SEJARAH PEMBUKUAN HADIST[1]
BAB I
HADIST SESUDAH ZAMAN SAHABAT
SAMPAI SEKARANG
A.Pendahuluan
Sejarah
penulisan hadist sering kali menjadi bahan kontroversi di kalangan sebagian
kaum muslim maupun non muslim. Ada sebagian yang menolak untuk menerima
otentisitas hadist Nabi lantaran mereka berargumen bahwa hadist Nabi ditulis
dan dibukukan dua abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw, suatu rentang waktu
yang agak lama berlalu sehingga dapat menyebabkan timbulnya perubahan dan
pergeseran lafazh serta makna hadist yang bersangkutan. Mereka ini
beranggapan hanya berdasarkan asumsi rasional semata dan tidak melihat serta
meneliti berbagai argumen yang bisa diterima oleh syari’at Islam serta tidak
mengkaji serta menelaah sejarah penulisan dan pembukuan dengan
benar.Sementara di sisi yang lain ada sebagian kaum yang secara tekstual
menerima begitu saja hadist Nabi tanpa mempedulikan kesahihan dan
ketidaksahihannya.Pada makalah ini penulis mencoba berusaha secara ringkas
untuk mengemukakan penjelasan yang benar tentang penulisan dan pembukuan hadist
Nabi sejak mulai abad ke 2 H sampai dengan abad ke 7 H hingga sekarang.
Ø Penulisan dan Pembukuan Hadist Secara Resmi (Abad ke 2
H)
Pada periode
ini Hadist-hadist Nabi saw mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi. Adapun
Khalifah yang memerintah pada saat itu adalah Umar ibn Abdul Aziz dari Dinasti
Umayyah. Umar ibn Abdul Aziz mempunyai kepentingan di dalam kepemimpinannya
untuk menulis dan membukukan hadis secara resmi[1],hal
ini didadasarkan pada beberapa riwayat, Umar ibn Abdul Aziz khawatir akan
hilangnya hadist dan wafatnya para ulama hadist[2].
Para sahabat telah berpencar di berbagai daerah, bahkan tidak sedikit jumlahnya
yang sudah meninggal
dunia. Sementara hadist-hadist yang ada di dada mereka belum tentu semuanya
sempat diwariskan
kepada
generasi berikutnya. Karena itu, khalifah yang terkenal wara’ dan takwa
ini mengupayakan pengumpulan dan penulisan hadist.
Ada perbedaan
dalam penghimpunan hadist dengan al-Qur’an. hadist mengalami masa yang lebih
panjang sekitar tiga abad dibanding dengan al-Qur’an yang hanya memerlukan
waktu relatif lebih pendek[3].
Yang dimaksud dengan periodeisasi penghimpunan hadist disini adalah fase-fase
yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan hadist,
sejak Rasulullah saw masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab hadist yang
dapat disaksikan sekarang ini.[4]
Pada masa
pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz,Islam sudah meluas sampai ke daerah-daerah
yang tentunya pemahaman dan pemikiran mereka khususnya tentang keislaman itu
sendiri adalah hadist.Khalifah berinisiatif untuk mengumpulkan hadist-hadist
tersebut dikarenakan semakin meluasnya perkembangan Islam yang umumnya
orang-orang yang baru memeluk agama Islam butuh dengan pengajaran yang
didasarkan pada hadist-hadist Nabi. Selain itu gejolak politik yang terjadi di
kalangan umat Islam, ada beberapa kelompok yang mencoba menyelewengkan
sabda-sabda Rasulullah saw yang akhirnya akan merusak ajaran kemurnian Islam
itu sendiri. Oleh karena itu Umar ibn Abdul Aziz telah menyusun suatu gerakan
yang penuh semangat dalam rangka penyebarluasan dakwah Islamiyah.[5]
Menurut Ajjaj
al-Khathib bahwa kegiatan pembukuan hadist telah diprakarsai oleh ayahnya
Khalifah Umar, yaitu Abdul Aziz yang ketika itu menjabat sebagai gubernur
Mesir. Akan tetapi karena jabatannya sebagai gubernur maka jangkauannya tidak
menyeluruh, oleh karena itu diteruskan oleh Umar setelah diangkat menjadi
Khalifah. Tentunya pengkodifikasian hadist begitu cepat merambah ke
daerah-daerah yang dikuasai oleh gubernur dan langsung memberikan instruksi
agar menulis dan mengumpulkan hadist yang ada pada sahabat dan seterusnya
disebarluaskan. Begitu juga ia mengutus para ulama untuk mengumpulkan hadist-
hadist Rasulullah, hadist yang
dipercaya kebenarannya ialah hadis yang telah diriwayatkan oleh orang-orang
yang memiliki sifat menjauhkan diri dari dosa dan takwa.[6]
Jika kita
teliti kemampuan ilmiah umat Islam, sebenarnya telah memungkinkan mereka untuk
melakukan penulisan terhadap hadist-hadist Nabi,[7]
Tetapi pendapat yang dominan di kalangan para sarjana dan ilmuan adalah bahwa
hadist-hadist itu hanya disebarkan lewat mulut ke mulut sampai akhir abad
pertama. Perlu kita ketahui bahwa kecintaan dan kepatuhan para sahabat kepada
Nabi saw sungguh demikian mendalam, karenanya dalam menuliskan risalah ajaran
Islam, mereka melakukannya secara lisan seperti Nabi lakukan terhadap mereka. Kondisi
seperti itu secara tidak langsung mengajarkan kepada kita bahwa hal kepatuhan
juga sebagian dari agama.[8]
Adapun pandangan para orientalis tentang penulisan pertama hadist yang
dilakukan oleh al-Zuhri atas perintah Umar ibn Abdul Aziz adalah palsu. Karena
mereka merujuk pada hadist-hadist fikih yang menurut pandangan para orientalis
baru muncul sesudah zaman Umar ibn Abdul Aziz.[9]Pendapat
ini tentunya tidak mengkaji tentang sejarah Islam dari awal, yang mana
ungkapan-ungkapan Nabi saw yang belum ditulis hanya dengan lisan dianggap
sebagai ucapan biasa saja. Padahal bila kita rujuk pada pengertian hadist itu
sendiri bahwa segala sesuatu yang lahir dari perilaku Nabi secara keseluruhan
itu merupakan bahan yang menjadi hukum atau pelajaran pada generasi sesudahnya.
Terkait dengan pengertian tersebut maka kitab al Muwaththa’ karya ibn
Malik merupakan salah satu kitab yang mencatat hadist Nabi saw dan fatwa ulama
awal di Madinah yang menganut pengertian tersebut,sehingga kitab tersebut
disusun berdasarkan pola yang diawali dengan atsar dan baru kemudian
fatwa yang memuat penjelasan-penjelasan hukum yang berkaitan dengan perkataan,
perbuatan yang dilakukan Nabi dan pendapat hukum para sahabat, tabi’in serta
fatwa ulama.
Ø Masa Pemurnian
dan Penyempurnaan Penulisan Hadist ( Abad ke 3 H )
Menurut ahli
hadist,yang menjadi masalah pokok yang menyebabkan keterlambatan sampai seratus
tahun lebih dalam pembukuan hadist adalah karena hanya mengikuti pendapat
populer di kalangan mereka tanpa meneliti sumber-sumber yang menunjukkan bahwa
hadist sudah dibukukan pada masa yang lebih awal.[10]Sedangkan
sebab lain kenapa hadis belum disusun dan dibukukan pada masa sahabat dan
tabi'in dikarenakan adanya larangan Nabi dalam shahih Muslim, khawatir akan
bercampur dengan al-Qur’an, sebab lain hafalan mereka sangat kuat dan mereka
juga cerdas, di samping umumnya mereka tidak dapat menulis. Baru pada masa
akhir tabi'in, hadist-hadist Nabi disusun dan dibukukan.
Masa pemurnian dan penyempurnaan
hadist berlangsung sejak pemerintahan al-Ma'mun sampai awal pemerintahan
al-Muqtadir dari khalifah Dinasti Abbasiyah. Ulama-ulama hadist
memusatkan pemeliharaan pada keberadaan hadist, terutama kemurnian hadist Nabi
saw, sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan pemalsuan hadist yang semakin
marak.[11]
Dalam setiap ajaran agama bagi para pemeluknya, tentunya sangat bervariasi
dalam mengamalkan ajaran itu sendiri. Ini sesuai dengan kondisi sejauh mana
pemahaman mereka tentang agama serta pengaruh yang dapat mengubah pola pikir
seseorang menjadi taat, fanatik, atau acuh tak acuh. Perkembangan ilmu
pengetahuan sudah dimulai pada abad ke-2 dengan lahirnya para imam mujtahid
di berbagai bidang fikih dan ilmu kalam. Perselisihan dan perbedaan pendapat di
kalangan imam mujtahid menjadi khazanah ilmu yang terus
dikembangkan dan dihargai, tetapi lain halnya yang dipahami oleh para pengikut
imam tersebut. Dikarenakan faktor ingin benar dan menang sendiri maka pendapat
ulama lainnya dianggap tidak benar. Fanatik menjadi ciri khas mereka yang
akhirnya menciptakan hadis-hadist palsu dalam rangka mendukung mazhabnya
dan menjatuhkan mazhab lawannya. Kegiatan pemalsuan hadist mengalami
masa yang begitu lama, sejak dari pemerintahan al-Ma'mun, al-Mu'tasim dan
Wastiq, yang mereka sangat mendukung kaum Mu'tazilah. Momentum pertentangan mazhab
juga dimanfaatkan oleh kaum kafir Zindiq yang memusuhi Islam untuk menciptakan
hadist-hadist palsu dan menyesatkan kaum muslimin dan tidak ketinggalan para
pengarang cerita juga memanfaatkan situasi tersebut.
Ulama Mu'tazilah tidak saja
mempengaruhi pikiran khalifah untuk bertindak keras terhadap ahli
hadist,bahkan mereka melepaskan caci maki kepada ahli hadist serta menuduh ahli
hadist bodoh dan dungu.[12]
Oleh sebab itu para ulama berupaya agar pelestarian yang berbentuk hadist dapat
terus dipertahankan dan diabadikan tentunya dengan menyeleksi satu demi satu
hadist yang telah masuk ataupun penemuan baru yang hubungan keakuratannya
adalah bisa dipertanggungjawabkan serta memang benar-benar datang dari Nabi
saw. Maka para ulama melakukan kunjungan ke daerah-daerah untuk menemui para
perawi hadist yang jauh dari pusat kota. Di antara mereka adalah Imam Bukhari
yang telah melakukan perjalanan selama 16 tahun dengan mengunjungi kota Mekkah,
Madinah dan kota-kota lain. Seterusnya mereka juga melakukan pengklasifikasian
hadist yang disandarkan kepada Nabi (marfu'), dan yang disandarkan
kepada para sahabat (mawquf), serta yang disandarkan kepada tabi'in (maqthu'),
serta penyeleksian hadist kepada hadist shahih, hasan, dan dha'if.
Adapun bentuk penyusunan kitab hadist
pada periode ini adalah:
a) Kitab Shahih,
kitab ini hanya menghimpun hadis-hadist Shahih, sedangkan yang tidak Shahih
tidak dimasukkan ke dalamnya. Yang termasuk dalam kitab shahih adalah Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim.
b) Kitab Sunan,
di dalam kitab ini selain dijumpai hadist-hadist Shahih, juga dijumpai
hadist yang berkualitas Dha'if dengan syarat tidak terlalu lemah dan
tidak munkar. Yang termasuk dalam kitab ini antara lain Sunan Abi Dawud,
Sunan at Turmudzi, Sunan al Nasa’I dan Sunan ibn Majah.
c) Kitab Musnad,
di dalam kitab ini dijumpai hadis-hadist disusun berdasarkan urutan kabilah,
seperti mendahulukan Bani Hasyim dari yang lainnya, ada yang menurut urutan
lainnya seperti huruf hijaiyah dan lain sebagainya. Yang termasuk kitab
ini adalah Musnad Ahmad ibn Hanbal.
Penyusunan ketiga bentuk kitab Hadis
tersebut merupakan kebutuhan untuk menyeleksi bahwa hadist tersebut bersumber
atau murni dari Nabi SAW dengan sanad dan perawi yang dapat
dipertanggungjawabkan, dengan otentesitas hadist tersebut maka hadist tersebut
dapat dijadikan sumber hukum dan hujjah sekaligus.
Ø Masa
Pemeliharaan, Penertiban dan Penambahan Dalam Penulisan Hadist (Abad 4 s/d 7 H)
Sebelum datangnya agama Islam,
bangsa Arab tidak dikenal dengan kemampuan membaca dan menulis, sehingga mereka
lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis).
Namun demikian, ini tidak berarti bahwa di antara mereka tidak ada seorangpun
yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanya sebagai ciri keadaan dari
mereka. Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang yang di antara mereka ada
yang mampu membaca dan yang menulis, Adiy bin Zaid al-Abbay (w. 35 sebelum
hijrah) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan
orang yang pertama yang mampu menulis dengan bahasa Arab yang ditujukan kepada
Kisra. Sebagian orang Yahudi juga mengajarkan anak-anak di Madinah menulis
Arab. Kota Mekkah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi
adanya para penulis dan orang-orang yang mempu membaca.[13]
Pada masa setelah sahabat kegiatan
pengumpulan hadist sudah menjadi suatu keharusan sejak abad ke-2, hal ini
didasari karena perkembangan Islam semakin meluas dan diperlukannya
rujukan-rujukan hukum yang mudah untuk didapatkan argumennya. Maka pemeliharaan
hadist sudah menjadi tanggungjawab para penguasa pada saat itu. Dimulai dari khalifah
al-Muqtadir sampai pada al-Mu'tashim, walaupun kekuasaan Islam sudah mulai
melemah pada abad ke 7 akibat serangan Holagu Khan cucu dari Jengis Khan, namun
kegiatan para ulama hadist dalam rangka memeliharannya dan mengembangkannya
berlangsung sebagaimana pada periode sebelumnya. Hanya saja hadist yang
dihimpun tidaklah sebanyak masa sebelumnya. Adapun kitab-kitab hadist yang
dihimpun adalah:
1.
Al-Shahih, oleh ibn
Khujaimah (313 H).
2.
Al-Anwa'wa
al-Taqsim, oleh ibn Hibban (354 H).
3.
Al-Musnad, oleh Abu
Awanah (316 H).
4.
Al-Muntaqa, oleh ibn
Jarud.
Kitab-kitab di atas merupakan bahan
rujukan bagi para ulama hadist, sekaligus mempelajari, menghafal dan memeriksa
serta menyelidiki sanad-sanadnya. Selanjutnya menyusun kitab baru dengan
tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun sanad dan matannya
yang saling berhubungan serta yang telah termuat secara terpisah dalam
kitab-kitab yang telah ada tersebut.[15]
Adapun bentuk-bentuk penyusunan
kitab hadist pada periode ini memperkenalkan sistem baru, yaitu:
- Kitab Athraf, di dalam kitab ini penyusunnya hanya menyebutkan sebagian dari matan hadist tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab hadist yang dikutip matannya ataupun dari kitab-kitab lainnya.
- Kitab Mustakhraj, kitab ini memuat matan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, atau keduanya atau yang lainnya, dan selanjutnya penyusunan kitab ini meriwayatkan matan hadist tersebut dengan sanadnya sendiri.
- Kitab Mustadrak, kitab ini menghimpun hadis-hadist yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya.
- Kitab Jami', kitab ini menghimpun hadis-hadist yang termuat dalam kitab-kitab yang telah ada, seperti:
- Yang menghimpun hadist-hadist shahih Bukhari dan Muslim.
- Yang menghimpun hadist-hadist dari al-Kutub al-Sittah.
- Yang Menghimpun hadist-hadist Nabi dari berbagai kitab hadist.
Ø Pensyarahan,
penghimpunan, pentakhiran dan pembahasan Hadist (Abad 7 H s/d sekarang)
A. Kegiatan periwayatan hadist
Berawal dari penaklukan yang
dilakukan oleh tentara Tartar terhadap pemerintahan Abbasiyah yang kemudian
dihidupkan kembali oleh dinasti Mamluk setelah berhasil menaklukkan bangsa
mongol. Akan tetapi Dinasti Mamluk mempunyai maksud tertentu dengan membai'at khalifah.
Hanyalah sekedar simbol agar daerah-daerah Islam lain mau mengakui daerah Mesir
sebagai pusat pemerintahan Islam yang akhirnya umat akan tunduk kepada Mesir
sebagai pemerintahan Islam, setelah itu lahirlah pengakuan pada Dinasti Mamluk
sebagai penguasa dunia Islam. Setelah masa berlalu, kekuasaan Dinasti Mamluk
sudah mulai surut, masuklah abad ke-8 H, Usman Kajuk mendirikan kerajaan di
Turki atas peninggalan Bani Saljuk di Asia Tengah sambil menaklukkan
kerajaan-kerajaan kecil yang ada disekitarnya dan selanjutnya membangun Daulah
Utsmaniah yang berpusat di Turki. Setelah menaklukkan Konstantinopel dan Mesir
(runtuhnya Khalifah Abbasiyah), maka berpindahlah pusat kekuasaan Islam
ke Konstantinopel pada abad ke-13 H, Mesir yang dipimpin oleh Muhammad Ali mulai
bangkit untuk mengembalikan kejayaan Mesir masa silam. Namun Eropa bertambah
kuat menguasai dunia, secara bertahap mereka mulai menguasai daerah-daerah
Islam, sehingga pada abad ke-19 M sampai abad ke-20 M hampir seluruh wilayah
Islam dijajah oleh bangsa Eropa. Kembangkitan
kembali umat Islam baru dimulai pada pertengahan abad ke-20 M. Sejalan dengan kondisi Islam di atas, maka
periwayatan hadist pada periode ini lebih banyak dilakukan dengan cara ijazahi
dan mukatabah.[16]
Sedikit sekali dari ulama hadist. pada periode ini melakukan periwayatan hadist
secara hafalan sebagaimana yang dilakukan oleh ulama yang terdahulu di
antaranya:
- Al-'Iraqi (w. 806 H/ 1404 M). Dia berhasil mendiktekan hadist secara hafalan kepada 400 majelis sejak tahun 796 H / 1394 M, serta menulis beberapa kitab hadist.
- Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H / 1448 M), seorang penghafal hadist yang tiada tandingannya pada masanya. Ia telah mendiktekan hadist kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab yang berkaitan dengan hadist.
- Al-Sakhawi (w. 902 H / 1497 M), ia merupakan murid Ibnu Hajar, yang telah mendiktekan hadist kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab.[17]
Pada masa ini, para ulama
hadist pada umumnya mempelajari kitab-kitab hadist yang sudah ada dan
selanjutnya mengembangkannya dan meringkasnya sehingga menghasilkan jenis-jenis
karya seperti kitab Syarah, Mukhtashar, Zawa'id, Takhrij dan lain
sebagainya. Tentunya tidak terlepas dari pengkaji hadist pada saat sekarang,
selain mengkaji Matan (isi) hadist tersebut dapat dijadikan sebagai
rujukan dan bacaan pada generasi baru dan tidak hanya menerima bahwa hadist
tersebut shahih atau tidak shahih. Akan tetapi kita telah mendapatkan
suatu pengetahuan dasar untuk mencari dan memastikan sebab musabab hadist
tersebut beroperasi, yang tentunya tidak terlepas dari perjalanan menyelamatkan
hadist dari orang-orang yang ingin menyelewengkannya.Dalam hal ini kita tidak
terlepas dari ilmu Tarikhir-Ruwah yang membicarakan hal ihwal para rawi
hadist baik yang bersangkutan dengan umur dan tanggal kapan mereka dilahirkan,
dimana domisili mereka dan kapan mereka menerima hadist dari guru-guru mereka.[18]
Ø Bentuk
penyusunan kitab hadist
Pada periode ini, umumnya para ulama
hadist mempelajari kitab-kitab hadist yang telah ada, kemudian mengembangkan
dan meringkaskannya sehingga menjadi sebuah karya sebagai berikut:
- Kitab Syarah. Yaitu kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan hadist dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang bersumber dari al-Qur’an dan hadist, ataupun kaidah-kaidah syara’ lainnya.[19] Di antara contohnya adalah:
- Fath al-Bari, oleh Ibn Hajar al-Asqalani, yaitu syarah kitab Shahih al-Bukhari.
- Al-Minhaj, oleh al-Nawawi, yang mensyarahkan kitab Shahih Muslim.
- ‘Aun al-Ma’bud, oleh Syams al-Haq al-Azhim al-Abadi, syarah sunan Abu Dawud.
- Kitab Mukhtashar. Yaitu kitab yang berisi ringkasan dari suatu kitab hadist, seperti Mukhtashar Shahih muslim, oleh Muhammad fu’ad abd al-Baqi.
- Kitab Zawa’id. Yaitu kitab yang menghimpun hadist-hadist dari kitab-kitab tertentu yang tidak dimuat kitab tertentu lainnya. Di antara contohnya adalah Zawa’id al-sunan al-Kubra, oleh al-Bushiri, yang memuat hadist-hadist riwayat al-Baihaqi yang tidak termuat dalam al-Kutub al-Sittah.
- Kitab petunjuk (kode indeks) hadist. Yaitu, kitab yang berisi petunjuk-petunjuk praktis yang mempermudah mencari matan hadist pada kitab-kitab tertentu. Contohnya, Miftah Kunuz al-Sunnah, oleh A.J. Wensinck, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh M. Fu’ad ‘Abd al-Baqi.
- Kitab Takhrij. Yaitu kitab yang menjelaskan tempat-tempat pengambilan hadist-hadist yang memuat dalam kitab tertentu dan menjelaskan kualitasnya. Contohnya adalah, Takhrij Ahadits al-Ihya’, oleh Al-‘Iraqi. Kitab ini men-takhrij hadist-hadist yang terdapat di dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali.
- Kitab Jami’. Yaitu kitab yang menghimpun hadist-hadist dari berbagai kitab hadist tertentu, seperti al-Lu’lu’ wa al-Marjan, karya Muhammad fu’ad al-Baqi. Kitab ini menghimpun hadist-hadist Bukhari dan Muslim.
- Kitab yang membahas masalah tertentu, seperti masalah hukum. Contohnya, Bulugh al-Maram min Adillah al-Hakam, oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani dan koleksi Hadis-hadis Hukum oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.[20]
Dengan adanya karya-karya besar para
ahli hadist tersebut, maka dapatlah mempermudah generasi sekarang ini dalam
mempelajari serta mentelusuri hadist-hadist yang ada sekarang, sehingga dapat
mengetahui kualitas hadist-hadist tersebut, dan menghindarkan diri dari
pengamalan hadist-hadist yang daif. Penulisan dan Pembukuan Hadits pada abad ke II H
Pembukuan hadits diprakarsai oleh Umar bin Abdul Aziz salah seorang Bani Umayyah. Adapun yang mendorong beliau untuk membukukan hadits adalah para perawi/ penghafal hadits kian lama kian banyak yang meninggal dunia.
Pembukuan hadits diprakarsai oleh Umar bin Abdul Aziz salah seorang Bani Umayyah. Adapun yang mendorong beliau untuk membukukan hadits adalah para perawi/ penghafal hadits kian lama kian banyak yang meninggal dunia.
Ø Kitab-kitab
hadits yang disusun pada abad ke II H Ialah :
(1) Al Muwatto karya Imam Malik.
(2) Al Maroghi, karya Muhammad bin
Ishaq.
(3) Al Jami’, karya Abdurrazad.
(4) Al Musannaf, karya Al Auza’i.
(5)Al-Musnad,karyaAsy-Syafi’
BAB II
MASA-MASA PERKEMBANGAN HADIST
Ø Masa
Pembentukan Hadist
Masa pembentukan hadist tiada lain
masa kerasulan Nabi Muhammad itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada
masa ini hadist belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para
sahabat saja. perode ini disebut al wahyu wa at takwin. periode ini dimulai
sejak Nabi Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul hingga wafatnya (610 M-632
M)
Ø Masa
Penggalian
Masa ini adalah masa pada sahabat
besar dan tabi'in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau
632 M. Pada masa ini kitab hadist belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring
dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang
mendorong para sahabat saling bertukar hadist dan menggali dari sumber-sumber
utamanya.
Ø Masa
Penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para
sahabat dan tabi'in yang mulai menolak menerima hadist baru, seiring terjadinya
tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari'at dan
'aqidah dengan munculnya hadist palsu. Para sahabat dan tabi'in ini sangat
mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam
permusuhan tersebut, sehingga jika ada hadist baru yang belum pernah dimiliki
sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber dan
pembawa hadist itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz
sekaligus sebagai salah seorang tabi'in memerintahkan penghimpunan hadist. Masa
ini terjadi pada abad 2 H, dan hadist yang terhimpun belum dipisahkan mana yang
merupakan hadist marfu' dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu'.
Ø Masa
Pendiwanan dan Penyusunan
Abad 3 H merupakan masa pendiwanan
(pembukuan) dan penyusunan hadist. Guna menghindari salah pengertian bagi umat
Islam dalam memahami hadist sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama
mulai mengelompokkan hadist dan memisahkan kumpulan hadist yang termasuk marfu'
(yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat)
dan mana yang maqthu' (berisi prilaku tabi'in). Usaha pembukuan hadist pada
masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud diatas) juga
dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud
tash-hih (koreksi/verifikasi) atas hadist yang ada maupun yang dihafal.
Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan hadist terus dilanjutkan hingga
dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan mahligai hadist.
Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab
hadist seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan
mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab Hadis abad 4 H.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengumpulan hadist secara resmi
telah dimulai sejak Khalifah Umar ibn Abdul Aziz, yaitu awal abad ke 2, hal ini
dilakukan dalam rangka melestarikan hadist agar hadist tersebut tidak hilang
bersama penghafal hadist, di samping itu merupakan tuntutan kondisi umat Islam
semakin banyak dan wilayahnya semakin luas, sehingga diperlukan suatu rujukan
hukum berupa hadist setelah al-Qur’an
Sesudah itu, penulisan dan pembukuan
hadist melewati beberapa proses yang semuanya bertujuan mencapai kesempurnaan
dan penjagaan atas keaslian hadist-hadist tersebut.
Dalam pemilahan hadist yang shahih
dan yang palsu, kiranya kita harus melihat sanad dan matannya,
dan yang terlebih lagi hadist tersebut tidak mempunyai pertentangan dan tidak
menjadi kepentingan politik golongan tertentu pada masa silam sehingga
dilestarikannya dengan hadist pemalsuan.
B.
Kritik dan
Saran
Sesuai dengan hadist Nabi SAW :
تركت
فيكم امرين لن تضل ابدا,ما ان تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله
Artinya :
Telah aku tinggalkan kepada kalian dua perkara,jika sekiranya kalian berpegan
atas keduanya maka tidak akan sesat selamanya yaitu Kitab ALLAH dan sunata
Rasulihi.
[13] Syaikh Manna’ al-Qathtan, Mabahis
Fi Ulumil Hadist, terjemah Mifdhol Abdurrahman ,Pengantar Studi
Ilmu Hadist(Jakarta: Al- Kausar,2005),h. 45.
[16] Ijazah adalah
pemberian izin dari seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan
hadist-hadist yang berasal dari guru tersebut,baik yang tertulis maupun yang
berupa hafalan.Sedangkan mukatabah adalah pemberian catatan
hadist dari seorang guru kepada orang lain (muridnya),baik catatan tersebut
ditulis oleh guru itu sendiri ataupun didiktekan kepada muridnya . Lihat Nawir
Yuslem , Ulumul Hadist……h. 143
[1]
Tulisan ini berasal dari http://stiqulumalhadis.blogspot.com/2012/01/sejarah-pembukuan-hadist.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar