Blem.com: Hadis
Tampilkan postingan dengan label Hadis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hadis. Tampilkan semua postingan

Minggu, Agustus 20, 2017

Alasan Imam Madzhab tidak Menggunakan Hadis Bukhori Muslim



Hadis merupakan sumber kedua setelah al-Quran. Ia merupakan catatan perjalanan hidup nabi baik berupa perkataan, perbuatan ataupun persetujuan. Maka dapat dipahami bahwa tidak semua hadis itu merupakan sabda nabi. Sebab adapula ucapan sahabat menjelaskan apa yang dilakukan oleh nabi.
Sejak zaman sahabat sendiri hadis tidaklah dibukukan. Hal ini terjadi karena nabi melarang untuk menuliskannya. Sebab hawatir akan tercampur dengan al-Quran. Oleh karenanya, hadis menjadi pedoman yang diyakini secara lisan dan dihafal. Sebab penulisan hadis justru terjadi jauh setelah nabi wafat.
Penulisan Hadis baru terjadi setelah kholifah al-Makmun menjelang tahun 100 H. artinya ini merupakan masa yang sangat lama. Jarak yang membentang jauh ini kemudian memunculkan problem baru terhadap keotentikan hadis itu sendiri. Dimana hadis tersebar tanpa diketahui apakah hadis itu sahih atau tidak. Sebab dalam faktanya, banyak bermunculan hadis-hadis palsu yang digunakan untuk membela kelompok atau kepentingannya sendiri.
Pada masa awal penulisan kitab hadis, hadir seorang imam madzhab yang ahli hadis yaitu Imam Malik. Beliau mengumpulkan hadis-hadis yang berkembang di Madinah dalam kitab beliau al-Muwattho. Beliau memiliki murid seorang yang alim bernama Imam Syafi’I, Imam Syafii juga murid Imam Hanafi meskipun belajar melalui muridnya. Dan Imam Syafii memiliki murid yang juga menjadi imam madzhab adalah Imam Hambali. Artinya, keempat ulama madzhab merupakan beberapa orang yang memang secara tahun berdekatan.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah keempat imam madzhab menggunakan hadis Bukhori Muslim? Jawabannya adalah “tidak” mengapa? Sebab Imam bukhori Muslim lahir jauh setelah wafatnya Imam madzhab. Imam Bukhori. Mari kita lihat masa hidup dari keempat imam madzhab
1.       Imam Hanafi (80-148 H)
2.       Imam hanafi (93-179 H)
3.       Imam Syafii (150-204 H)
4.       Imam Hambali (164-194 H)
Adapun Imam Bukhori lahir pada tahun 194 H – 256 H sedangkan Imam Muslim lahir pada tahun 202- 261 H. dari penjelasan diatas maka dpat disimpulkan bahwa keempat Imam Madzhab lahir sebelum Imam Bukhori Muslim. Bahkan dari keempat Imam Madzhab itu hanya Imam Syafii yang pernah hidup sezaman dengan Imam Bukhori. Yaitu dalam masa sepuluh tahun lamanya. Itupun dalam kondisi Imam Bukhori masih kecil. Dari sinilah kita bias mengambil kesimpulan mengapa keempat imam madzhab tidak ada yang menggunakan hadis Bukhori dan Muslim.
Jika kita menggunakan logika sederhana, maka tidaklah mungkin orang yang lahir terdahulu, menggunakan ilmu yang dilahirkan pada masa setelahnya. Sebab jangankan ilmunya, sedangkan orangya saja belum lahir.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana para Imam Madzhab meggunakan hadis? Apakah mereka tidak ahli Hadis?
Pertanyaan diatas merupakan pertanyaan yang salah kaprah. Sebab dalam melakukan istimbat hukum mereka jauh lebih dahulu menggunakan hadis yang kemudian mereka simpulkan menjadi ilmu baru yaitu fikih. Maka kemudian keempat imam madzhab tersebut terkenal sebagai ahli fikih.
Perlu diketahui bahwa dari manakah ilmu fikih yang mereka dapatkan? Tentu dari belajar kepada guru-guru mereka yang ahli hadis. Puluhan bahkan ratusan ribu hadis mereka telusuri dan pahami. Kemudian mereka simpulkan menjadi ilmu fikih. Sebgai contoh dalam madzhab syafii yang mengatakan bahwa rukun sholat itu 17. Apakah Imam Syafii mengarang sendiri? Tidak. Beliau mempelajari dari ratusan bahkan ribuan hadis. Sehingga muncul kesimpulan terhadap semua rukun sholat dan beberapa konsekuensi apabila meninggalkannya. Tentu ini bukanlah hal mudah. Perlu pemahaman yang dalam dan ilmu yang mumpuni.
Lantas, apabila ada segolongan manusia yang lahir di abad 15 ini merasa lebih pintar dari Imam Syafii, tanyakan saja pada mereka, berapakah hadis yang telah engkau teliti? Sebab tidak menggunakan hadis BUkhori berarti apa yang disampaikan tidak benar. Sebab kebenaran tidak hanya bersumber dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori Muslim. Banyak ulama hadis yang juga meriwayatkan hadis-hadis shohih. Bahwa hadis Bukhori Muslim adalah shohih itu iya, semua ulama mengakui. Akan tetapi bukan berarti selain keduanya tidak shohih. Meski hadis Bukhori Muslim adalah yang paling shohih akan tetapi tidak menutup kemungkinan hadis lain yang diriwayatkan beliau tidak shohih.
Maka, bermadzhab itu penting. Sebab meskipun hadis itu merupakan sumber kedua tidak berarti selain al-Quran dan haidis harus ditinggalkan. Sebab pada faktanya, kita akan lebih mudah memahami hukum-hukum Allah melalui madzhab fikih yang merupakan kesimpulan dari berbagai literatur al-Quran dan Hadis dengan tujuan agar kita lebih mudah memahami apa yang terkandung di dalam keduanya.
                Wallahu a’lam

Minggu, Maret 20, 2016

Biografi Imam Muslim




Biografi Imam Muslim[1]
Nama Imam Muslim adalah Muslim bin al Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Adapun kuniyah beliau adalah Abdul Husain. Nisbat imam Musli pada Al Qusyairi; merupakan nisbah kepada Qabilah afiliasi beliau, ada yang mengatakan bahwa Al Qusyairi merupakan orang Arab asli, dan ada juga yang berpendapat bahwa nisbah kepada Qusyair merupakan nisbah perwalian saja.  Adapun nisbat An Naisaburi; merupakan nisbah yang di tujukan kepada negri tempat beliau tinggal, yaitu Naisabur. Satu kota besar yang terletak di daerah Khurasan
Adapun mengenai kelahiran imam Bukhori para ulama tidak bisa memastikan tahun kelahiran beliau. Sehingga sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa tahun kelahirannya adalah tahun 204 Hijriah, dan ada juga yang berpendapat bahwa kelahiran beliau pada tahun 206 Hijriah.
Sesungguhnya lingkungan tempat tumbuh imam Muslim memberikan peluang yang sangat luas untuk menuntut ilmu yang bermanfa’at. Karena Naisabur merupakan negri hidup yang penuh dengan peninggalan ilmu dari pemilik syari’at. Semua itu terjadi karena banyaknya orang-orang yang sibuk untuk memperoleh ilmu dan mentransfer ilmu, maka besar kemungkinan bagi orang yang terlahir di lingkungan masyarakat seperti ini akan tumbuh dengan ilmu juga. Adanya kesempatan yang terpampang luas di hadapan Imam Muslim kecil untuk memetik dari buah-buah ilmu syariat tidak di sia-siakannya.
Beliau mendengar hadis di negrinya tinggal pada tahun 218 Hijriah dari gurunya Yahya bin Yahya At Tamimi, pada saat itu umurnya menginjak empat belas tahun. Disamping itu, beliau juga orang tuanya serta keluarganya mempunyai andil dalam memotifasinya untuk menuntut ilmu. Para ulama telah menceritakan bahwa orang tuanya, Al Hajaj adalah dari kalangan masyayikh, yaitu termasuk dari kalangan orang yang memperhatikan ilmu dan berusaha untuk memperolehnya.
Muslim mempunyai kesempatan untuk mengadakan perjalanan hajinya pada tahun 220 Hijriah. Pada saat keluar itu beliau mendengar hadis dari beberapa ahli hadis, kemubeliaun beliau segera kembali ke negrinya Naisabur.
Rihlah dalam rangka menuntut hadis merupakan syi’ar ahlul hadis pada abad-abad pertama, karena terpencarnya para pengusung sunnah dan atsar di berbagai belahan negri Islam yang sangat luas. Maka Imam Muslim pun tidak ketinggalan dengan meniti jalan pakar disiplin ilmu ini, dan beliau pun tidak ketinggalan dalam ambil bagian, karena dalam sejarah beliau tertulis rihlah ilmiahnya, beliauntaranya;
Rihlah pertama; rihlah beliau untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 220 hijriah, pada saat beliau masih muda beliau, pada saat itu beliau berjumpa dengan gurunya yaitu Abdullah bin Maslamah al Qa’nabi di Makkah dan mendengar hadis darinya. Sebagaimana beliau juga mendengar hadis dari Ahmad bin Yunus dan beberapa ulama hadis yang lainnya ketika di tengah perjalanan di daerah Kufah. Kemudian kembali lagi ke negrinya dan tidak memperpanjang rihlahnya pada saat itu.
Rihlah kedua; rihlah kedua ini begitu panjang dan lebih menjelajah ke negri Islam lainnya. Rihlah ini di mulai sebelum tahun 230 Hijriah. Beliau berkeliling dan memperbanyak mendengar hadis. Sehingga beliau mendengar dari bayak ahli hadis. Inilah yang mengantarkan beliau kepada derajat seorang imam dan kemajuan di bidang ilmu hadis.
            Adapun negeri yang pernah dijelajahinya dalammenuntut ilmu adalah Khurasan dan daerah sekitarnya, Ar Ray, Kufah, Bashrah Baghdad, Makkah, Madinah, Asy Syam serta Mesir.
Perjalanan ilmiah yang dilakukan imam Muslim menyebabkan dirinya mempunyai banyak guru dari kalangan ahlul hadis. Al Hafizh Adz Dzahabi telah menghitung jumlah guru yang beliau ambil riwayatnya oleh imam Muslim dan dicantumkan di dalam kitab shahihnya berjumlah 220 orang. serta masih ada lagi selain mereka yang tidak di cantumkan di dalam kitab shahihnya
Adapun guru-guru beliau yang paling banyak meriwayatkan hadis kepadanya adalah: Abdullah bin Maslamah Al Qa’nabi (guru beliau yang paling tua), Al Imam Muhammad bin Isma’il Al Bukhari, Al Imam Ahmad bin Hambal, Al Imam Ishaq bin Rahuyah al Faqih al Mujtahid Al Hafizh, Yahya bin Ma’in, imam jarhu wa ta’dil, Ishaq bin Manshur al Kausaj, Abu Bakar bin Abi Syaibah, penulis buku al Mushannaf, Abdullah bin Abdurrahman Ad Darimi, Abu Kuraib Muhammad bin Al ‘Alaa`, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Abd bin Hamid.
Al Imam Muslim sibuk menyebarkan ilmunya di negrinya dan negri-negri Islam lainnya, baik dengan pena maupun dengan lisannya, maka beliau pun tidak terlepas untuk mendektekan hadis dan meriwayatkannya, sehingga banyak sekali para penuntut ilmu mengambil ilmu dari beliau. diantara murid-murid beliau adalah: Muhammad bin Abdul wahhab al Farra`, Abu Hatim Muhammad bin Idris ar Razi, Abu Bakar Muhammad bin An Nadlr bin Salamah al Jarudi, Ali bin Al Husain bin al Junaid ar Razi, Shalih bin Muhammad Jazrah, Abu Isa at Tirmidzi, Ibrahim bin Abu Thalib, Ahmad bin Salamah An Naisaburi, Abu Bakar bin Khuzaimah, Makki bin ‘Abdan, Abdurrahman bin Abu Hatim ar Razi, Abu Hamid Ahmad bin Muhammad bin Asy Syarqi, Abu Awanah al-Isfarayini, Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan al Faqih az Zahid.
Persaksian para ulama terhadap beliau
1.      Ishak bin Mansur al Kausaj pernah berkata kepada imam Muslim: “sekali-kali kami tidak akan kehilangan kebaikan selama Allah menetapkan engkau bagi kaum muslimin.”
2.      Muhammad bin Basysyar Bundar berkata; “huffazh dunia itu ada empat; Abu Zur’ah di ar Ray, Muslim di An Naisabur, Abdullah Ad Darimi di Samarkand, dan Muhammad bin Isma’il di Bukhara.”
3.      Muhammad bin Abdul Wahhab Al Farra` berkata; “(Muslim) merupakan ulama manusia, lumbung ilmu, dan aku tidak mengetahuinya kecuali kebaikan.”
4.      Ahmad bin Salamah An Naisaburi menuturkan; “Saya melihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim selalu mengutamakan Muslim bin al-Hajjaj dalam perkara hadis shahih ketimbang para masyayikh zaman keduanya.
5.      Ibnu Abi Hatim mengatakan: ” Saya menulis hadis darinya di Ray, dan beliau merupakan orang yang tsiqah dari kalangan huffazh, memiliki pengetahuan yang mendalam dalam masalah hadis. Ketika ayahku di Tanya tentang beliau, maka beliau menjawab; (Muslim) Shaduuq.”
6.      Maslamah bin Qasim al Andalusi berkata; ” tsiqah, mempunyai kedudukan yang agung, termasuk dari kalangan para imam.”
7.      Abu Ya’la Al Khalili berkata; “beliau sangat familier sekali untuk di sebutkan keutamaannya.”
8.      Al Khatib Al Baghdadi berkata; “(beliau) merupakan salah seorang a`immah dan penghafal hadis.”
9.      As Sam’ani menuturkan; “termasuk salah seorang imam dunia.”
10.  Ibnul Atsir berkata; “termasuk salah seorang dari para imam penghafal hadis.”
11.  Ibnu Katsir berkata; “termasuk salah seorang dari para imam penghafal hadis.”
12.  Adz Dzahabi berkata; ” Imam besar, hafizh lagi mumpuni, hujah serta orang yang jujur.”

Hasil karya beliau
Imam Muslim mempunyai hasil karya dalam bidang ilmu hadis yang jumlahnya cukup banyak. Di antaranya ada yang sampai kepada kita dan sebagian lagi ada yang tidak sampai. Adapun hasil karya beliau yang sampai kepada kita adalah:  Al Jami’ ash Shahih, Al Kuna wa Al Asma’, Al Munfaridaat wa al wildan, Ath Thabaqaat, Rijalu ‘Urwah bin Az Zubair,At Tamyiz
Sedangkan hasil karya beliau yang tidak sampai kepada kita adalah: Al Musnad al Kabir ‘Ala ar Rijal, Al Jami’ al Kabir, Al ‘Ilal, Al Afraad, Al Aqraan, Su`alaat Muslim, Hadis ‘Amru bin Syu’aib, Al Intifaa’ bi`ahabbi as sibaa’, Masyayikhu Malik, Masyayikhu Ats Tsauri, Masyayikhu Syu’bah, Man laisa lahu illa raawin waahid, Kitab al Mukhadldlramin, Awladu ash shahabah, Dzikru awhaami al Muhadditsin, Afraadu Asy Syamiyyin

Wafatnya beliau
Imam Muslim wafat pada hari Ahad sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H bertepatan dengan 5 Mei 875. dalam usia beliau 55 tahun.



[1] Lutfi  Fathullah, Kitab 9 Hadis,  (Lidwa Pusaka i-sofware: Jakarta, 2012)

Polemik Hadis


Perdebatan Seputar Hadis;
Polemik antara Sarjana Muslim dan Barat[1]
Oleh: A. Badruddin
Hadis sebagaimana diyakini oleh kaum muslim merupakan sumber kedua setelah al-qur’an. Dimana dalam keyakinan tersebut mempelajarinya merupakan ibadah. Oleh karena Hadis juga memiliki otoritas dalam keagamaan maka para ulama terdahulu telah  memilih serta menyeleksi hadis berdasarkan pada klasifikasi yang sangat ketat. Sehingga dapat diyakini  keotentikanya. Sementara itu para sarjana muslim pengkaji hadis sangat dipengaruhi oleh peran penting hadis sebagai sumber hukum serta otoritasnya. Namun dilain sisi, ada perbedaan sudut pandang yang dilakukan oleh Barat dimana hadis bukan dimaknai sebagi sumber ajaran teologis melainkan hanya untuk kepentingan sejarah. Pengkajian hadis yang dilakukan oleh Barat  adalah penekanan pada penanggalan atas sebuah hadis untuk menilai asal-usul atau sumbernya.[2] Sebagai  contoh adalah ketika mereka mempelajari hukum Islam. Mereka memandang bukan dari sudut pandang bahwa semua itu merupakan sumber pemikiran, bukan sebagai hak dan kewajiban yang harus dilakukan. Dengan kata lain, mereka merupakan para pakar budaya, bukan ahli hukum meskipun mereka  mengetauhi hukum.
Sejak  abad ke 19 pengkajian mengenai otentisitas hadis mulai  ramai diperbincangkan, baik dari kalangan Muslim ataupun Barat.  Sebagaimana Abu Hayyan menyebutkan bahwa originalitas hadis telah rusak karena adanya periwayatan bil ma’na.
Buku yang ditulis oleh  Komarudin Amin ini menjelaskan berbagai metode yang digunakan oleh orang Islam ataupun Barat dalam menentukan keterpercayaan suatu hadis. Disamping itu, pedekatan baru juga dilakukan sehingga apa yang tertuliskan disini merupakan satu hal yang berbeda dari apa yang biasa disuguhkan oleh kebanyakan penulis.
Bagi sarjana Muslim awal, polemik mengenai keotentikan suatu hadis sudah diyakini dan diketahui lebih awal sebelum Barat mulai melakukan kritik terhadap keotentikan hadis. Hal ini terlihat dari banyak karya ulama yang mencoba menelusuri hadis-hadis yang shohih dan yang memiliki derajat dibawahnya. Dalam melakukan kritik hadis tersebut, para ulama klasik menggunakan tiga pendekatan yaitu: Pertama: mengkaji riwayat.  Yakni  menelusuri kesinambungan antara perowi yang satu dengan perowi yang lainya. Usaha ini merupakan mencari jalur-jalur sanad yang dapat dipercaya dan memiliki ketersambungan sanad. Kedua: mengkaji tentang nama-nama perowi. Dalam hal ini yang dilakukan adalah menjelaskan nama-nama perowi  baik kelahiranya, guru, murid, sikap, keseharian, serta daya ingat atau kekuatan hafalanya. Ketiga: mengkaji kandungan hadis. Dimana dalam hal ini yang ditekankan adalah pengkajian matan hadis. Apakah ia bertentangan denganal-Qur’an atau tidak,  atau juga dengan hadis lain yang lebih tsiqoh.
Dalam kesarjanaan Muslim, jalur tunggal sering disebut sebagai  hadis  syadz, ghorib atau juga fard. Dapat dipercayanya seorang rawi merupakan syarat utama suatu hadis. Apabila perawi merupakan orang yang dipercaya, maka hadisnya pun dipercaya. Meskipun demikian, apabila suatu hadis dianggap tsiqoh  dan bertentangan dengan hadis lain yang lebih tsiqoh maka riiwayat ini tidak tsiqoh. Hal ini tentu banyaknya perawi dalam setiap tingkatan sama sekali  tidak mempengaruhi kualitas hadis. Akan tetapi yang mempengaruhinya adalah ketsiqohan rawi.[3]
Metode yang dilakukan oleh ulama hadis periode awal ini juga sempat menimbulkan kontroversi. Analisis sanad yang lebih dikedepankan oleh para ulama, dinilai telah mengabaikan esensi dari makna hadis. Pendapat seperti ini juga ditolak oleh beberapa pengkaji lain bahwa pada dasarnya, apa yang dilakukan oleh sarjana di awal penulisan hadis sama sekali tidak meninggalkan aspek matan. Bahkan pengkajian sanad sendiri merupakan satu upaya untuk mengetahuai kualitas hadis. Yang pada akhirnya akan pada satu kesimpulan bahwa apa yang telah dilakukan oleh para pengkaji hadis di masa awal itu merupakan karya fenomenal bagi masa sekarang.
Meskipun sanad merupakan kriteria yang paling  menentukan dalam memastikan keotentikan hadis, para sarjana generasi awal (tradisional) juga tidak mengabaikan matan. Dalam hal ini Muslim menyatakan dalam muqoddimahnya bahwa kesahihan hadis juga dapat ditinjau setelah  melihat matan hadis yang lain apakah ia memiliki kontradiksi dengan hadis yang lebih tinggi derajatnya atau tidak? Jika mayoritas ulama hadis mengungkapkan hadis tersebut memiliki kelemahan, maka hadis tersebut juga termasuk lemah dan tidak digunakan.[4]
Bukhori menjelaskan jalur emas adalah dari ibnu umar adalah jalur malik dari nafi dan jalur abu huroiroh adalah jalur dari abu az-zinad dari al-a’roj.[5]
Adapun menurut kaidah yang dilakukan oleh Barat serta analisis cum matan, dalam periwayatan sesungguhnya, perbedaan varian-varian matan dari para murid yang meriwayatkan dan para informan yang sama bisa saja terjadi terutama pada abad pertama dan paruh pertama abad kedua hijriyah.[6]
Pandangan Barat yang mengatakan bahwa hadis merupakan sumber sejarah telah menjadi polemik yang sangat panjang. Diantaranya adalah munculnya sikap skeptis terhadap hadis. Bahkan mereka meragukan separuh hadis yang dimuat dalam shohih Bukhori. Sikap kritis Barat ini menjadikan hadis menuai  banyak kritik.  Sampai pada puncaknya adalah apa yang dilakukan oleh Ignaz Golziher sebagai orang yang pertama kali membawa hadis pada ranah kajian kritis. Ia menganggap bahwa hadis bukan merupakan sumber terpercaya dalam Islam melainkan sebuah sumber yang mengandung nilai dogmatis.
Tidak berhenti sampai disitu, pengkajian Barat mulai ramai sebagaimana muncul pula Josep shcat yang mengatakan bahwa suatu sanad memiliki kecenderungan membengkak pada masa belakangan dari periwayatan. Dengan teori common linnk-nya ia mengatakan bahwa sedikit sekali hadis yang berasal dari nabi. Asumsi ini dilandaskan pada orang yang meriwayatkan hadis. Suatu hadis dinyatakan historis apabila memiliki periwayat yang banyak. Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa dimasa awal islam, periwayat hadis sangatlah sedikit. Baru pada masa belakangan muncul para periawayat baru yang sangat banyak jumlahnya.
Study Barat atas Islam tidak berhenti disitu. Setelah Shcat memunculkan teorinya, teori tersebut  juga diadopsi oleh sarjana Barat yaitu Juynboll.  Ada hal penting yang menjadi pertanyaan mendasardalam study Juynboll adalah bahwa historisitas suatu hadis sepatutnya  dimunculkan dari pertanyaan “dimana, kapan dan siapa yang bertanggungjawab atas keotentikan suatu hadis.
Baik Shcat  ataupun Juynboll, keduanya mengatakan bahwa common link merupakan pemalsu hadis. Juynboll juga mengatakan bahwa hanya riwayat common link yang didukung oleh beberapa parcial common link yang dapat dianggap sebagai jalur periwayatan historis.[7] Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dikatakan oleh  Motzki yang cenderung mengatakan bahwa common link merupakan bukti dari suatu hadis mulai diriwayatkan secara sistematis. Oleh karenanya dengan kesimpulan ini, berarti apa yang ada diatas common link merupakan periwayat hadis yang asli.
Menurut Cook, common link adalah hasil dari sebuah proses jalur isnad. Oleh karena itu, munculnya seorang common link tidak dapat menyajikan titik sejarah yang pasti tentang periwayatan hadis.[8]
Menurut Schat penulisan hadis sejak masa nabi merupakan satu hal yang tidak mungkin. Ia berargumen bahwa pada saat itu nabi sendiri melarangnya. Hal ini ditolak oleh M. Azami. Ia mengatakan bahwa  sesungguhnya hadis sudah ditulis pada masa awal, bahkan sejak zaman nabi.[9]
Menurut Juynboll perawi yang memiliki banyak  murid disebut common link, sedangkan murid dari common link yang memiliki banyak murid disebut parcial common link. Sedangkan jalur tunggal antara common link dan Nabi disebut sebagai singgle strand.[10]
Setidaknya,  apa  yang tergambar dalam tulisan ini sedikit menjelaskan apa yang telah disebutkan oleh Komarudi Amin dalam bukunya “Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis”



[1] Tulisan ini dapat diakses dan dibaca ulang di alamat http://sejarah.kompasiana.com/2013/04/22/ada-apa-dengan-barat-549019.html dengan perubahan judul yang bertujuan untuk memikat para pembaca terhadap olemik yang terjadi dalam dunia kesarjanaan Muslim dan juga Barat. Dengan adanya perubahan tersebut maka judul yang penulis berikan adalah: “Ada Aapa dengan Barat???”
[2] Hlm. 163
[3] Hlm. 172
[4] Hlm. 84
[5] Hlm. 221
[6] Hlm. 279
[7] Hlm. 163
[8] Hlm. 175
[9] Hlm. 135
[10] Hlm. 162