A. Pendahuluan
Allah
menciptakan manusia dengan dua dimensi. Pertama dimensi jasad dan yang kedua
adalah dimensi ruh. Keduanya memiliki keterkaitan dan kesinambungan. Satu
diantara yang lainya memiliki peranan yang penting. Bahkan, apabila salah satu
diantaranya tidak berfungsi, maka
eksistensinya sama sekali tak berarti.
Dari kedua
dimensi tersebut, ada satu dimensi yang menjadi titik pembicaraan yang tak
berujung pada satu kesismpulan yang disepakati yaitu dimensi ruh. Eksistensinya kian menjadi bahan pembicaraan
banyak orang. Salah satu yang mempengaruhinya adalah karena al-Quran dan Hadis nabi tidak menyebutkan secara detail dan cenderung
ditutup-tutupi. Bahkan, argumentasi yang digunakanya pun berujung pada hak
perogratif Tuhan yang tak bisa diketahui oleh makhlukNya.
Dari sini,
manusia hanya bisa meraba-raba apa sebenarnya ruh itu?. Dengan berbagai sudut
pandang dan pendekatan ilmiah. Oleh karenanya kami mencoba mengulas sedikit
pembahasan tersebut ditinjau dari perspektif ulama tafsir ataupun muhaddis
serta tak ketinggalan pula menurut pandangan filosof dan para pakar.
B. Pengertian
ruh
Al-ruh dan al-rawh berasal dari huruf yang sama yaitu ra’, waw dan ha.
Tetapi, penggunaan al-ruh lebih banyak merujuk kepada nafas dan juga istilah
bagi sesuatu yang menyebabkan hidup, bergerak, memperoleh manfaat dan juga
mengelak daripada kemudharatan.[1] Ruh adalah sesuatu yang hidup yang tidak
berbadan jasmani, yang berakal budi dan berperasaan.[2]
Kalimah al-ruh
mempunyai pelbagai makna. Sebagimana banyak ulama yang berpendapat bahwa ruh bisa diartikan dengan makna nyawa, malaikat
Jibril, satu malaikat yang besar yang apabila berdiri bersamaan dengan satu saf
malaikat yang lain, hembusan angin, Nabi 'Isa al-Masih, kalam Allah dan rahmat
Allah.
C. Hadis
tentang Ruh
Berkaitan
dengan ruh, kami mengambil satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam
hadisnya. Yaitu sebagai berikut.
125-
حَدَّثَنَا قَيْسُ بْنُ حَفْصٍ قَالَ : حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ قَالَ :
حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ سُلَيْمَانُ ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ عَلْقَمَةَ ، عَنْ
عَبْدِ اللهِ ، قَالَ : بَيْنَا أَنَا أَمْشِي مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
فِي خَرِبِ الْمَدِينَةِ وَهُوَ يَتَوَكَّأُ عَلَى عَسِيبٍ مَعَهُ فَمَرَّ
بِنَفَرٍ مِنَ الْيَهُودِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ سَلُوهُ ، عَنِ الرُّوحِ
وَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ تَسْأَلُوهُ لاَ يَجِيءُ فِيهِ بِشَيْءٍ تَكْرَهُونَهُ
فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَنَسْأَلَنَّهُ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْهُمْ فَقَالَ يَا أَبَا
الْقَاسِمِ مَا الرُّوحُ فَسَكَتَ فَقُلْتُ إِنَّهُ يُوحَى إِلَيْهِ فَقُمْتُ
فَلَمَّا انْجَلَى عَنْهُ قَالَ {وَيَسْأَلُونَكَ ، عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ
مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتُوا مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً}[3]
Telah menceritakan kepada kami Qais bin Hafsh berkata, telah menceritakan
kepada kami 'Abdul Wahid berkata, telah menceritakan kepada kami Al A'masy
Sulaiman bin Mihran dari Ibrahim dari 'Alqamah dari 'Abdullah berkata,
"Ketika aku berjalan bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di sekitar
pinggiran Kota Madinah, saat itu beliau membawa tongkat dari batang pohon
kurma. Beliau lalu melewati sekumpulan orang Yahudi, maka sesama mereka saling
berkata, "Tanyakanlah kepadanya tentang ruh!" Sebagian yang lain
berkata, "Janganlah kalian bicara dengannya hingga ia akan mengatakan
sesuatu yang kalian tidak menyukainya." Lalu sebagian yang lain berkata,
"Sungguh, kami benar-benar akan bertanya kepadanya." Maka berdirilah
seorang laki-laki dari mereka seraya bertanya, "Wahai Abul Qasim, ruh itu
apa?" Beliau diam. Maka aku pun bergumam, "Sesungguhnya beliau sedang
menerima wahyu." Ketika orang itu berpaling, beliau pun membaca: '(Dan
mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan
Rabbku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit) ' (Qs. Al
Israa`: 85). Al A'masy berkata, "Seperti inilah dalam qira`ah kami."
D. Takhrij Hadis
Takhrij hadis memiliki
berbagai manfaat sebagaiman dijelaskan oleh Umayah dalam buku Takhrij Hadis diantaranya
adalah mengungkap sumber-sumber hadis beserta ulama-ulama yang meriwayatkan
hadis yang serupa.[4]
Berdasarkan penelusuran penulis dalam kutubut tis’ah, penulis mendapatkan 9
hadis yang membahas hal yang sama diantaranya adalah:[5]
1. Shohih Bukhori terdapat dalam hadis ke 4352, 6902 dan hadis ke 6908.
2. Musnad Ahmad Bin Hambal terdapat dalam hadis ke 2195, 3505, 3703 dan hadis
ke 4027
3. Sunan Tirmidzi terdapat dalam hadis ke 3066
4. Serta dalam kitab Shohih Muslim terdapat dalam hadis ke 5002
E. Kualitas Hadis
Para perawi dalam hadis
diatas adalah sebagai berikut:[6]
a. Alqamah bin Qays bin 'Abdullah bin Malik bin 'Alqamah. Termasuk dari
kalangan Tabi'in tua. Kunyahnya adalah Abu Syabul. Semasa hidup beliau di daerah Kufah. Wafat pada tahun 62 H.
Menurut komentar Yahya bin Ma’in dan
Ibnu Hajar beliau termasuk tsiqoh.
b. Ibrahim bin Yazid bin Qays. Termasuk dari kalangan tabi’in tua. Kunyahnya
adalah Abu ‘Imroh. Semasa hidup beliau di daerah Kufah. Dan wafat pada tahun 96 H. Menurut komentar
Ibnu Hibban beliau termasuk 'ats tsiqaat.
c. Sulaiman bin Mihran. Termasuk dari kalangan Tabi’in biasa. Kunyahnya adalah Abu Muhammad. Hidup beliau adalah di
Kufah. Dan wafat pada tahun 147 H.
Menurut komentar Al 'Ajli dan An-Nasa’i
beliau tsiqah tsabat.
d. Abdul Wahid bin Ziyad. Termasuk dari kalangan tabi’in pertengahan.
Kunyahnya adalah Abu Bisyir. Beliau hidup di Bashroh. Dan wafat pada tahun 176 H. Menurut Abu Zur'ah dan
Al-‘Ajli beliau termasuk Tsiqah.
e. Qais bin Hafsh bin Al Qa'qa'.
Termasukdari kalangan Tabi’ul atba’ kalangan tua. Kunyah beliau adalah Abu
Muhammad. Beliau hidup di Bashroh. Dan wafat pada tahun 227 H. Menurut Yahya bin Ma'in dan ad-Daruqutni bahwa beliau termasuk Tsiqah.
Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori adalah Shohih.
F. Kajian Matan Hadis
Hadis diatas jika
ditinjau sekilas dari segi bahasa, maka
akan tampak jelas bahwa pemahaman tentang ruh terhenti pada hak kekuasaan Allah
yang tidak bisa dinegosiasi. Atau katakanlah manusia mengerti hanya sebatas
nama. Akan tetapi tentang kejelasan semua itu, kita tak punya kuasa.
Dalam
syarah shohih Bukhori dijelaskan bahwa hadis
dan ayat diatas juga memiliki beberapa makna tersendiri. Diantaranya adalah
bahwa kata ruh itu bisa muannas dan juga mudzakar. Oleh karenanya bisa
disebutkan dengan “Ruuh” atau “Ruuhah”. Yang kedua, kata Ruh juga ada yang
mengartikan bahwa yang dimaksud denganya adalah malaikat yang memiliki sebelas ribu sayap dan seribu wajah yang
senantiasa bertasbih kepada Allah Swt. Sampai hari kiamat. Banyak pendapat lain
yang mengatakan bahwa ruh adalah makhluk sebagaimana bani Adam yang memiliki
tangan dan kaki. Disisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa ruh itu nabi Isa,
al-Quran, wahyu, makhluk Allah yang turun ke bumi menyertai malaikat.[7]
Menurut Allamah Thabathabai dalam Tafsir al-Mizân, ayat ini
menunjukkan bahwa ruh merupakan salah satu dari urusan Allah yang dinisbatkan
pada zat-Nya, dan karena yang termasuk dalam “urusan Ilahi” adalah kalimat “kun”
(jadilah), yang tak lain adalah kalimat pewujudan dan mengisyarahkan pada
perbuatan khusus bagi Zat Ilahi, oleh karena itu, ruh juga termasuk dalam
urusan Ilahi dalam skala masa dan tempat, dan sama sekali tidak bisa
diperhitungkan dengan kriteria-kriteria materi lain yang manapun.[8]
Ruh merupakan nyawa yang bersumber
dari dalam hati jasmani. Ia memancarkan
cahaya keseluruh tubuh manusia melalui urat nadi dan darah yang menyebar ke
seluruh tubuh manusia. Sebagaiman firmanNya
{
فإذا سويته ونفخت فيه من روحي فقعوا له ساجدين } [ الحجر : 29 ]
Ruh juga ibarat lampu bagi tubuh manusia. Oleh karenanya, apabila ia mati
maka akan mati pula kehidupan manusia. Roh juga merupakan nyawa dari jasmani
yang halus yang terbit dari panas gerak jantung. Ada juga yang mengatakan bahwa
ruh adalah bisikan Robbani
(ketuhanan). Sebagaimana dalam firman Allah. “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh.
Katakanlah, ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit.” Ruh adalah jauhar
yang menyinari badan apabila jauhar itu
menyinari bagian luar (zhahir) dan dalam (bathin) badan, maka timbulah terjaga.
Apabila menyinari bagian dalam saja, maka munculah tidur. Dan apabila ia
terputus seluruhnya, maka munculah kematian.[9]
Adapun
menurut sebagian besar ulama mengatakan bahwa yang dimaksudkan ruh dari ayat
diatas adalah ruh yang terdapat di dalam
jasad manusia. Adapun ketika mereka ditanya tentang hakikat dari ruh, maka
mereka menjawab “itu bagian dari urusan Tuhan” tak ada satupun makhluk yang
mengetahui hal itu. Maka, hikamah dari hal tersebut adalah menunjukan betapa
lemahnya seseorang sehingga ia sendiri tidak tahu tentang hakikat dirinya,
apalagi hakikat Tuhan.[10]
Adapun
menurut al-Kindi, ia sangat menolak konsep materialis dalam ruh. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh kaum Dzahiriyah bahwa ruh terdiri dari sesuatu yang
sangat halus akan tetapi tidak bisa dilihat oleh mata telanjang. Lebih lanjut
al-Kindi menjelaskan bahwa ruh adalah
tunggal dan bersifat sempurna. Ia memiliki esensi yang berasal dari sang
Pencipta, seperti halnya sinar matahari yang berasal dari matahari.[11] Hal
ini tampaknya berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Sina dalam teorinya
bahwa jiwa adalah bentuk daripada makhluk hidup yang dapat terpahami. Atau
dengan kata lain, jiwa adalah apa yang menjadikan suatu makhluk hidup merupakan
bagian dari anggota makhluk hidup yang lainya.[12]
Perlu diketahui bahwa bersatunya ruh dan
jasad bukan berarti bahwa keduanya itu sama. Ruh merupakan bagian lain dari
jasad. Yang berbuat sesuatu berdasarkan perbuatan yang dilakukan oleh jasad. Oleh karenanya, apabila jasad tertidur, maka
ia selalu waspada, terjaga, dan tidak pernah tidur selama-lamanya. Bila mata kita terpejam, maka ruh
mengendurkan pengendalianya atas
indra-indra tanpa ia harus tertidur. Kehadiran ruh di bumi merupakan
sementara. Dan akan kembali menuju Sang Pencipta serta dapat melihatNya secara
akali bukan secara indrawi. Oleh karenanya Secara umum,
pengetahuan tentang ruh tidak terjangkau oleh semua disiplin ilmu empirik dan pikiran-pikiran intelektual. Akan tetapi dapat dicapai dengan pengetahuan
yang bersifat irfani.[13]
Dijelaskan pula dalam tafsir Lathooiful
isyarot bahwa ruh manusia itu merupakan hal yang sangat halus yang Allah
simpan di dalam hati manusia yang paling lembut dan terpuji.oleh karenanya,
segala tempat kebaikan itu muncul dari hati sedangkan segala sifat yang tercela merupakan perbuatan nafsu. Allah
telah menciptakan ruh seratus tahun sebelum jasad manusia diciptakan. Adapun
mengenai penjelasan dari kalimat وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ العِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً adalah bahwa sesungguhnya manusia tidak
mengetahuinya dengan mata telanjang.[14]
Dari
bebarapa penjelasan diatas, maka jelaslah bahwa ruh merupakan bagian yang tidak
terkait dengan ruang dan waktu serta tidak dapat dijelaskan dengan hal yang
bersifat indrawi. Itu juga yang menjadi salah satu sebab mengapa al-Quran tidak
menjelaskanya secara detail. Dari sini, tidak boleh
ada persangkaan bahwa Rasulullah sendiri tidak memiliki ilmu ini, sebagaimana
pengenalan hakikat ruh secara perolehan dan yakin merupakan bagian dari derajat
para arif, dan penjelasan rahasia-rahasianya bagi mereka yang mencintai ilmu
ini, tidak akan memiliki manfaat ilmiah.[15]
G.
Kesimpulan
Dari berabagai penjelasan
diatas, maka dapat kami simpulkan bahwasnya hadis yang juga mengandung
ayat surat al-Isro:85 itu banyak dipahami oleh para ulama, pakar tafsir, pemikirr dan juga filosof bahwasanya ruh itu
sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Karena ruh merupakan urusan
Tuhan yang tidak dapat dipahami secara indrawi, melainkan secara batini.
H.
Daftar Pustaka
Rahim,
Rohaida Abdul, Al-Ruh menurut Ibnul qoyyim Al-Jauziyah, (Malaya, 2007)
Depdikbud,Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991)
Imam
Bukhori, Al-Jaami’ al-Shohih, (al-Maktabah al-Syamilah)
Umayah,
Takhrij Hadits, (Cirebon: Nurjati Press, 2011)
Fathullah,
Lutfi, Kitab 9 Hadis, (Lidwa
Pusaka i-sofware: Jakarta, 2012)
Asy-syafiri, Syamsudin, Syarah shohih Bukhori, (al-Maktabah
al-syamilah)
At-Tobathoba’i,
Al-Mîzân, jil. 1,
Muhammad
Nur Ali, Kamus Agama Islam, (Annizam, Cirebon: 2004)
George
N. Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, Terj. (Bandung: Pustaka, 1983)
Abdul
Karim bin Hawazin bin Abdul Malik al-Qusyairi, Lathooiful Isyarot,
(al-Maktabah al-Syamilah)
Kulaini, Kâfî,
jil. 1, hal. 274, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran,
[1] Rohaida
Abdul Rahim, Al-Ruh menurut Ibnul qoyyim Al-Jauziyah, (Malaya, 2007)
[2]
Depdikbud,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991),
hlm. 845
[3] Imam
Bukhori, Al-Jaami’ al-Shohih, (al-Maktabah al-Syamilah)
[4] Umayah, Takhrij
Hadits, (Cirebon: Nurjati Press, 2011) hlm.6-7
[7]
Syamsudin Asy-syafiri, Syarah
shohih Bukhori, (al-Maktabah al-syamilah)
[9] Muhammad
Nur Ali, Kamus Agama Islam, (Annizam, Cirebon: 2004) Hlm. 200
[10] Ibid.,
[11] George N. Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof
Muslim, Terj. (Bandung: Pustaka, 1983) Hlm. 93
[12] Ibid.,
hlm. 96
[13] Ibid.,
hlm 98
[14] Abdul
Karim bin Hawazin bin Abdul Malik al-Qusyairi, Lathooiful Isyarot,
(al-Maktabah al-Syamilah)
[15]
Kulaini, Kâfî, jil. 1, hal.
274, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran, 1365.
sama2,,,
BalasHapustrimakasih telah berkunjung ke rumah saya