Ahir-ahir ini dunia medsos diramaikan
oleh status-status yang merujuk perkataan ustad kondang Hanan Attaki yang
mengatakan bahwa kesalehan seorang istri itu diukur oleh berat badannya. Ukuran
berat badan wanita salehah tidak lebih dari 55 kilogram. Hal ini menjadi ramai
perbincangan terutama bagi ibu-ibu yang merasa berat badannya melebihi setandar
kesalehahan. Bagaimana tidak, hampir rata-rata wanita yang sudah menikah
memiliki berat badan yang lebih daripada sebelum menikah. Entah apa yang
terjadi, yang jelas dokter yang lebih berkompeten dalam hal ini yang akan
menjelaskan. Kalau penulis hanya berharap Semoga ini pertanda bahwa
pernikahannya bahagia yah,,, hehhehe
Kembali ke topik pembicaraan. Lalu bagiamanakah
idealnya berat badan wanita salehah? Apakah yang memiliki berat badan lebih
dari 55 kilogram tidak salehah?
Disini penulis akan menjelaskan
sedikit gambaran mengenai berita hoax dan konten-konten tak bersahabat bagi
kerukunan. Kok bias? Ya, hal ini terjadi karena belakangan ini sering terjadi
benturan antar agama dan aliran kepercayaan yang masalahnya selalu dikaitkan
dengan politik. Sehingga panasnya suhu politik melebar ke berbagai aspek
keberagaman di bumi nusantara. Sehingga apapun yang sebenarnya menjadi domain
agama terkadang diseret menjadi modal penjatuhan dalam perpolitikan. Hal ini
sangat wajar. Paska demo berjilid-jilid seakan umat Islam terbagi menjadi dua
kubu. Yaitu kubu pro pemerintah dan oposisi. Efek dari suhu politik yang
memanas ini adalah terjadinya beberapa isu yang laris manis dijadikan
perbincangan antara kelompok dengan mengatasnamakan agama.
Nah sampai disini akan penulis
jelaskan kaitanya dengan berat badan sebagai kesalehahan seoran istri.
Pertama: Masih
segar di ingatan netizen pidato seorang ketua umum PBNU KH. Said Aqil yang
mengatakan bahwa semakin panjang jenggot seseorang semakin gob**k. demikian dalam
beberapa kesempatan KH. Said Aqil menyebutkan.
Jika netizen memahami retorika
berbicara. Maka bahasa yang disampaikan oleh KH. Said Aqil merupakan bayolan
atau guyon. Sebab permasalahan tersebut dikaitkan dengan seseorang yang
beranggapan bahwa jenggot menjadi tolak ukur kesalehan seorang muslim. Yang berarti
bahwa cirri orang Islam yang saleh dan sesuai tuntunan rasul adalah jenggotnya.
Mereka yang berjenggot dipandang lebih nyunnah daripada yang tidak. Hal ini
dipertegas dengan hadis nabi yang menyuruh memanjangkan jenggot dan memotong
kumis.
Tentu, hadis menjadi rujukan utama
adalah wajib. Akan tetapi memahami hadis hanya melalui teksnya inilah yang
menjadi persoalan. Sebab hadis memiliki asbabul
wurud atau sebab-sebab munculnya
hadis. Yang terkadang memiliki makna yang temporal. Bahkan beberapa hadis dapat
disimpulkan menjadi hokum melalui beberapa tahapan diantaranya dengan komparasi
berbagai macam hadis serta melihatnya dari berbagai sudut pandang. Satu hadis
kadang memiliki arti sendiri ada pula yang memerlukan takwil dan penjelasan
dari hadis yang lain. Dalam hal ini
sangat tepat bila dipahami sesuai dengan sebab-sebab munculnya hadis tersebut. Dimana
umat Islam sedang berjuang melawan kaum kafir Quraisy yang membangkang. Yaitu dengan
cara peperangan. Dimana tanda yang digunakan oleh mereka adalah berkumis tebal
dan tidak berjenggot. Oleh karenanya nabi mengutus sahabatnya untuk memotong
kumis dan memanjangkan jenggot. Hal ini kaitannya dengan identitas dalam
strategi perang. Yaitu agar mudah dikenali mana lawan dan kawan.
Jika hadis nabi yang memerintahkan
memanjangkan jenggot dipahami secara leterlek, maka kesimpulannya adalah setiap
yang tidak berjenggot berarti tidak menjalankan sunnah nabi.
Dalam hal ini KH. Said Aqil bukan
mengkritik jenggotnya, bukan mengkritik hadisnya akan tetapi mengkritik
idiologi yang memahami hadis tersebut secara leterlek. Sebab klaim kebenaran
dan pemahaman terkait dengan jenggot ini melebar menjadi satu identitas juga di
masa sekarang. Dimana akan ada kesimpulan mereka yang berjenggot adalah
pengikit sunnah nabi sedangkan yang tidak, berarti tidak melakukan sunnah nabi.
Maka, jengot menjadi identitas kelompok.
Sekali lagi, bukan masalah
jenggotnya, tapi idiologi orang yang “berjenggot” itulah yang di kritik oleh
KH. Said Aqil. Maka, sebagaimana memahami hadis nabi tersebut, menafsirkan
bahwa ketua PBNU menganggap goblok orang yang berjenggot secara leterlek juga
akan menimbulkan pemahaman yang keliru pula. Sebab secara maknawi kritik
tersebut bukan ditujukan kepada jenggotnya, melainkan idiologi kaum berjenggot
yang menganggap jenggot adalah kesunnahan sejati.
Sampai di sini, erjadilah perdebatan
sengit serta bully an ganas dari mereka yang tidak sepaham dengan ucapan KH.
Said Aqil. Anggapan mereka beliau menjelekkan sunnah, dan menganggap bodoh
orang yang berjenggot. Padahal sekali lagi, bukan jenggotnya, akan tetapi
idiologinya. Maka sebaiknya pahami perkataan tersebut berdasarkan maknanya,
bukan teksnya.
Berkaitan dengan ukuran kesalehahan
istri diukur dari berat badan juga demikian, jika kita memahami secara
leterlek, maka akan timbul pemahaman yang keliru yang berpotensi terhadap
penyimpangan dan perdebatan panjang. Sebab, bukan lagi kaitannya dengan ibu-ibu
yang beratnya melebihi batas kesalehhan akan tetapi sudah menjadi isu identitas
sebagaimana kasus diatas.
Saling serang dan cacian menjadi
trend baru apabila muncul dari kelompok yang bersebrangan. Maka trend baru
zaman sekarang adalah mencaci dan menghina apa yang menjadi kesalahan pemahaman
tanpa tabayyun. Oleh karenanya isu identitas sennatiasa akan terulang dan
terulang lagi tanpa ada habisnya.
Maka dari sini dapat disimpulkan
bahwa memahami perkataan KH. Said Aqil dan Ustad Hanan Attaki tidak bias dipahami
secara leterlek. Melainkan persepsi bahwa itu adalah seni retorika yang
memiliki makna dibalik perkataannya. Setidaknya, pahamilah itu sebagai guyonan
yang memiliki makna dalam agar tidak memahami kesunnahan diukur dari
jenggotnya. Serta asumsi bahwa wanita salehah adalah ia yang sering berpuasa,
menahan segala keinginan ngemil yang berlebihan. Hal ini tentu agar berat
badannya tidak melebihi batas kesalehan.
Bolehlah kiranya penulis mengajak
netizen agar lebih mengedepankan makna bukan uraian retorika agar tidak terjadi
salah makna dan bully an yang tak ada gunanya. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar