Blem.com: Hadist Tentang Ruh

Jumat, April 12, 2013

Hadist Tentang Ruh

A.    Pendahuluan
Allah menciptakan manusia dengan dua dimensi. Pertama dimensi jasad dan yang kedua adalah dimensi ruh. Keduanya memiliki keterkaitan dan kesinambungan. Satu diantara yang lainya memiliki peranan yang penting. Bahkan, apabila salah satu diantaranya tidak  berfungsi, maka eksistensinya sama sekali tak berarti.
Dari kedua dimensi tersebut, ada satu dimensi yang menjadi titik pembicaraan yang tak berujung pada satu kesismpulan yang disepakati yaitu dimensi ruh.  Eksistensinya kian menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Salah satu yang mempengaruhinya adalah karena al-Quran  dan Hadis nabi  tidak menyebutkan secara detail dan cenderung ditutup-tutupi. Bahkan, argumentasi yang digunakanya pun berujung pada hak perogratif Tuhan yang tak bisa diketahui oleh makhlukNya.
Dari sini, manusia hanya bisa meraba-raba apa sebenarnya ruh itu?. Dengan berbagai sudut pandang dan pendekatan ilmiah. Oleh karenanya kami mencoba mengulas sedikit pembahasan tersebut ditinjau dari perspektif ulama tafsir ataupun muhaddis serta tak ketinggalan pula menurut pandangan filosof dan para pakar.

B.     Pengertian ruh
Al-ruh dan al-rawh berasal dari huruf yang sama yaitu ra’, waw dan ha. Tetapi, penggunaan al-ruh lebih banyak merujuk kepada nafas dan juga istilah bagi sesuatu yang menyebabkan hidup, bergerak, memperoleh manfaat dan juga mengelak daripada kemudharatan.[1] Ruh adalah sesuatu yang hidup yang tidak berbadan jasmani, yang berakal budi dan berperasaan.[2]
Kalimah al-ruh mempunyai pelbagai makna. Sebagimana banyak ulama yang berpendapat bahwa ruh  bisa diartikan dengan makna nyawa, malaikat Jibril, satu malaikat yang besar yang apabila berdiri bersamaan dengan satu saf malaikat yang lain, hembusan angin, Nabi 'Isa al-Masih, kalam Allah dan rahmat Allah.
C.    Hadis tentang Ruh
Berkaitan dengan ruh, kami mengambil satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam hadisnya. Yaitu sebagai berikut.
125- حَدَّثَنَا قَيْسُ بْنُ حَفْصٍ قَالَ : حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ قَالَ : حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ سُلَيْمَانُ ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ عَلْقَمَةَ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ ، قَالَ : بَيْنَا أَنَا أَمْشِي مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي خَرِبِ الْمَدِينَةِ وَهُوَ يَتَوَكَّأُ عَلَى عَسِيبٍ مَعَهُ فَمَرَّ بِنَفَرٍ مِنَ الْيَهُودِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ سَلُوهُ ، عَنِ الرُّوحِ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ تَسْأَلُوهُ لاَ يَجِيءُ فِيهِ بِشَيْءٍ تَكْرَهُونَهُ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَنَسْأَلَنَّهُ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْهُمْ فَقَالَ يَا أَبَا الْقَاسِمِ مَا الرُّوحُ فَسَكَتَ فَقُلْتُ إِنَّهُ يُوحَى إِلَيْهِ فَقُمْتُ فَلَمَّا انْجَلَى عَنْهُ قَالَ {وَيَسْأَلُونَكَ ، عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتُوا مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً}[3]
Telah menceritakan kepada kami Qais bin Hafsh berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdul Wahid berkata, telah menceritakan kepada kami Al A'masy Sulaiman bin Mihran dari Ibrahim dari 'Alqamah dari 'Abdullah berkata, "Ketika aku berjalan bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di sekitar pinggiran Kota Madinah, saat itu beliau membawa tongkat dari batang pohon kurma. Beliau lalu melewati sekumpulan orang Yahudi, maka sesama mereka saling berkata, "Tanyakanlah kepadanya tentang ruh!" Sebagian yang lain berkata, "Janganlah kalian bicara dengannya hingga ia akan mengatakan sesuatu yang kalian tidak menyukainya." Lalu sebagian yang lain berkata, "Sungguh, kami benar-benar akan bertanya kepadanya." Maka berdirilah seorang laki-laki dari mereka seraya bertanya, "Wahai Abul Qasim, ruh itu apa?" Beliau diam. Maka aku pun bergumam, "Sesungguhnya beliau sedang menerima wahyu." Ketika orang itu berpaling, beliau pun membaca: '(Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Rabbku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit) ' (Qs. Al Israa`: 85). Al A'masy berkata, "Seperti inilah dalam qira`ah kami."

D.    Takhrij Hadis
Takhrij hadis memiliki berbagai manfaat sebagaiman dijelaskan oleh Umayah dalam buku Takhrij Hadis diantaranya adalah mengungkap sumber-sumber hadis beserta ulama-ulama yang meriwayatkan hadis yang serupa.[4] Berdasarkan penelusuran penulis dalam kutubut tis’ah, penulis mendapatkan 9 hadis yang membahas hal yang sama diantaranya adalah:[5]
1.      Shohih Bukhori terdapat dalam hadis ke 4352, 6902 dan hadis ke  6908.
2.      Musnad Ahmad Bin Hambal terdapat dalam hadis ke 2195, 3505, 3703 dan hadis ke 4027
3.      Sunan Tirmidzi terdapat dalam hadis ke 3066
4.      Serta dalam kitab Shohih Muslim terdapat dalam hadis ke 5002

E.     Kualitas Hadis
Para perawi dalam hadis diatas adalah sebagai berikut:[6]
a.       Alqamah bin Qays bin 'Abdullah bin Malik bin 'Alqamah. Termasuk dari kalangan Tabi'in tua. Kunyahnya adalah Abu Syabul. Semasa hidup beliau  di daerah Kufah. Wafat pada tahun 62 H. Menurut komentar  Yahya bin Ma’in dan Ibnu Hajar beliau termasuk  tsiqoh.
b.      Ibrahim bin Yazid bin Qays. Termasuk dari kalangan tabi’in tua. Kunyahnya adalah Abu ‘Imroh. Semasa hidup beliau di daerah Kufah.  Dan wafat pada tahun 96 H. Menurut komentar Ibnu Hibban beliau termasuk  'ats tsiqaat.
c.       Sulaiman bin Mihran. Termasuk dari kalangan Tabi’in biasa. Kunyahnya  adalah Abu Muhammad. Hidup beliau adalah di Kufah.  Dan wafat pada tahun 147 H. Menurut komentar  Al 'Ajli dan An-Nasa’i beliau tsiqah tsabat.
d.      Abdul Wahid bin Ziyad. Termasuk dari kalangan tabi’in pertengahan. Kunyahnya adalah Abu Bisyir. Beliau hidup di Bashroh. Dan wafat  pada tahun 176 H. Menurut Abu Zur'ah dan Al-‘Ajli   beliau termasuk Tsiqah.
e.        Qais bin Hafsh bin Al Qa'qa'. Termasukdari kalangan Tabi’ul atba’ kalangan tua. Kunyah beliau adalah Abu Muhammad. Beliau hidup di Bashroh. Dan wafat pada tahun 227 H. Menurut  Yahya bin Ma'in   dan ad-Daruqutni bahwa beliau termasuk  Tsiqah.
Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori adalah Shohih.

F.     Kajian Matan Hadis
Hadis diatas jika ditinjau sekilas  dari segi bahasa, maka akan tampak jelas bahwa pemahaman tentang ruh terhenti pada hak kekuasaan Allah yang tidak bisa dinegosiasi. Atau katakanlah manusia mengerti hanya sebatas nama. Akan tetapi tentang kejelasan semua itu, kita tak punya kuasa.
Dalam syarah  shohih Bukhori dijelaskan bahwa hadis dan ayat diatas juga memiliki beberapa makna tersendiri. Diantaranya adalah bahwa kata ruh itu bisa muannas dan juga mudzakar. Oleh karenanya bisa disebutkan dengan “Ruuh” atau “Ruuhah”. Yang kedua, kata Ruh juga ada yang mengartikan bahwa yang dimaksud denganya adalah malaikat yang memiliki  sebelas ribu sayap dan seribu wajah yang senantiasa bertasbih kepada Allah Swt. Sampai hari kiamat. Banyak pendapat lain yang mengatakan bahwa ruh adalah makhluk sebagaimana bani Adam yang memiliki tangan dan kaki. Disisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa ruh itu nabi Isa, al-Quran, wahyu, makhluk Allah yang turun ke bumi menyertai malaikat.[7]
Menurut Allamah Thabathabai dalam Tafsir al-Mizân, ayat ini menunjukkan bahwa ruh merupakan salah satu dari urusan Allah yang dinisbatkan pada zat-Nya, dan karena yang termasuk dalam “urusan Ilahi” adalah kalimat “kun” (jadilah), yang tak lain adalah kalimat pewujudan dan mengisyarahkan pada perbuatan khusus bagi Zat Ilahi, oleh karena itu, ruh juga termasuk dalam urusan Ilahi dalam skala masa dan tempat, dan sama sekali tidak bisa diperhitungkan dengan kriteria-kriteria materi lain yang manapun.[8]           
Ruh merupakan  nyawa yang bersumber dari dalam hati  jasmani. Ia memancarkan cahaya keseluruh tubuh manusia melalui urat nadi dan darah yang menyebar ke seluruh tubuh manusia. Sebagaiman firmanNya
{ فإذا سويته ونفخت فيه من روحي فقعوا له ساجدين } [ الحجر : 29 ]
Ruh juga ibarat lampu bagi tubuh manusia. Oleh karenanya, apabila ia mati maka akan mati pula kehidupan manusia. Roh juga merupakan nyawa dari jasmani yang halus yang terbit dari panas gerak jantung. Ada juga yang mengatakan bahwa ruh adalah bisikan Robbani  (ketuhanan). Sebagaimana dalam firman Allah. “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”  Ruh adalah jauhar yang  menyinari badan apabila jauhar itu menyinari bagian luar (zhahir) dan dalam (bathin) badan, maka timbulah terjaga. Apabila menyinari bagian dalam saja, maka munculah tidur. Dan apabila ia terputus seluruhnya, maka munculah kematian.[9]
            Adapun menurut sebagian besar ulama mengatakan bahwa yang dimaksudkan ruh dari ayat diatas adalah ruh yang  terdapat di dalam jasad manusia. Adapun ketika mereka ditanya tentang hakikat dari ruh, maka mereka menjawab “itu bagian dari urusan Tuhan” tak ada satupun makhluk yang mengetahui hal itu. Maka, hikamah dari hal tersebut adalah menunjukan betapa lemahnya seseorang sehingga ia sendiri tidak tahu tentang hakikat dirinya, apalagi hakikat Tuhan.[10]
            Adapun menurut al-Kindi, ia sangat menolak konsep materialis dalam ruh. Sebagaimana yang dikemukakan oleh kaum Dzahiriyah bahwa ruh terdiri dari sesuatu yang sangat halus akan tetapi tidak bisa dilihat oleh mata telanjang. Lebih lanjut al-Kindi menjelaskan bahwa  ruh adalah tunggal dan bersifat sempurna. Ia memiliki esensi yang berasal dari sang Pencipta, seperti halnya sinar matahari yang berasal dari matahari.[11] Hal ini tampaknya berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Sina dalam teorinya bahwa jiwa adalah bentuk daripada makhluk hidup yang dapat terpahami. Atau dengan kata lain, jiwa adalah apa yang menjadikan suatu makhluk hidup merupakan bagian dari anggota makhluk hidup yang lainya.[12]
      Perlu diketahui bahwa bersatunya ruh dan jasad bukan berarti bahwa keduanya itu sama. Ruh merupakan bagian lain dari jasad. Yang berbuat sesuatu berdasarkan perbuatan yang dilakukan oleh jasad.  Oleh karenanya, apabila jasad tertidur, maka ia selalu waspada, terjaga, dan tidak pernah tidur selama-lamanya.  Bila mata kita terpejam, maka ruh mengendurkan pengendalianya atas  indra-indra tanpa ia harus tertidur. Kehadiran ruh di bumi merupakan sementara. Dan akan kembali menuju Sang Pencipta serta dapat melihatNya secara akali bukan secara indrawi. Oleh karenanya Secara umum, pengetahuan tentang ruh tidak terjangkau oleh semua disiplin ilmu empirik  dan pikiran-pikiran intelektual.  Akan tetapi dapat dicapai dengan pengetahuan yang bersifat irfani.[13]
            Dijelaskan pula dalam tafsir Lathooiful isyarot bahwa ruh manusia itu merupakan hal yang sangat halus yang Allah simpan di dalam hati manusia yang paling lembut dan terpuji.oleh karenanya, segala tempat kebaikan itu muncul dari hati sedangkan segala sifat yang  tercela merupakan perbuatan nafsu. Allah telah menciptakan ruh seratus tahun sebelum jasad manusia diciptakan. Adapun mengenai penjelasan dari  kalimat وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ العِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً adalah bahwa sesungguhnya manusia tidak mengetahuinya dengan mata telanjang.[14]
Dari bebarapa penjelasan diatas, maka jelaslah bahwa ruh merupakan bagian yang tidak terkait dengan ruang dan waktu serta tidak dapat dijelaskan dengan hal yang bersifat indrawi. Itu juga yang menjadi salah satu sebab mengapa al-Quran tidak menjelaskanya secara detail. Dari sini, tidak boleh ada persangkaan bahwa Rasulullah sendiri tidak memiliki ilmu ini, sebagaimana pengenalan hakikat ruh secara perolehan dan yakin merupakan bagian dari derajat para arif, dan penjelasan rahasia-rahasianya bagi mereka yang mencintai ilmu ini, tidak akan memiliki manfaat ilmiah.[15]

G.    Kesimpulan
Dari berabagai penjelasan  diatas, maka dapat kami simpulkan bahwasnya hadis yang juga mengandung ayat surat al-Isro:85 itu banyak dipahami oleh para  ulama, pakar tafsir,  pemikirr dan juga filosof bahwasanya ruh itu sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Karena ruh merupakan urusan Tuhan yang tidak dapat dipahami secara indrawi, melainkan secara  batini.

H.    Daftar Pustaka

Rahim, Rohaida Abdul, Al-Ruh menurut Ibnul qoyyim Al-Jauziyah, (Malaya, 2007)
Depdikbud,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991)
Imam Bukhori, Al-Jaami’ al-Shohih, (al-Maktabah al-Syamilah)
Umayah, Takhrij Hadits, (Cirebon: Nurjati Press, 2011)
Fathullah, Lutfi, Kitab 9 Hadis,  (Lidwa Pusaka i-sofware: Jakarta, 2012)
Asy-syafiri, Syamsudin, Syarah shohih Bukhori, (al-Maktabah al-syamilah)
At-Tobathoba’i, Al-Mîzân, jil. 1,
Muhammad Nur Ali, Kamus Agama Islam, (Annizam, Cirebon: 2004)
George N. Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, Terj. (Bandung: Pustaka, 1983)
Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik al-Qusyairi, Lathooiful Isyarot, (al-Maktabah al-Syamilah)
Kulaini, Kâfî, jil. 1, hal. 274, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran,



[1] Rohaida Abdul Rahim, Al-Ruh menurut Ibnul qoyyim Al-Jauziyah, (Malaya, 2007)
[2] Depdikbud,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 845
[3] Imam Bukhori, Al-Jaami’ al-Shohih, (al-Maktabah al-Syamilah)
[4] Umayah, Takhrij Hadits, (Cirebon: Nurjati Press, 2011) hlm.6-7
[5] Lutfi  Fathullah, Kitab 9 Hadis,  (Lidwa Pusaka i-sofware: Jakarta, 2012)
[6] Lutfi  Fathullah, Kitab 9 Hadis,  (Lidwa Pusaka i-sofware: Jakarta, 2012)

[7] Syamsudin Asy-syafiri, Syarah shohih Bukhori, (al-Maktabah al-syamilah)
[8] At-Tobathoba’i, Al-Mîzân, jil. 1, hlm. 528-29
[9] Muhammad Nur Ali, Kamus Agama Islam, (Annizam, Cirebon: 2004) Hlm. 200
[10] Ibid.,
[11]  George N. Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, Terj. (Bandung: Pustaka, 1983) Hlm. 93
[12] Ibid., hlm. 96
[13] Ibid., hlm 98
[14] Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik al-Qusyairi, Lathooiful Isyarot, (al-Maktabah al-Syamilah)
[15] Kulaini, Kâfî, jil. 1, hal. 274, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran, 1365.

1 komentar: