Blem.com: Berat Badan Jadi Ukuran Kesalehan

Senin, Juli 23, 2018

Berat Badan Jadi Ukuran Kesalehan

 Ahir-ahir ini dunia medsos diramaikan oleh status-status yang merujuk perkataan ustad kondang Hanan Attaki yang mengatakan bahwa kesalehan seorang istri itu diukur oleh berat badannya. Ukuran berat badan wanita salehah tidak lebih dari 55 kilogram. Hal ini menjadi ramai perbincangan terutama bagi ibu-ibu yang merasa berat badannya melebihi setandar kesalehahan. Bagaimana tidak, hampir rata-rata wanita yang sudah menikah memiliki berat badan yang lebih daripada sebelum menikah. Entah apa yang terjadi, yang jelas dokter yang lebih berkompeten dalam hal ini yang akan menjelaskan. Kalau penulis hanya berharap Semoga ini pertanda bahwa pernikahannya bahagia yah,,, hehhehe


Kembali ke topik pembicaraan. Lalu bagiamanakah idealnya berat badan wanita salehah? Apakah yang memiliki berat badan lebih dari 55 kilogram tidak salehah?

Disini penulis akan menjelaskan sedikit gambaran mengenai berita hoax dan konten-konten tak bersahabat bagi kerukunan. Kok bias? Ya, hal ini terjadi karena belakangan ini sering terjadi benturan antar agama dan aliran kepercayaan yang masalahnya selalu dikaitkan dengan politik. Sehingga panasnya suhu politik melebar ke berbagai aspek keberagaman di bumi nusantara. Sehingga apapun yang sebenarnya menjadi domain agama terkadang diseret menjadi modal penjatuhan dalam perpolitikan. Hal ini sangat wajar. Paska demo berjilid-jilid seakan umat Islam terbagi menjadi dua kubu. Yaitu kubu pro pemerintah dan oposisi. Efek dari suhu politik yang memanas ini adalah terjadinya beberapa isu yang laris manis dijadikan perbincangan antara kelompok dengan mengatasnamakan agama.

Nah sampai disini akan penulis jelaskan kaitanya dengan berat badan sebagai kesalehahan seoran istri.

Pertama: Masih segar di ingatan netizen pidato seorang ketua umum PBNU KH. Said Aqil yang mengatakan bahwa semakin panjang jenggot seseorang semakin gob**k. demikian dalam beberapa kesempatan KH. Said Aqil menyebutkan.

Jika netizen memahami retorika berbicara. Maka bahasa yang disampaikan oleh KH. Said Aqil merupakan bayolan atau guyon. Sebab permasalahan tersebut dikaitkan dengan seseorang yang beranggapan bahwa jenggot menjadi tolak ukur kesalehan seorang muslim. Yang berarti bahwa cirri orang Islam yang saleh dan sesuai tuntunan rasul adalah jenggotnya. Mereka yang berjenggot dipandang lebih nyunnah daripada yang tidak. Hal ini dipertegas dengan hadis nabi yang menyuruh memanjangkan jenggot dan memotong kumis.

Tentu, hadis menjadi rujukan utama adalah wajib. Akan tetapi memahami hadis hanya melalui teksnya inilah yang menjadi persoalan. Sebab hadis memiliki asbabul wurud  atau sebab-sebab munculnya hadis. Yang terkadang memiliki makna yang temporal. Bahkan beberapa hadis dapat disimpulkan menjadi hokum melalui beberapa tahapan diantaranya dengan komparasi berbagai macam hadis serta melihatnya dari berbagai sudut pandang. Satu hadis kadang memiliki arti sendiri ada pula yang memerlukan takwil dan penjelasan dari hadis yang lain.  Dalam hal ini sangat tepat bila dipahami sesuai dengan sebab-sebab munculnya hadis tersebut. Dimana umat Islam sedang berjuang melawan kaum kafir Quraisy yang membangkang. Yaitu dengan cara peperangan. Dimana tanda yang digunakan oleh mereka adalah berkumis tebal dan tidak berjenggot. Oleh karenanya nabi mengutus sahabatnya untuk memotong kumis dan memanjangkan jenggot. Hal ini kaitannya dengan identitas dalam strategi perang. Yaitu agar mudah dikenali mana lawan dan kawan.

Jika hadis nabi yang memerintahkan memanjangkan jenggot dipahami secara leterlek, maka kesimpulannya adalah setiap yang tidak berjenggot berarti tidak menjalankan sunnah nabi.

Dalam hal ini KH. Said Aqil bukan mengkritik jenggotnya, bukan mengkritik hadisnya akan tetapi mengkritik idiologi yang memahami hadis tersebut secara leterlek. Sebab klaim kebenaran dan pemahaman terkait dengan jenggot ini melebar menjadi satu identitas juga di masa sekarang. Dimana akan ada kesimpulan mereka yang berjenggot adalah pengikit sunnah nabi sedangkan yang tidak, berarti tidak melakukan sunnah nabi. Maka, jengot menjadi identitas kelompok.

Sekali lagi, bukan masalah jenggotnya, tapi idiologi orang yang “berjenggot” itulah yang di kritik oleh KH. Said Aqil. Maka, sebagaimana memahami hadis nabi tersebut, menafsirkan bahwa ketua PBNU menganggap goblok orang yang berjenggot secara leterlek juga akan menimbulkan pemahaman yang keliru pula. Sebab secara maknawi kritik tersebut bukan ditujukan kepada jenggotnya, melainkan idiologi kaum berjenggot yang menganggap jenggot adalah kesunnahan sejati.
Sampai di sini, erjadilah perdebatan sengit serta bully an ganas dari mereka yang tidak sepaham dengan ucapan KH. Said Aqil. Anggapan mereka beliau menjelekkan sunnah, dan menganggap bodoh orang yang berjenggot. Padahal sekali lagi, bukan jenggotnya, akan tetapi idiologinya. Maka sebaiknya pahami perkataan tersebut berdasarkan maknanya, bukan teksnya.
Berkaitan dengan ukuran kesalehahan istri diukur dari berat badan juga demikian, jika kita memahami secara leterlek, maka akan timbul pemahaman yang keliru yang berpotensi terhadap penyimpangan dan perdebatan panjang. Sebab, bukan lagi kaitannya dengan ibu-ibu yang beratnya melebihi batas kesalehhan akan tetapi sudah menjadi isu identitas sebagaimana kasus diatas.

Saling serang dan cacian menjadi trend baru apabila muncul dari kelompok yang bersebrangan. Maka trend baru zaman sekarang adalah mencaci dan menghina apa yang menjadi kesalahan pemahaman tanpa tabayyun. Oleh karenanya isu identitas sennatiasa akan terulang dan terulang lagi tanpa ada habisnya.

Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa memahami perkataan KH. Said Aqil dan Ustad Hanan Attaki tidak bias dipahami secara leterlek. Melainkan persepsi bahwa itu adalah seni retorika yang memiliki makna dibalik perkataannya. Setidaknya, pahamilah itu sebagai guyonan yang memiliki makna dalam agar tidak memahami kesunnahan diukur dari jenggotnya. Serta asumsi bahwa wanita salehah adalah ia yang sering berpuasa, menahan segala keinginan ngemil yang berlebihan. Hal ini tentu agar berat badannya tidak melebihi batas kesalehan.

Bolehlah kiranya penulis mengajak netizen agar lebih mengedepankan makna bukan uraian retorika agar tidak terjadi salah makna dan bully an yang tak ada gunanya. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar