Bada Kupat, Tradisi yang Patut dilestarikan
Oleh: Ahmad Badruddin[1]
Bagi sebagian
besar kaum muslimin peringatan hari raya (bada) diperingati dua kali dalam
setahun. Yaitu hari raya idul fitri tanggal 1 syawwal dan juga hari raya idul adha tanggal 10 dzul
hijjah. Berkaitan dengan kedua hari raya tersebut ada sebagian masyarakat
Cirebon menamai hari raya idul fitri dengan sebutan raya cilik. Sedangkan hari
raya idul adha disebut sebagai raya agung. Namun terlepas dari itu semua ada satu hari raya lagi yang juga diperingati
oleh masyarakat Cirebon yaitu “raya kupat” atau “bada kupat”.
Bada kupat
merupakan tradisi turun temurun yang
dirayakan pada hari ke 7 di bulan syawwal. Dimana kata “bada” berasal dari kata
“bakda” dalam bahasa Arab berarti
rampung, sudah dan juga selesai. Dalam hal ini tentunya setelah selesai
melakukan puasa ramadhan selama sebulan. Oleh karenanya pada hari itu disebut bada atau lebaran
sebagai perayaan dari selesainya ibadah puasa ramadhan. Demikian juga dengan
“bada kupat” yaitu perayaan yang dilakukan setelah orang selesai melakukan
puasa sunnah selama enam hari di bulan syawwal. Sebagaimana sabda nabi yang
diriwayatkan oleh imam Muslim bahwa “barangsiapa yang melakukan puasa di bulan ramadhan dan
enam hari di bulan syawal maka seperti halnya berpuasa setahun penuh”.
Begitu amat besar pahala yang dijanjikan oleh Allah kepada orang yang melakukan
puasa selama enam hari di bulan syawal. Oleh karenanya pantaslah kiranya orang
Islam merayakan kebahagiaan itu dengan merayakan kemenangan tersebut dengan
bada kupat. Disamping bada kupat, orang Jawa juga sering menamainya dengan
syawalan.
Dalam ajaran
Islam, sebenarnya Rosulullah saw tidak menganjurkan untuk merayakan bada kupat.
Yang ada hanyalah perayaan idul fitri. Dimana
hari tersebut merupakan hari kemenangan bagi umat Islam setelah sebulan
penuh melaksanakan puasa ramadhan. Di hari itu dosa-dosa yang berhubungan
dengan Allah dan juga manusia dihapuskan setelah melakukan silaturahmi dan juga
saling memaafkan.
Hidangan ketupat
pada perayaan bada kupat bukan sembarang makanan yang dihidangkan. Dilihat dari
namanya, ketupat atau kupat memiliki filosofi arti tersendiri yaitu “ngaku
lepat” atau dalam bahasa Indonesia berarti “mengakui kesalahan”. Baik kesalahan
yang disengaja ataupun tidak disengaja. Kemudian jika kita melihat pada
bentuknya, ketupat memiliki dua macam bentuk yaitu ada yang memiliki empat sisi.
Serta ada juga yang enam atau tujuh sisi. Filosofi Jawa menunjukan bahwa kupat
yang memiliki empat sisi berarti “laku kang papat” (melakukan empat hal). Empat
hal tersebut adalah puasa ramadhan, membayar zakat fitrah, sholat ied dan juga
puasa enam hari di bulan syawal. Sedangkan ketupat yang memiliki enam atau tujuh sisi berarti rukun iman yang enam.
Sedangkan tujuh memiliki arti yang tidak terbatas. Beberapa diantaranya adalah
Allah menciptakan langit dan bumi sebanyak tujuh lapis, tujuh hari dalam seminggu,
serta keistimewaan-keistimewaan lain yang terkandung di dalamnya. Adapun janur
kuning yang membungkusnya berarti kesucian dan isi ketupat yang berwarna putih berarti
kesucian.
Selidik demi
selidik, ternyata peringatan bada kupat memang banyak dilakukan oleh
orang-orang di Jawa seperti Pekalongan, Solo, Jepara, Pati serta yang lainya.
Hanya saja proses perayaanya yang berbeda. Ada yang merayakan bada kupat dengan
cara berkumpul di masjid atau mushola.
Kemudian mereka melakukan doa bersama dan diakhiri dengan makan kupat bersama.
Ada juga yang merayakanya dengan cara mengirim ketupat kepada kerabat yang
lebih tua. Di Cirebon, terutama di pesantren Gedongan, Buntet, Kempek dan juga
yang lainya dilakukan dengan silaturahmi santri dan juga masyarakat yang jauh
dari komplek pesantren ke guru dan para kiai. Hal ini disamping bertujuan ingin meminta maaf, juga
mencari berkah dari para kiai. Akan tetapi meskipun berbeda dalam hal
perayaanya, pada akhirnya adalah sama yaitu makan ketupat bersama.
Tradisi yang
sangat baik ini perlu dilestarikan. Kenapa? karena mengingat sekarang banyak
masyarakat yang tidak memperdulikan lagi masalah tradisi dan terbawa oleh
budaya pop yang cenderung instan dan tak ingin repot. Padahal, tradisi tersebut
mengajarkan kerukunan dan kebersamaan. Maka, jika hal ini berhasil dilakukan
akan terciptalah orang Islam yang kuat sebagaimana Nabi sabdakan “orang
muslim adalah saudaranya orang muslim, antara yang satu dan yang lainya saling
menguatkan”. Maka bukankah kebersamaan yang kita inginkan? Jika kita tidak
memperdulikan,
siapa lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar