Tebuireng, nama sebuah
dusun kecil di tepi jalan raya Jombang-Kediri, delapan kilometer arah selatan
kota Jombang. Legenda masyarakat setempat menyebutkan, bahwa nama Tebuireng
berasal dari kebo ireng. Bermula dari suatu peristiwa bahwa di antara penduduk
dusun ada yang memiliki kerbau berkulit kuning (bule). Suatu hari kerbau itu
menghilang, setelah dicari kesana kemari barulah senja hari ditemukan
terperosok di rawa-rawa. Seluruh kulitnya dipenuli binatang lintah sehingga
terlihat hitam. Hal itu sangat mengejutkan bagi pemilik kerbau sehingga dia
berteriak, “kebo ireng”. Maka kebo ireng menjadi sebutan bagi dusun kecil itu.
Riwayat lain
menyebutkan, kebo ireng berasal dari nama seorang punggawa kerajaan Majapahit
yang masuk Islam dan kemudian tinggal di daerah Jombang. Konon, keluarga
pesantren Tebuireng dengan punggawa tersebut memiliki pertalian darah. Dalam
perkembangan selanjutnya, nama kebo ireng berubah menjadi Tebuireng.
Berdirinya Pesantren
Pondok Pesantren Tebuireng
sendiri didirikan oleh KHM. Hasyim Asy’ari tahun 1899 M, dan mendapat pengakuan
dari pemerintah Hindia Belanda pada 16 Rabiul Awwal 1324 H / 6 Februari 1899 M.
Kyai Hasyim lahir di Pesantren Gedang, arah utara kota Jombang pada 26 Dzul
Qo’dah 1287 H / 14 Februari 1871 M dari hasil perkawinan antara K. Asy’ari
dengan Halimah. Beliau adalah seorang ulama’ besar yang telah lama belajar dan
mendalami ilmu agama baik di dalam maupun luar negeri. Jiwanya merasa
terpanggil untuk memperbaiki masyarakat tempat tinggalnya yang sedang dilanda
berbagai krisis kehidupan, Kyai Hasyim mendirikan Pondok Pesantren yang
berperan sebagai pusat pendidikan dan penyiaran agama Islam.
Dalam Mewujudkan
cita-citanya, Kyai Hasyim memiliki suatu pedoman, “Menyiarkan agama Islam
artinya memperbaiki manusia. Jika manusia itu sudah baik, maka akan banyak
menghasilkan berbagai kebaikan yang lain. Berjihad artinya menghadapi kesukaran
dan memberikan pengorbanan, contoh-contoh ini telah diberikan oleh nabi kita
dalam perjuangannya”.
Selanjutnya, Kyai
Hasyim membeli tanah seluas 200 m2 di Tebuireng milik seorang dalang terkenal.
Di atas tanah tersebut didirikan pondok, yang hanya berupa bedeng berbentuk
bujur sangkar, di sekat menjadi dua ruangan. Bagian belakang sebagai tempat
tinggal Kyai dan keluarganya, sedangkan yang lain untuk tempat sholat dan
belajar para santri yang berjumlah 28 orang. Fasilitas yang sangat sederhana
tidak mengurangi semangat Kyai Hasyim dalam membimbintg para santri untuk
menuntut ilmu dalam bentuk pengajian kitab-kitab agama.
Berdirinya pesantren Tebuireng kurang mendapat perhatian dari masyarakat sekitarnya, dan bahkan menumbuhkan rasa kebencian, sehingga muncul gangguan dari masyarakat yang harus dihadapi oleh Kyai Hasyim. Meskipun rintangan yang menghadang amat berat, namun Kyai Hasyim dan para santrinya mampu mengatasinya.
Berdirinya pesantren Tebuireng kurang mendapat perhatian dari masyarakat sekitarnya, dan bahkan menumbuhkan rasa kebencian, sehingga muncul gangguan dari masyarakat yang harus dihadapi oleh Kyai Hasyim. Meskipun rintangan yang menghadang amat berat, namun Kyai Hasyim dan para santrinya mampu mengatasinya.
Hidup dalam pemerintah
kolonial membuat Kyai Hasyim berprinsip ‘berdikari’, artinya tidak
menggantungkan diri atau minta bantuan kepada orang lain yang tidak seirama dan
seagama. Dengan semangat berkorban da penuh pengabdian, beliau terus membina
Pondok Pesantren Tebuireng hingga berkembang menjadi lembaga pendidikan Islam
yang besar. Prinsip yang dikembangkan adalah mengutamakan kepentingan pesantren
daripada kepentingan diri sendiri. Karena itulah, dari sisi ekonomi beliau
tetap memiliki usaha di luar pesantren, yang di waktu senggang di sela-sela
mengajar Kyai Hasyim menyempatkan diri mengerjakan sawah pertanian dan juga
melakukan perdagangan keluar daerah.
Pengembangan Pesantren
Pendidikan semula
berlangsung secara sorogan (santri membaca, guru menyimak) dan bandongan (guru
membaca, santri menyimak). Sejak tahun 1916 mulai dirintis pendidikan dalam
bentuk klasikal, meskipun masih sangat sederhana. Baru pada tahun 1926
pendidikan banyak mengalami penyempurnaan baik kurikulum maupun metodenya,
termasuk tambahan pelajaran umum yang meliputi bahasa Indonesia, Ilmu Bumi dan
Berhitung.
Untuk meningkatkan
pendidikan di Tebuireng, Kyai Hasyim menunjuk Abdul Wahid Hasyim (putra) dan
Moh. Ilyas (santri), -sebelumnya telah diutus untuk belajar di Makkah- untuk
mengembangkan pendidikan di Tebuireng. Kesempatan baik ini, dimanfaatkan oleh
mereka berdua untuk mengadakan pembaharuan dalam tiga bidang yakni:
Memperluas pengetahuan
para santri
Memasukkan pengetahuan
modern ke dalam kurikulum madrasah
Meningkatkan sistem pengajaran bahasa Arab secara aktif
Meningkatkan sistem pengajaran bahasa Arab secara aktif
Sebagai langkah
pembaharuan, tahun 1934 Abdul Wahid Hasyim merintis Madrasah Nidhomiyah yang
banyak menyajikan pelajaran umum dan ditunjang dengan memasukkan surat kabar,
majalah, buku-buku pengetahuan umum yang berbahasa Indonesia, Arab dan Inggris.
Perkembangan sistem pendidikan ini tidak meninggalkan pola pengajaran khas
pondok pesantren yaitu pengajian kitab klasik (kuning).
Usaha pembaharuan ini
memang tidak menampak hasil nyata dalam waktu dekat. Namun saat penjajahan
Jepang diberlakukan larangan surat menyurat selain dengan huruf latin, hal itu
tidak menimbulkan masalah bagi santri Tebuireng. Dengan modal mempelajari
pengetahuan umum di Tebuireng, banyak alumni Tebuireng dengan cepat mampu
menguasai keadaan untuk menolong umat Islam yang terjajah. Misalnya di bidang
politik menjadi anggota ‘sangi kay’ (DPR tingkat Karesidenan), menguasai
sentra-sentra ekonomi, bahkan pasca kemerdekaan banyak yang menduduki jabatan
kepala di suata jawatan.
Model pendidikan ini olah Abdul Wahid Hasyim disebut ‘da’wah dari dasar’. Dengan demikian gerakan bagi pembaharuan pendidikan Islam, pemahaman kehidupan agama dan gerakan sosial, terpadu dalam misi Pondok Pesantren Tebuireng. Akibat dari aktivitas Tebuireng ini tidak hanya dirasakan oleh santri-santrinya, tetapi juga oleh masyarakat muslim di luar Pondok Pesantren. Tujuan pendidikan yang dirintis oleh Abdul Wahid Hasyim ini adalah untuk mensejajarkan derajat dan martabat santri dengan pelajar-pelajar dari Barat.
Pada 25 Juli 1947 Kyai Hasyim dipanggil menghadap Allah SWT. Jabatan pengasuh digantikan oleh putranya sendiri, KH. Abdul Wahid Hasyim yang memgang jabatan hingga tahun 1950. Ketika beliau diangkat menjadi menteri agama RI dalam kabinet RIS, kedudukan sebagai pengasuh digantikan KH. Baidlowi, menantu Kyai Hasyim. Berturut-turut wewenang pengasuh diemban oleh KH. Abdul Karim Hasyim dan kemudian oleh KH. Abdul Kholiq Hasyim yang saat itu telah non-aktif sebagai seorang senior Divisi Brawijaya.
Saat kepemimpinan KH. Abdul Kholiq ini Madrasah Nidhomiyah berganti nama menjadi Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Perubahan nama ini sebenarnya diakibatkan oleh perubahan dalam approuch terhadap pemberian ajaran agama yang melebar, dengan memiliki jenjang pendidikan dasar, lanjutan pertama dan lanjutan atas. Karena masih merupakan sebuah percobaan, pada masa 10 tahun pertama konsep salafiyah ini masih mengalami perubahan bentuk dan nama berkali-kali, seperti wustho, mu’alimin dan lain sebagainya.
Lambat laun sistem salafiyah ini menetap dalam bentuk yang baku, yaitu 6 tahun pendidikan dasar (ibtida’iyah), dan 3 tahun lanjutan atas (aliyah), dengan komposisi 65% mata pelajaran agama dan 35% mata pelajaran umum. Pada tahun 1965 KH. Abdul Kholiq wafat, sedangkan kakak beliau KH. A. Wahid Hasyim telah mendahuluinya pada tahun 1953 dan kemudian menyusul KH. Abdul Karim Hasyim tahun 1973 di tanah suci Mekkah.
Model pendidikan ini olah Abdul Wahid Hasyim disebut ‘da’wah dari dasar’. Dengan demikian gerakan bagi pembaharuan pendidikan Islam, pemahaman kehidupan agama dan gerakan sosial, terpadu dalam misi Pondok Pesantren Tebuireng. Akibat dari aktivitas Tebuireng ini tidak hanya dirasakan oleh santri-santrinya, tetapi juga oleh masyarakat muslim di luar Pondok Pesantren. Tujuan pendidikan yang dirintis oleh Abdul Wahid Hasyim ini adalah untuk mensejajarkan derajat dan martabat santri dengan pelajar-pelajar dari Barat.
Pada 25 Juli 1947 Kyai Hasyim dipanggil menghadap Allah SWT. Jabatan pengasuh digantikan oleh putranya sendiri, KH. Abdul Wahid Hasyim yang memgang jabatan hingga tahun 1950. Ketika beliau diangkat menjadi menteri agama RI dalam kabinet RIS, kedudukan sebagai pengasuh digantikan KH. Baidlowi, menantu Kyai Hasyim. Berturut-turut wewenang pengasuh diemban oleh KH. Abdul Karim Hasyim dan kemudian oleh KH. Abdul Kholiq Hasyim yang saat itu telah non-aktif sebagai seorang senior Divisi Brawijaya.
Saat kepemimpinan KH. Abdul Kholiq ini Madrasah Nidhomiyah berganti nama menjadi Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Perubahan nama ini sebenarnya diakibatkan oleh perubahan dalam approuch terhadap pemberian ajaran agama yang melebar, dengan memiliki jenjang pendidikan dasar, lanjutan pertama dan lanjutan atas. Karena masih merupakan sebuah percobaan, pada masa 10 tahun pertama konsep salafiyah ini masih mengalami perubahan bentuk dan nama berkali-kali, seperti wustho, mu’alimin dan lain sebagainya.
Lambat laun sistem salafiyah ini menetap dalam bentuk yang baku, yaitu 6 tahun pendidikan dasar (ibtida’iyah), dan 3 tahun lanjutan atas (aliyah), dengan komposisi 65% mata pelajaran agama dan 35% mata pelajaran umum. Pada tahun 1965 KH. Abdul Kholiq wafat, sedangkan kakak beliau KH. A. Wahid Hasyim telah mendahuluinya pada tahun 1953 dan kemudian menyusul KH. Abdul Karim Hasyim tahun 1973 di tanah suci Mekkah.
Kedudukan selanjutnya
dipegang KHM. Yusuf Hasyim yang telah menjadi pengasuh dari tahun 1965 hingga
tahun 2006 dan beberapa bulan sebelum beliau meninggal posisi pengasuh dipegang
KH. Ir. Solahuddin Wahid putra dari KH. A. Wahid Hasyim hingga kini.
Di samping itu salah
seorang menantu Kyai Hasyim yaitu Kyai Idris Kamali, secara tekun memimpin
pengajian agama dalam bentuk pengajian sorogan sejak tahun 1950 an hingga tahun
1972, ketika beliau berangkat ke tanah suci untuk menetap di sana hingga
beberapa waktu dan akhirnya wafat pada tahun 1986 di Cirebon.
Langkah Antisipatif
Pada masa berikutnya
dikembangkan beberapa jalur pendidikan formal.
Pertama, jalur pendidikan formal yang berbentuk Salafiyah disempurnakan.
Kedua, jalur sekolah persiapan yang dirintis tahun 1970, dimana santri putus sekolah (drop out) dari sekolah-sekolah non agama (seperti SMU, SMP) memperoleh ajaran agama belaka. Sekolah ini lama belajarnya 2 tahun, untuk kemudian santrinya memasuki jalur pendidikan agama di atas. Dengan demikian jalur kedua ini sebagai by-pass untuk memasuki jalur pertama pada tingkat lanjutan.
Pertama, jalur pendidikan formal yang berbentuk Salafiyah disempurnakan.
Kedua, jalur sekolah persiapan yang dirintis tahun 1970, dimana santri putus sekolah (drop out) dari sekolah-sekolah non agama (seperti SMU, SMP) memperoleh ajaran agama belaka. Sekolah ini lama belajarnya 2 tahun, untuk kemudian santrinya memasuki jalur pendidikan agama di atas. Dengan demikian jalur kedua ini sebagai by-pass untuk memasuki jalur pertama pada tingkat lanjutan.
Ketiga, jalur SMP dan
SMU A. Wahid Hasyim yang dibuka tahun 1975. Tujuannya adalah untuk menampung
mereka yang ingin bersekolah umum, dengan tetap memperoleh pelajaran agama
dalam bentuk pengajian atau kursus.
Bagi santri Tebuireng yang mau berminat melanjutkan belajar ke perguruan tinggi, telah dirintis Universitas Hasyim Asy’ari pada tahun 1967 dengan Fakultas Syari’ah, Da’wah dan Tarbiyah yang sekarang berubah menjadi Institut KeIslaman Hasyim Asy’ari (IKAHA) dengan tiga Fakultas Syari’ah, Dakwah dan Tarbiyah.
Di tahun 2006 dibuka jenjang pendidikan Ma’had Aly (setingkat perguruan tinggi) yang disediakan khusus untuk santri-santri dengan kualifikasi dan kemampuan tertentu. Proses seleksi penerimaannya pun ketat. Jenjang pendidikan ini didirikan semasa kepemimpinan KH. Ir. Salahuddin Wahid setelah melihat semakin menurunnya kualitas santri dalam memahami dan mendalami kitab klasik yang menjadi rujukan pesantren selama ini.
Bagi santri Tebuireng yang mau berminat melanjutkan belajar ke perguruan tinggi, telah dirintis Universitas Hasyim Asy’ari pada tahun 1967 dengan Fakultas Syari’ah, Da’wah dan Tarbiyah yang sekarang berubah menjadi Institut KeIslaman Hasyim Asy’ari (IKAHA) dengan tiga Fakultas Syari’ah, Dakwah dan Tarbiyah.
Di tahun 2006 dibuka jenjang pendidikan Ma’had Aly (setingkat perguruan tinggi) yang disediakan khusus untuk santri-santri dengan kualifikasi dan kemampuan tertentu. Proses seleksi penerimaannya pun ketat. Jenjang pendidikan ini didirikan semasa kepemimpinan KH. Ir. Salahuddin Wahid setelah melihat semakin menurunnya kualitas santri dalam memahami dan mendalami kitab klasik yang menjadi rujukan pesantren selama ini.
Disamping disediakan
lembaga pendidikan formal, juga disediakan sarana penunjang kegiatan untuk
kelancaran belajar para santri. Misalnya Koperasi Pondok Pesantren (1973),
Perpustakaan A. Wahid Hasyim (1974), Pusat Data Pesantren (PDP) 1977, Usaha
Kesehatan Pondok Pesantren, Koperasi Jasa Boga (1993), Warung Telekomunikasi
(1994), dan Warung Internet (1998).
Kitab-kitab karya hadratus syaikh kh. Muhammad hasyim asy’ari
pendiri pondok pesantren tebuireng jombang dan jam’iyah nahdlatul ulama’
Adabul ‘Alim Wal
Muta’allim adalah sebuah kitab yang mengupas tentang pentingnya menuntut dan
menghormati ilmu serta guru. Dalam kitab ini KH. M. Hasyim Asy’ari menjelaskan
kepada kita tentang cara bagaimana agar ilmu itu mudah dan cepat dipahami
dengan baik. Kitab yang terdiri dari beberapa bab ini, memberikan pula kepada
kita pencerahan tentang mencari dan menjadikan ilmu benar-benar memberikan
manfaat kepada masyarakat. Salah satu contoh yang diberikan oleh KH. M. Hasyim
Asy’ari kepada kita adalah bahwa ilmu akan lebih mudah diserap dan diterima
apabila kita dalam keadaan suci atau berwudhu terlebih dahulu sebelum mencari
ilmu. Banyak hal yang bisa kita petik dalam rangka mencari ilmu ketika kita
membaca kitab ini.
Risalah Ahlis Sunnah
Wal Jama’ah merupakan pedoman bagi warga NU dalam mempelajari tentang apa yang
disebut ahlus sunnah wal jama’ah atau sering disingkat dengan ASWAJA. Dalam
kitab ini, Hadratus Syaikh juga mengulas tentang beberapa persoalan yang
berkembangan dimasyarakat semisal, apa yang disebut dengan bid’ah? Menerangkan
pula tentang tanda-tanda kiamat yang terjadi pada masa sekarang ini. Banyak
golongan yang mengaku bahwa mereka juga merupakan golongan ahlus sunnah wal
jamaa’h. Akan tetapi dalam ibadah, amal perbuatannya banyak menyimpang dari
tuntunan Rasulullah SAW. Dalam kitab ini diuraikan dengan jelas tentang
bagaimana sebenarnya ahlus sunnah wal jama’ah tersebut.
At-Tibyan Fin Nahyi
An-Muqothoatil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan merupakan kumpulan beberapa pikiran
khususnya yang berhubungan dengan Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, ditekankan
pentingnya menjalin silaturrohim dengan sesama serta bahayanya memutus tali
sillaturohim. Didalam kitab ini pula, termuat Qunun Asas atau udang-undang
dasar berdirinya Nadhatul Ulama (NU) serta 40 hadits nabi yang berhubungan
dengan pendirian Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, dikisahkan bahwa KH. Muhammad
Hasyim Asy’ari pernah mendatangi seorang kyai yang ahli ibadah karena kyai
tersebut tidak mau menyambung silaturrohim dengan masyarakat sekitar sehingga
sempat terjadi perdebatan antara keduanya.
An-Nurul Mubin Fi
Mahabbati Sayyidil Mursalin merupakan karya KH. Muhammad Hasyim Asy’ari yang
menjelaskan tentang rasa cinta kepada nabi Muhammad SAW. Dalam kitab tersebut,
dijelaskan pula tentang sifat-sifat terpuji nabi Muhammad SAW yang bisa menjadi
suri tauladan bagi kita semua. Dijelaskan pula tentang kewajiban kita taat,
menghormati kepada perintah Allah SWT yang telah disampaikan melalui nabi
Muhammad SAW baik melalui al-qur an atau hadits. Silsilah keluarga nabi
Muhammad SAW, tidak luput dari pembahasan. Singkat kata, dalam kitab ini, kita
mendapatkan sejarah yang relatif lengkap dan menarik untuk dikaji serta
dijadikan tauladan menuju insan kamil.
Ziyadatut Ta’liqot merupakan kitab yang berisi tentang polemik beliau dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan tentang beberapa hal yang berkembang pada masa itu. Perdebatan terjadi pada beberapa masalah yang tidak sesuai antara pandangan Nahdlatul Ulama dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan. Banyak sekali permasalahan yang diperdebatkan sehingga kitab ini begitu tebal dan permasalahan yang diperdebatkan masih terjadi dimasyarakat.
Ziyadatut Ta’liqot merupakan kitab yang berisi tentang polemik beliau dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan tentang beberapa hal yang berkembang pada masa itu. Perdebatan terjadi pada beberapa masalah yang tidak sesuai antara pandangan Nahdlatul Ulama dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan. Banyak sekali permasalahan yang diperdebatkan sehingga kitab ini begitu tebal dan permasalahan yang diperdebatkan masih terjadi dimasyarakat.
At-Tanbihatul Wajibat
Li Man Yasna’ Al-Maulid Bil Munkaroti adalah sebuah kitab tentang pandangan KH.
Muhammad Hasyim Asy’ari tantang peringatan maulid nabi Muhammad SAW yang
disertai dengan perbuatan maksiat atau munkar. Dalam kitab tersebut,
diceritakan bahwa pada jaman dulu, disekitar Madiun, setelah pembacaan shalawat
nabi, para pemuda segera menuju arena untuk mengadu keahlian dalam hal bela
diri silat atau pencak. Acara itu, masih dalam rangkaian peringatan maulid
serta dihadiri oleh gadis-gadis yang saling berdesakan dengan para pemuda.
Mereka saling berteriak kegirangan hingga lupa bahwa saat itu, mereka sedang
memperingati maulid nabi Muhammad SAW. Hal tersebut menimbulkan keprihatinan
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sehingga beliau mengarang kitab ini.
Dhou’ul Misbah Fi
Bayani Ahkamin Nikah berisi pikiran ataupun pandangan KH. Muhammad Hasyim
Asy’ari tentang lembaga perkawinan. Dalam kitab tersebut, beliau menangkap
betapa pada saat itu, banyak pemuda yang ingin menikah, akan tetapi tidak
mengtahui syarat dan rukunnya nikah. Tidak tahu pula tentang tata cara / sopan
santun dalam pernikahan sehingga dalam mereka menjadi bingung karenanya. Dalam
kitab tersebut, terkandung beberapa nasehat yang penting agar lembaga
perkawinan betul-betul bisa menjadi sebuah keluarga yang Sakinah, Mawaddah Wa
Rahmah sesuai tuntunan agama.
Kitab-kitab karya kh.ishom hadziq (gus ishom) cucu
hadratus syaikh kh. Muhammad hasyim asy’ari
Miftahul Falah Fi
Ahaditsin Nikah adalah berisi hadits-hadist tentang perkawinan yang melengkapi
kitab Dhou’ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah. Ditulis oleh almarhum gus Ishom
Hadzik, kitab tersebut banyak menampilkan hadits-hadits yang sangat baik dalam
rangka membentuk dan membina sebuah mahligai perkawinan yang berlandaskan tuntunan
syariat Islam.
Audhohul Bayan Fi Ma Yata’allaq Bi Wadhoifir Ramadhan adalah sebuah kumpulan kitab karya gus Ishom Hadzik yang berisi hadits-hadits tentang keutamaan bulan ramadhan yang mulia. Terdiri dari beberapa bab, hadits-hadits pilihan dalam kitab ini, memberikan kita tentang betapa mulianya bulan ramadhan. Dalam kitab tersebut, dapat kita ketahui tentang amalan-amalan yang sangat baik dilakukan ketika bulan ramadhan.
Audhohul Bayan Fi Ma Yata’allaq Bi Wadhoifir Ramadhan adalah sebuah kumpulan kitab karya gus Ishom Hadzik yang berisi hadits-hadits tentang keutamaan bulan ramadhan yang mulia. Terdiri dari beberapa bab, hadits-hadits pilihan dalam kitab ini, memberikan kita tentang betapa mulianya bulan ramadhan. Dalam kitab tersebut, dapat kita ketahui tentang amalan-amalan yang sangat baik dilakukan ketika bulan ramadhan.
Irsyadul Mukminin
merupakan karya terakhir dari almarhum gus Ishom Hadzik. Ketika yang lebih
mengarah kepada akhlak serta tasawuf ini, memberikan kita pengetahuan tentang
ajaran Islam dari sisi moral dan tasawuf. Sungguh, sebagaimana kitab lainnya,
kitab ini jika kita kaji dengan mendalam, akan menemukan pencerahan batiniah
yang sangat bermanfaat bagi kehidupan kita yang lebih baik dimasa mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar