Blem.com: Polemik Hadis

Minggu, Maret 20, 2016

Polemik Hadis


Perdebatan Seputar Hadis;
Polemik antara Sarjana Muslim dan Barat[1]
Oleh: A. Badruddin
Hadis sebagaimana diyakini oleh kaum muslim merupakan sumber kedua setelah al-qur’an. Dimana dalam keyakinan tersebut mempelajarinya merupakan ibadah. Oleh karena Hadis juga memiliki otoritas dalam keagamaan maka para ulama terdahulu telah  memilih serta menyeleksi hadis berdasarkan pada klasifikasi yang sangat ketat. Sehingga dapat diyakini  keotentikanya. Sementara itu para sarjana muslim pengkaji hadis sangat dipengaruhi oleh peran penting hadis sebagai sumber hukum serta otoritasnya. Namun dilain sisi, ada perbedaan sudut pandang yang dilakukan oleh Barat dimana hadis bukan dimaknai sebagi sumber ajaran teologis melainkan hanya untuk kepentingan sejarah. Pengkajian hadis yang dilakukan oleh Barat  adalah penekanan pada penanggalan atas sebuah hadis untuk menilai asal-usul atau sumbernya.[2] Sebagai  contoh adalah ketika mereka mempelajari hukum Islam. Mereka memandang bukan dari sudut pandang bahwa semua itu merupakan sumber pemikiran, bukan sebagai hak dan kewajiban yang harus dilakukan. Dengan kata lain, mereka merupakan para pakar budaya, bukan ahli hukum meskipun mereka  mengetauhi hukum.
Sejak  abad ke 19 pengkajian mengenai otentisitas hadis mulai  ramai diperbincangkan, baik dari kalangan Muslim ataupun Barat.  Sebagaimana Abu Hayyan menyebutkan bahwa originalitas hadis telah rusak karena adanya periwayatan bil ma’na.
Buku yang ditulis oleh  Komarudin Amin ini menjelaskan berbagai metode yang digunakan oleh orang Islam ataupun Barat dalam menentukan keterpercayaan suatu hadis. Disamping itu, pedekatan baru juga dilakukan sehingga apa yang tertuliskan disini merupakan satu hal yang berbeda dari apa yang biasa disuguhkan oleh kebanyakan penulis.
Bagi sarjana Muslim awal, polemik mengenai keotentikan suatu hadis sudah diyakini dan diketahui lebih awal sebelum Barat mulai melakukan kritik terhadap keotentikan hadis. Hal ini terlihat dari banyak karya ulama yang mencoba menelusuri hadis-hadis yang shohih dan yang memiliki derajat dibawahnya. Dalam melakukan kritik hadis tersebut, para ulama klasik menggunakan tiga pendekatan yaitu: Pertama: mengkaji riwayat.  Yakni  menelusuri kesinambungan antara perowi yang satu dengan perowi yang lainya. Usaha ini merupakan mencari jalur-jalur sanad yang dapat dipercaya dan memiliki ketersambungan sanad. Kedua: mengkaji tentang nama-nama perowi. Dalam hal ini yang dilakukan adalah menjelaskan nama-nama perowi  baik kelahiranya, guru, murid, sikap, keseharian, serta daya ingat atau kekuatan hafalanya. Ketiga: mengkaji kandungan hadis. Dimana dalam hal ini yang ditekankan adalah pengkajian matan hadis. Apakah ia bertentangan denganal-Qur’an atau tidak,  atau juga dengan hadis lain yang lebih tsiqoh.
Dalam kesarjanaan Muslim, jalur tunggal sering disebut sebagai  hadis  syadz, ghorib atau juga fard. Dapat dipercayanya seorang rawi merupakan syarat utama suatu hadis. Apabila perawi merupakan orang yang dipercaya, maka hadisnya pun dipercaya. Meskipun demikian, apabila suatu hadis dianggap tsiqoh  dan bertentangan dengan hadis lain yang lebih tsiqoh maka riiwayat ini tidak tsiqoh. Hal ini tentu banyaknya perawi dalam setiap tingkatan sama sekali  tidak mempengaruhi kualitas hadis. Akan tetapi yang mempengaruhinya adalah ketsiqohan rawi.[3]
Metode yang dilakukan oleh ulama hadis periode awal ini juga sempat menimbulkan kontroversi. Analisis sanad yang lebih dikedepankan oleh para ulama, dinilai telah mengabaikan esensi dari makna hadis. Pendapat seperti ini juga ditolak oleh beberapa pengkaji lain bahwa pada dasarnya, apa yang dilakukan oleh sarjana di awal penulisan hadis sama sekali tidak meninggalkan aspek matan. Bahkan pengkajian sanad sendiri merupakan satu upaya untuk mengetahuai kualitas hadis. Yang pada akhirnya akan pada satu kesimpulan bahwa apa yang telah dilakukan oleh para pengkaji hadis di masa awal itu merupakan karya fenomenal bagi masa sekarang.
Meskipun sanad merupakan kriteria yang paling  menentukan dalam memastikan keotentikan hadis, para sarjana generasi awal (tradisional) juga tidak mengabaikan matan. Dalam hal ini Muslim menyatakan dalam muqoddimahnya bahwa kesahihan hadis juga dapat ditinjau setelah  melihat matan hadis yang lain apakah ia memiliki kontradiksi dengan hadis yang lebih tinggi derajatnya atau tidak? Jika mayoritas ulama hadis mengungkapkan hadis tersebut memiliki kelemahan, maka hadis tersebut juga termasuk lemah dan tidak digunakan.[4]
Bukhori menjelaskan jalur emas adalah dari ibnu umar adalah jalur malik dari nafi dan jalur abu huroiroh adalah jalur dari abu az-zinad dari al-a’roj.[5]
Adapun menurut kaidah yang dilakukan oleh Barat serta analisis cum matan, dalam periwayatan sesungguhnya, perbedaan varian-varian matan dari para murid yang meriwayatkan dan para informan yang sama bisa saja terjadi terutama pada abad pertama dan paruh pertama abad kedua hijriyah.[6]
Pandangan Barat yang mengatakan bahwa hadis merupakan sumber sejarah telah menjadi polemik yang sangat panjang. Diantaranya adalah munculnya sikap skeptis terhadap hadis. Bahkan mereka meragukan separuh hadis yang dimuat dalam shohih Bukhori. Sikap kritis Barat ini menjadikan hadis menuai  banyak kritik.  Sampai pada puncaknya adalah apa yang dilakukan oleh Ignaz Golziher sebagai orang yang pertama kali membawa hadis pada ranah kajian kritis. Ia menganggap bahwa hadis bukan merupakan sumber terpercaya dalam Islam melainkan sebuah sumber yang mengandung nilai dogmatis.
Tidak berhenti sampai disitu, pengkajian Barat mulai ramai sebagaimana muncul pula Josep shcat yang mengatakan bahwa suatu sanad memiliki kecenderungan membengkak pada masa belakangan dari periwayatan. Dengan teori common linnk-nya ia mengatakan bahwa sedikit sekali hadis yang berasal dari nabi. Asumsi ini dilandaskan pada orang yang meriwayatkan hadis. Suatu hadis dinyatakan historis apabila memiliki periwayat yang banyak. Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa dimasa awal islam, periwayat hadis sangatlah sedikit. Baru pada masa belakangan muncul para periawayat baru yang sangat banyak jumlahnya.
Study Barat atas Islam tidak berhenti disitu. Setelah Shcat memunculkan teorinya, teori tersebut  juga diadopsi oleh sarjana Barat yaitu Juynboll.  Ada hal penting yang menjadi pertanyaan mendasardalam study Juynboll adalah bahwa historisitas suatu hadis sepatutnya  dimunculkan dari pertanyaan “dimana, kapan dan siapa yang bertanggungjawab atas keotentikan suatu hadis.
Baik Shcat  ataupun Juynboll, keduanya mengatakan bahwa common link merupakan pemalsu hadis. Juynboll juga mengatakan bahwa hanya riwayat common link yang didukung oleh beberapa parcial common link yang dapat dianggap sebagai jalur periwayatan historis.[7] Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dikatakan oleh  Motzki yang cenderung mengatakan bahwa common link merupakan bukti dari suatu hadis mulai diriwayatkan secara sistematis. Oleh karenanya dengan kesimpulan ini, berarti apa yang ada diatas common link merupakan periwayat hadis yang asli.
Menurut Cook, common link adalah hasil dari sebuah proses jalur isnad. Oleh karena itu, munculnya seorang common link tidak dapat menyajikan titik sejarah yang pasti tentang periwayatan hadis.[8]
Menurut Schat penulisan hadis sejak masa nabi merupakan satu hal yang tidak mungkin. Ia berargumen bahwa pada saat itu nabi sendiri melarangnya. Hal ini ditolak oleh M. Azami. Ia mengatakan bahwa  sesungguhnya hadis sudah ditulis pada masa awal, bahkan sejak zaman nabi.[9]
Menurut Juynboll perawi yang memiliki banyak  murid disebut common link, sedangkan murid dari common link yang memiliki banyak murid disebut parcial common link. Sedangkan jalur tunggal antara common link dan Nabi disebut sebagai singgle strand.[10]
Setidaknya,  apa  yang tergambar dalam tulisan ini sedikit menjelaskan apa yang telah disebutkan oleh Komarudi Amin dalam bukunya “Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis”



[1] Tulisan ini dapat diakses dan dibaca ulang di alamat http://sejarah.kompasiana.com/2013/04/22/ada-apa-dengan-barat-549019.html dengan perubahan judul yang bertujuan untuk memikat para pembaca terhadap olemik yang terjadi dalam dunia kesarjanaan Muslim dan juga Barat. Dengan adanya perubahan tersebut maka judul yang penulis berikan adalah: “Ada Aapa dengan Barat???”
[2] Hlm. 163
[3] Hlm. 172
[4] Hlm. 84
[5] Hlm. 221
[6] Hlm. 279
[7] Hlm. 163
[8] Hlm. 175
[9] Hlm. 135
[10] Hlm. 162

Tidak ada komentar:

Posting Komentar