Mudun Lemah
Berbicara masalah budaya, takan
ada pernah habisnya, sebab bumi nusantara yang terbentang ini memiliki kekayaan
berupa budaya yang sangat melimpah. Dari budaya yang sudah diakui oleh dunia,
budaya yang tidak diakui dunia, bahkan budaya yang menjadi perdebatan antara sumber dan dasar
agamanya, seperti yang sering mencuat yaitu isu bid’ah. Namun, selain dari
semua itu kiranya kita patut mengapresiasi adanya budaya tersebut. Sebab, bisa
kita bayangkan, jika semua budaya yang telah lama bercokol di masyarakat akan
tergilas oleh kejamnya zaman. Modernisasi memang diperlukan, akan tetapi
nilai-nilai kebudayaan kita semestinya tidak mengalami pembabatan habis.
Melainkan bagaimana caranya untuk berinovasi sesuai dengan masa yang dihadapi.
Satu hal yang tersisa dari
budaya-budaya yang kita miliki adalah budaya sekaligus adat acara “mudun
lemah”. Mudun lemah berasal dari bahasa Jawa yang terdiri dari dua
kata yaitu “mudun” yang berarti “turun”, sedangkan “lemah”
berarti “tanah”. Oleh karena itu jika kata tersebut digabungkan maka akan
berarti bahwa mudun lemah adalah “turun ke tanah”. Acara ini merupakan
adat lama yang masih terjaga dengan baik. Masyarakat pedesaan masih sering
mengadakan acara tersebut secara konsisten.
Mudun lemah merupakan satu
acara yang digelar untuk mensyukuri bayi yang sudah diberi karunia bisa duduk.
Sebagai proses selanjtnya, bayi tersebut akan mulai menghadapi duni baru yang
tadinya hanya berada dalam ayunan orang tuanya kini ia akan mencoba
bertatih-tatih meraih apa yang dia inginkan. Oleh karenanya, karunia tersebut
merupakan hal yang patut disyukuri. Sebagai wujud syukur tersebut, maka
diadakanlah acara mudun lemah.
Prosesi mudun lemah
seendiri memiliki cara yang khusus dan menjadi khas dari acara-acara lain yang
biasa diadakan. Satu hal misalnya, dalam acara tersebut ada beberapa hal yang
wajib (bukan menurut syari’at, akan tetapi menurut adat) dipenuhi diantaranya
adalah bubur candil. Menjadi syarat wajib dalam acara ini merupakan bubur
candil sebagai jamuan yang akan di bagikan kepada warga sekitar. Kenapa meski
bubur candil? Dalam beberapa acara yang beredar di masyarakat banyak sekali
ragam masakan yang mesti disiapkan dalam rangka memperingati hari-hari tertentu
misalnya saja bubur hijau, bubur bloho, apem atau cimplo dan lain sebagainya.lain
acara lain pula jamuanya. Dalam acara mudun lemah ini yang digunakan
adalah bubur candil dengan alasan bahwa bubur candil merupakan bubur yang
paling lengket diantara bubur-bubur yang lain. oleh karenanya bubur inni
dipilih dalam acara ini. Alasanya adalah agar dalam proses mudun lemah
ini bubur yang diinjak oleh bayi akan nempel di kaki bayi. Demikian dikatakan
oleh warga.
Syarat selanjutnya adalah tangga
berhias yang memiliki tingkat-tingkat layaknya tangga biasa yang digunakan
untuk memanjat. Akan tetapi tangga yang sekarang ini ukuranya tidak terlalu
besar. Tingginya pun cukup satu meter. Dalam tangga tersebut biasanya akan di
gantungkan berbagai macam makanan seperti pisang, ketupat, lepet dan
sebagainya. Makanan tersebut pada nantinya akan menjadi rebutan warga sebagai
makanan barokah sebagaimana mereka
yakini.
Satu hal lagi yang merupakan
syarat wajib adalah tanah yang diletakan diatas piring yang terbuat dari tanah
seperti yang sering dijadikan kendi atau pedaringan. Biasanya, disamping tanah
yang diletakan diatas piring itu, dibawahnya akan diberi uang yang juga akan
menjadi rebutan oleh warga.
Nah, setelah semua sudah semua
terpenuhi, maka acara mudun lemah pun akan segare dilakukan. Proses
selanjutnya adalah mangadakan acara “iring-iring” yaitu satu acara
dimana bayi yang sedang disyukuri diiring dari rumah kapala desa, kiai, masjid,
ataupun mushola. Tidak tergantung pada satu tempat. Dalam iring-iring
tersebut, yang menjadi khas adalah alunan genjring dan sholawat nabi
yang dikumandangkan sepanjang jalan menuju ke rumah. Assalaamu ‘alaik
adalah sholawat yang dijadikan kumandang dalam acara tersebut.
Setelah sampai ke rumah, maka
bayi yang diiring mulai melakukan acar mudun lemah. Dengan cara diturunkan
kakinya dari tangga –yang telah disiapkan- sebanyak tiga kali seraya
menginjakan kakinya di tanah serta bubur candil yang tadi telah disediakan.
Setelah itu, barulah makanan yang berada
bergelantungan ddalam tangga mulai direbut oleh warga.
Satu lagi yang penting kiranya
adalah sawer atau surak yaitu menaburkan uang recehan kepada para
warga atau pengiring bayi. Pada zaman dahulu, biasanya uang receh yang disawerkan
biasanya diberi beras yang telah dicampur dengan kunyit sehingga berwarna
kuning. Akan tetapi seiring berjalanya waktu, beras itu diganti dengan permen
ataupun kacang. Ini sebenarnya tidak menjadi masalah, sebab yang dirioritaskan
pada saat sawer adalah keramaian dan kebahagiaan warga yang hadir pada saat itu.
Setelah semua selesai, maka babak
selanjutnya adalah pembagian bubur candil yang telah di bungkus kepada warga
yang hadir. Ada juga cara lain yang digunakan yaitu dikirimkan secara langsung
kepada para kerabat yang kebetulan pada
saat it tidak bisa hadir.
Jika kita tilik sejenak prosesi
ini maka sebenarnya yang dilakukan dalam acar tersebut adalah tasyakuran
terhadap bayi yang sudah mulai dewasa. Jika kita kaitkan dengan agama, maka sebenanya acara ini merupakan acara
sukuran secara murni. Hanya prosesnya saja yang berbeda. Dan semestinya kita
ingat bahwa jalan boleh berbeda, yang penting tujuanya adalah sama. Li
taqorrub ilallah.
Selamat merenung!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar