, 2015

Haul Gedongan 2015

Haul merupakan peringatan satu tahun setelah meninggalnya seseorang. Peringatan yang dimaksud adalah dalam rangka mengenang kembali jasa-jasa almarhum selama hidupnya. adapun  Haul yang biasa dilaksanakan di pondok pesantren Gedongan memiliki beberapa manfaat disamping mengenang almarhum yaitu media silaturahmi bagi alumni. Bahakan, haul seakan menjadi hajat bersama untuk melakukan reuni setelah sekian lama berpisah.

Haul gedongan tahun 2015 insya allah akan dilaksanakan pada hari sabtu, 09 Mei 2015 dengan rangkaian accara sebagai berikut:
1. Selasa, 05 Mei (Pasar Rakyat)
2. Rabu, 06, Mei (Bahtsul masail)
3. Kamis, 07 Mei (Bedah Buku "Fiqh indonesia") dan Sunatan Masal
4. Jumat, 08 mei (Lomba Tabuh genjring) dan Pengobatan Gratis
5. Sabtu, 09 mei (Khotmil qur'an, Tahlil akbar dan malam puncak Haul diisi dengan pengajian Umum di halaman masjid)

Rabu, April 01, 2015

Pesantren Gedongan Cirebon

1. Data Utama
Pendiri                                     : KH. Amin Siroj
Tahun Berdiri                          : 1964
Pengasuh Saat ini                    : KH. Amin Siroj
Alamat                                    : Dusun IV Desa Ender Kec. Pangenan Kab.Cirebon  45182
Telepon / Hp                           : 081 312 476 813 / 08978402665
Fax                                          : -
Website                                   : sirojussuadai.blogspot.com
E-Mail                                     : pp_sirojussu’adai@yahoo.com
Jumlah Santri Saat Ini             :
A.    Mukim                   : 86 Putra & 93 Putri
B.     Tidak Mukim        :  15 Putra & 24 Putri
Jumlah Pengajar                      :
A.    Ustadz                   : 12 Orang
B.     Ustadzah               : 2 Orang
Kajian Utama                          : Al-Qur’an dan  Kitab Kuning

2.      Sejarah Berdiri

Pondok Pesantren Sirojussu’adai merupakan pesantren yang didirikan oleh KH. Amin Siroj pada tahun 1964. Pada mulanya, pesantren ini merupakan majlis ta’lim dari santri-santri non mukim yang berasal dari lingkungan pondok pesantren Gedongan. Sehingga pesantren ini lebih dikenal dengan Majlis Ta’lim Sorojussu’adai  atau yang sering disingkat dengan MTSs.
Seiring berjalanya waktu, majlis ta’lim ini semakin berkembang. Dari santri non mukim sebagai modal awal pendirianya, bertambah santri-santri mukim yang  datang dari daerah sekelilingnya. Maka mulailah majlis ta’lim ini menjadi semakin dikenal dikalangan masyarakat. Hal ini terbukti dengan semakin bertambahnya jumlah santri yang berdatangan baik dari daerah sekitar maupun dari berbagai daerah lainya di pulau Jawa. Bahkan,  banyak pula diantara mereka yang berasal dari pulau Sumatra, Kalimantan ataupun Papua. Oleh karenanya majlis ta’lim ini menjadi pondok pesantren Sirojussu’adai
Pesantren Sirojussu’adai berada di lingkungan  pondok pesantren Gedongan yang notabenenya merupakan salah satu pesantren tertua di kabupaten Cirebon. Maka berarti, pesantren ini merupakan salah satu dari pesantren yang berada di bawah naungan pondok pesantren Gedongan.
Adapun jumlah santri pesantren Sirojussu’adai sejak pertamakali didirikan hingga sekarang berhasil meluluskan santri kurang lebih sebanyak lima ribu santri. Mereka tersebar di seluruh nusantara. Mengabdikan diri  kepada masyarakat dengan modal ilmu yang didapatkan. Bahkan diantaranya ada yang berhasil mendirikan pondok pesantren di daerahnya.
Kebesaran pesantren Sirojussu’adai tidak lepas dari kiprah seorang kiai kharismatik yang berhasil mendirikan pondok pesantren Gedongan, yaitu KH. Muhammad Sa’id.

3.      Riwayat Hidup Pendiri
KH. Amin Siroj merupakan putra bungsu dari KH.  Siroj yang merupakan putra dari KH. Muhammad Sa’id pendiri pondok pesantren Gedongan. Nasab beliau merupakan untaian emas yang telah memberikan kontribusi besar dalam sejarah penyebaran Islam terutama di wilayah Cirebon dan sekitarnya.
Sebelum akhirnya KH. Amin Siroj menimba ilmu di berbagai pondok pesantren di pulau Jawa beliau terlebih dahulu mendapat tempaan dari seorang ayahnya yaiu KH. Siroj. Selama masa perjalananya mencari ilmu, KH. Amin Siroj pernah nyantri di berbagai pondok pesantren diantaranya adalah Kempek,  Lirboyo, sarang Rembang serta yang lainya.
Sepulangnya dari pesantren, beliau kembali ke tanah kelahiranya di pesantren Gedongan. Pada saat itu Gedongan belum ramai oleh santri seperti sekarang. Meskipun demikian proses mengajar para santri tetap berjalan. Pada saat itu, pesantren Gedongan diasuh oleh kakak-kakaknya yaitu kiai Yusuf, kiai Ma’sum.
Ahirnya, KH. Amin pun mulai dikunjingi oleh beberapa santri. Yang kemudian hingga sekarang beliau mendirikan sebuah pesantren yang dinamakan dengan pesantren Sirojussu’adai. Sampai sekarang, beliau masih tetap mengajar santri-santri dengan penuh kesabaran meskipun dalam kondisi kesehatan yang terkadang harus mendapatkan penanganan serius dari dokter.
Dari pernikahanya bersama Ny. Hj. Aini KH. Amin Siroj dikaruniai lima putra. Masing-masing adalah:
1.      KH. Wawan Arwani Amin yang sekarang menjadi pengasuh pondok pesantren Nur Arwani Buntet Pesantren.
2.      KH. Imron Rosyadi pengasuh pondok pesantren Assyakiroh Buntet Pesantren.
3.      Ny.  Hj. Ummu Aiman pengasuh pondok pesantren di Pati Jawa Tengah
4.      Ny. Hj. Halimatussa’diyah
5.      Ny.  Hj. Mumun Maimunah
KH.Amin merupakan salah seorang kiai yang ahli dalam bidang nahwu. Meskipun tanpa diragukan lagi ilmu-ilmu yang lainya.akan tetapi ilmu nahwu yang biasa diajarkan oleh beliau terasa lebih menonjol dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lain.  Beliau sangat lincah dalam menulis syair-syair arab dan sering disampaikan dalam beberapa kesempatan dalam acara-acara besar seperti haul. Syair-syair yang indah karya beliau kini banyak ditemukan dalam syarah kitab Jurmiyah yang ditulisnya sebagai contoh serta penjelasan dari masalah yang sedang dibahas.
Adapun satu ke-khasan beliau yang mungkin sudah dianggap langka adalah model pengajaran yang selalu menggunakan sistim menulis kitab.  Meskipun kitab-kitab yang bercetak dan terjual di toko-toko sudah banyak. Di sela-sela pengajaranya, beliau pernah dawuh (berkata) kullu ma khufidho farr, wa kullu ma kutiba  qarr yang artinya bahwa segala sesuatu yang dihafal itu lama-kelamaan akan hilang,  dan segala sesuatu yang tertulis itu selamanya akan abadi.  Itulah mungkin yang mendasari beliau selama ini menggunakan sistim menulis.

4.      Periodisasi Kepemimpinan
Sejak berdirinya pondok pesantren Sirojussu’adai hingga sekarang, tampuk kepemimpinan masih dipegang oleh pendiri pertamanya yaitu KH. Amin Siroj.

5.      Visi,  Misi dan Resntra
Visi
1.      Mewujudkan pesantren yang mampu menghasilkan lulusan yang dapat menguasai disiplin ilmu keislaman serta berakhlak mulia dan memeliki kepedulian terhadap sesama.
2.      Memantapkan iman dan takwa sertamengembangkan ilmu pengetahuan keislaman untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Misi
1.      Beriman dan bertaqwa serta berakhlakul karimah
2.      Mengarahkan umat menjadi pelopor kemajuan dibidang agama demi terciptanya masyarakat menjadi khoiro ummah.

Tujuan
1.      Mencetak generasi muda yang mahir dalam disiplin ilmu agama yang diimplementasikan kedalam kehidupan sehari-hari yang terbentuk dalam wujud iman dan taqwa.

6.      Potret Kegiatan Utama


Pesantren merupakan ladang dalam proses pencarian ilmu bagi santri. Oleh karenanya, menjadi wajib baginya menyediakan sarana dan prasarana belajar yang menunjangnya.  Satu diantaranya adalah sistem pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan para santri dan masyarakat. Pesantren Sirojussu’adai merupakan salah satu pesantren yang masih eksis   menggunakan sistim pengajian klasik. Dimana kitab kuning menjadi dagangan utama serta makanan pokok. Dalam pengajaranya, pesantren Sirojssu’adai menggunakan sistim pembagian kelas. Dimana daidalamnya dibagi sesuai dengan kelompok kitab yang sedang dikajinya. Yaitu berdasarkan kelas kitab Jurmiyah, Amriti, Mutammimah sertaAlfiyyah. Pembagian kelas ini tidak bersifat formal akademik, akan tetapi adanya pengkelasan ini bertujuan untuk membagi santri berdasarkan kapasitas yang dimilikinya.
Meskipun pengkelasan yang dilakukan itu berdasarkan kitab nahwu, bukan berarti kitab-kitab dari cabang ilmu yang lain tidak dikaji. Akan tetapi cabang ilmu lain seperti fikih, akhlak, tarikh Islam, tafsir, hadis, tauhid serta tajwid pun juga menjadi menu utama yang tidak bisa dipisahkan. Hal ini dilakukan mengingat banyaknya persoalan masyarakat yang harus diselesaikan dengan berbagai disiplin ilmu. Sehingga dengan harapan santri yang telah lulus nanti menjadi pribadi yang matang dan siap untuk terjun ke masyarakat.
Adapun dalam pengajian al-Qur’an, semua santri diwajibkan untuk mengikuti tanpa harus memandang kelas. Sebab khusus untuk bidang ini secara langsung pengajaranya satu persatu oleh kiai.

7.      Potret Kegiatan Tambahan
Disamping kegiatan pokok mengaji, pesantren Sirojussu’adai juga mengadakan kegiatan lain sebagai penunjang dari kegiatan yang telah ada. Kegiatan tersebut dibagi berdasarkan pengelompokan waktu sebagai berikut:
a.       Setiap hari:  Musyawarah kitab, diskusi, serta nadzoman bersama (lalaran).
b.      Mingguan:  Khitobiyah an, dibaiyah an, tahlil bersama, ziarah ke makam sesepuh, yasinan dan roan (kerjabakti bersama).
c.       Setengah bulan: Khitobiyah an gabungan bersama pesantren yang ada di sekeliling pesantren Sirojussu’adai
d.      Bulanan: Dibaiyah an bersama selurus santri pondok pesantren Gedongan
e.       Tahunan: Peringatan hari besar Islam seperti tahun baru Islam, maulid nabi,
f.  seni Islami dan hadhroh

8.      Sarana dan Prasarana

Sebagai tempat pendidikan para santri, pondok pesantren sirojussu’adai memiliki beberapa sarana dan prasarana yang cukup memadai. Sarana dan prasarana tersebut berupa hal-hal yang memang menjadi kebutuhan pokok para santri. Adapun sarana dan prasarana yang dimiliki oleh pesantren Sirojussu’adai adalah sebagai berikut:
a.       17 kamar santri (puta dan putri)
b.      2 Musholla (putra dan putri)
c.       4 ruang belajar
d.      12 Mck (putra dan putri)
e.       2 Dapur
f.       2 tempat mencuci dan menjemur pakaian (putra dan putri)
g.      1 kantor
h.      1 Perpustakaan
i.        Sarana olah raga dll.

9.      Pembiayaan (Sumber Dana)
10.  Kelengkapan Model Pendidikan
Sebagai salah satu pesantren yang berdiri dibawah naungan pesantren Gedongan, pesantren Sirojussu’adai bersama dengan pesantren lain di sekitar pondok pesantren Gedongan berkordinasi membentuk lembaga pendidikan formal dan no formal. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan para santri dalam menimba ilmu, baik ilmu umum ataupun ilmu agama.
Adapun wujud dari pendidikan formal yang dimaksud diantaranya adalah MI, MTs, serta MA Manbaul hikmah.  Sedangkan pendidikan non formal yang juga dilaksanakan adalah pengajian malam dengan sistim pengkelasan serta madrasah diniyah An-Nidzomiyyah.

11.  Penguatan dan Pengembangan
12.  Organisasi Kepesantrenan
Pesantren Sirojussu’adai memiliki organisasi yang membawahi para anggota (santri) di pesantren yang disebut dengan “Pengurus Pondok Pesantren Sirojussu’adai” yang terbagi menjadi dua yaitu pengurus putra dan pengurus putri. Adapun organisasi yang membawahi para alumni disebut FORSSISA (Forum Silaturahmi Santri Ikmaly Sirojussu'adai dan At-Ta'at)

13.  Hubungan Pondok Dengan Masyarakat
Sebagai tempat pendidikan para santri, pondok pesantren Sirojussu’adai juga memiliki hubungan yang sangat harmonis dengan masyarakat. Hal ini tampak dari kegiatan yang diadakan oleh pihak pesantren dengan mengadakan pengkajian kitab barzanji setiap malam rabu. disamping itu, dalam beberapa hal pesantren Sirojussu’adai juga sering berkomunikasi dengan masyarakat untuk bisa saling membantu dalam masalah yang dihadapi.

14.  Harapan Kedepan Pondok Pesantren dari (Pengasuh dan Pengurus)
Adapun harapan dari pengasuh adalah agar semua santri yang telah lulus dan berhasil menyelesaikan pendidikan dapat ilmu yang bermanfaat dan mengembangkanya kepada masyarakat. Adapun mengenai pondok pesantren adalah peningkatan perhatian pemerintah yang belum maksimal dalam memperjuangkan pesantren. Dalam hal ini, santri sering kali menjadi bahan ejekan masyarakat yang memandang remeh karena dianggap tidak berpotensi untuk bekerja berdampingan bersama dengan masyarakat lainya keluaran dari sekolah formal. Sehingga pesantren senantiasa menjadi tempat belajar yang menjadi kebutuhan masyarakat. Bukan menjadi momok yang menakutkan dan dijauhi masyarakat.


15.  Catatan Peneliti Terhadap Pondok
Pesantren Sirojussu’adai merupakan pesantren yang selalu eksis membina santri-santi meskipun dengan kondisi yang senantiasa mengalami pasang surut. Hal ini tergambar dari banyaknya lulusan yang sudah mencapai kurang lebih lima  ribu santri yang berarti bahwa kebutuhan masyarakat akan pesantren Sirojussu’adai memang sangat tinggi. Oleh karenanya pembenahan-pembenahan yang bersifat penting harus senantiasa dilakukan. Dengan demikian diharapkan kebutuhan masyarakat akan ilmu agama dapat terpenuhi. Dengan hadirnya pesantren Sirojussu’adai ini, setidaknya telah merubah banyak hal pada masyarakat terutama di bidang agama.