Blem.com

Minggu, Maret 20, 2016

Mudun Lemah

Berbicara masalah budaya, takan ada pernah habisnya, sebab bumi nusantara yang terbentang ini memiliki kekayaan berupa budaya yang sangat melimpah. Dari budaya yang sudah diakui oleh dunia, budaya yang tidak diakui dunia, bahkan budaya yang  menjadi perdebatan antara sumber dan dasar agamanya, seperti yang sering mencuat yaitu isu bid’ah. Namun, selain dari semua itu kiranya kita patut mengapresiasi adanya budaya tersebut. Sebab, bisa kita bayangkan, jika semua budaya yang telah lama bercokol di masyarakat akan tergilas oleh kejamnya zaman. Modernisasi memang diperlukan, akan tetapi nilai-nilai kebudayaan kita semestinya tidak mengalami pembabatan habis. Melainkan bagaimana caranya untuk berinovasi sesuai dengan masa yang dihadapi.
Satu hal yang tersisa dari budaya-budaya yang kita miliki adalah budaya sekaligus adat acara “mudun lemah”. Mudun lemah berasal dari bahasa Jawa yang terdiri dari dua kata yaitu “mudun” yang berarti “turun”, sedangkan “lemah” berarti “tanah”. Oleh karena itu jika kata tersebut digabungkan maka akan berarti bahwa mudun lemah adalah “turun ke tanah”. Acara ini merupakan adat lama yang masih terjaga dengan baik. Masyarakat pedesaan masih sering mengadakan acara tersebut secara konsisten.
Mudun lemah merupakan satu acara yang digelar untuk mensyukuri bayi yang sudah diberi karunia bisa duduk. Sebagai proses selanjtnya, bayi tersebut akan mulai menghadapi duni baru yang tadinya hanya berada dalam ayunan orang tuanya kini ia akan mencoba bertatih-tatih meraih apa yang dia inginkan. Oleh karenanya, karunia tersebut merupakan hal yang patut disyukuri. Sebagai wujud syukur tersebut, maka diadakanlah acara mudun lemah.
Prosesi mudun lemah seendiri memiliki cara yang khusus dan menjadi khas dari acara-acara lain yang biasa diadakan. Satu hal misalnya, dalam acara tersebut ada beberapa hal yang wajib (bukan menurut syari’at, akan tetapi menurut adat) dipenuhi diantaranya adalah bubur candil. Menjadi syarat wajib dalam acara ini merupakan bubur candil sebagai jamuan yang akan di bagikan kepada warga sekitar. Kenapa meski bubur candil? Dalam beberapa acara yang beredar di masyarakat banyak sekali ragam masakan yang mesti disiapkan dalam rangka memperingati hari-hari tertentu misalnya saja bubur hijau, bubur bloho, apem atau cimplo dan lain sebagainya.lain acara lain pula jamuanya. Dalam acara mudun lemah ini yang digunakan adalah bubur candil dengan alasan bahwa bubur candil merupakan bubur yang paling lengket diantara bubur-bubur yang lain. oleh karenanya bubur inni dipilih dalam acara ini. Alasanya adalah agar dalam proses mudun lemah ini bubur yang diinjak oleh bayi akan nempel di kaki bayi. Demikian dikatakan oleh warga.
Syarat selanjutnya adalah tangga berhias yang memiliki tingkat-tingkat layaknya tangga biasa yang digunakan untuk memanjat. Akan tetapi tangga yang sekarang ini ukuranya tidak terlalu besar. Tingginya pun cukup satu meter. Dalam tangga tersebut biasanya akan di gantungkan berbagai macam makanan seperti pisang, ketupat, lepet dan sebagainya. Makanan tersebut pada nantinya akan menjadi rebutan warga sebagai makanan  barokah sebagaimana mereka yakini.
Satu hal lagi yang merupakan syarat wajib adalah tanah yang diletakan diatas piring yang terbuat dari tanah seperti yang sering dijadikan kendi atau pedaringan. Biasanya, disamping tanah yang diletakan diatas piring itu, dibawahnya akan diberi uang yang juga akan menjadi rebutan oleh warga.
Nah, setelah semua sudah semua terpenuhi, maka acara mudun lemah pun akan segare dilakukan. Proses selanjutnya adalah mangadakan acara “iring-iring” yaitu satu acara dimana bayi yang sedang disyukuri diiring dari rumah kapala desa, kiai, masjid, ataupun mushola. Tidak tergantung pada satu tempat. Dalam iring-iring tersebut, yang menjadi khas adalah alunan genjring dan sholawat nabi yang dikumandangkan sepanjang jalan menuju ke rumah. Assalaamu ‘alaik adalah sholawat yang dijadikan kumandang dalam acara tersebut.
Setelah sampai ke rumah, maka bayi yang diiring mulai melakukan acar mudun lemah. Dengan cara diturunkan kakinya dari tangga –yang telah disiapkan- sebanyak tiga kali seraya menginjakan kakinya di tanah serta bubur candil yang tadi telah disediakan. Setelah itu,  barulah makanan yang berada bergelantungan ddalam tangga mulai direbut oleh warga.
Satu lagi yang penting kiranya adalah sawer atau surak yaitu menaburkan uang recehan kepada para warga atau pengiring bayi. Pada zaman dahulu, biasanya uang receh yang disawerkan biasanya diberi beras yang telah dicampur dengan kunyit sehingga berwarna kuning. Akan tetapi seiring berjalanya waktu, beras itu diganti dengan permen ataupun kacang. Ini sebenarnya tidak menjadi masalah, sebab yang dirioritaskan pada saat sawer adalah keramaian dan kebahagiaan warga yang  hadir pada saat itu.
Setelah semua selesai, maka babak selanjutnya adalah pembagian bubur candil yang telah di bungkus kepada warga yang hadir. Ada juga cara lain yang digunakan yaitu dikirimkan secara langsung kepada para  kerabat yang kebetulan pada saat it tidak bisa hadir.
Jika kita tilik sejenak prosesi ini maka sebenarnya yang dilakukan dalam acar tersebut adalah tasyakuran terhadap bayi yang sudah mulai dewasa. Jika kita kaitkan dengan agama,  maka sebenanya acara ini merupakan acara sukuran secara murni. Hanya prosesnya saja yang berbeda. Dan semestinya kita ingat bahwa jalan boleh berbeda, yang penting tujuanya adalah sama. Li taqorrub ilallah.
Selamat merenung!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar