Blem.com: Budaya Ngaret

Rabu, Mei 29, 2013

Budaya Ngaret



            Kebudayaan merupakan bentuk interpretasi manusia terhadap lingkunganya. Dimana dalam kebudayaan itu sendiri terdapat nilai yang dianut oleh masyarakat setempat yang memaksa seseorang untuk berperilaku sesuai dengan budaya yang dihadapinya. Oleh karenanya, ketika terjadi perbedaan antara budaya yang satu dengan budaya yang lainya tolak ukur yang dijadikanya adalah bukan benar atau salah melainkan berkaitan erat dengan nilai yang dianut oleh budaya setempat.
            Kebudayaan sangat erat kaitanya dengan kepribadian seseorang dimana keduanya merupakan satu keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Satu sisi budaya merupakan produk manusia akan tetapi disisi yang lain , budaya juga dapat mempengaruhi cara berfikir seseorang. Oleh karenanya, jika seseorang yang berperilaku sesuai dengan landasan moral dalam kehidupan manusia maka ia akan disebut sebagai manusia berbudaya. Maka, tingginya sebuah kebudayaan masyarakat dapat dilihat dari kualitas, karakter dan kemampuan individunya.
Sebagai produk manusia, budaya juga telah memengaruhi sifat dan juga kaarakter manusia baik dalam berfikir, bersosialisasi, etos kerja serta hal-hal lainya. Disamping itu, budaya juga sangat berkaitan dengan satu ketetapan Tuhan dimana ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan merupakan respon atas satu budaya yang terjadi di masyarakat Arab pada saat itu. Demikian juga budaya telah memengaruhi terhadap satu istinbaautul hukmi sebagaimana yang dilakukan oleh para mujtahid dalam fikih.
Budaya sangat terpengaruh oleh kebiasaan masyarakat setempat serta persinggungan budaya lain yang keduanya saling memengaruhi yang pada akhirnya menjadi satu kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun. 
Namun, belakangan ini, kata budaya seringkali bersinggungan dengan konotasi yang mengarah negatif. Budaya bukan lagi tradisiadat istiadat yang turun temurun dari nenek moyang, melainkan kebiasaan yang menjadi tren dan mengakar hingga berujung pada penistaan “ibu” pertiwi. Sebut saja budaya ngaret,  
Indonesia sebagai negara yang memiliki hamparan tanah yang luas terbentang dari Sabang sampai Merauke tentu memiliki beragam budaya  yang sangat kompleks. Hal  ini telah menjadi perbincangan oleh banyak kalangan. Dari keunikanya, ternyata menyedot banyak perhatian dari umat manusia. Keragaman budaya di negri ini sudah tak dapat dinilai dengan harta apapun. Cukup sudah dunia yang akan menilai bahwa Indonesia sangat banyak memiliki kekayaan alami yang tak dapat dipungkiri.
            Sebagai orang Indonesia tentunya bangga memiliki negeri yang kaya akan budaya ini. Bahkan, sebaiknya budaya tersebut dijaga untuk dijadikan aset negara. Bukan malah dibiarkan begitu saja. Sebagai negeri berperadaban, tentunya hal yang berurusan dengan masalah budaya tidak diremehkan.
            Bila dulu Sukarno mempertahankan bangsa dengan perang, maka penjagaan kita kali ini adalah dengan melestarikan dan mengenang jasa-jasa mereka. Tak sudi kiranya kita dijajah lagi hanya karena masalah  budaya. Amat naif kiranya hal itu terjadi pada negara kita. Kebanggaan kita tak cukup sampai disitu, sebab, masih ada lagi tugas kita sebagai insan yang bertakwa untuk menjaga keutuhan negri kita.  Sebagaimana yang telah ditancapkan dalam hati para pejuang kita bahwa “cinta tanah air merupakan sebagian dari iman. Begitu besar  semangat yang mereka miliki sehingga telah mejadikan bangsa ini merdeka. Namun sayangnya, lagi-lagi kita harus  tercengan melihat ulah para atasan kita yang sama sekali tak bermoral.
            Kita boleh bangga dengan apa yang telah kita miliki sebagai aset. akan tetapi kita terpaksa hatus tercengan tak sejenak lagi, bahkan kita akan melongo melihat kenyataan bahwa betapa bobroknya negri ini. Sudah tak asing kiranya kita dengarkan bersama di TV bahwa disamping budaya-budaya diatas, bangsa kita memiliki budaya yang sangat menakjubkan dan tak mungkin direbut suka cita oleh bangsa lain. Bangsa yang berbudaya tak selamanya memiliki konotasi yang istimewa.  Karena bila ternyata budaya itu memang harus diperangi, maka itu merupakan sebuah keharusan. Ya, harus dipertanyakan kebudayaanya. Benarkah budaya tersebut akan membawa nama harum bangsa kita, atau justru sebaliknya?
            Hal apakah yang mencengankan itu? Ternyata, disamping kita memiliki budaya yang santun, ramah  serta agamis, tak begitu nampak dimata kita. Bahkan nama kita telah melejit dalam kancah internasional sebagai bangsa yang berbudaya “NGARET”.  Hal ini tak  asing lagi ditelinga kita bahwa ternyata budaya tersebut memang telah melekat pada diri kita.  Bagi mereka  yang memungkiri merupakan bagian dari orang yang buta.
            Istilah ngaret sendiri berawal dari kata karet. Dimana karet merupakan barang yang elastis dan lentur. Apabila dikaitkan dengan waktu, maka berarti waktu  yang dapat berubah, molor, mundur serta tidak seperti asalnya. Oleh karenanya, jika sikap ini terjadi dalam kehidupan, maka waktu bukan menjadi tanda kesiapan kita untuk berbuat sesuatu. Melainkan formalitas belaka.
Sebagaimana diatasdisebutkan bahwa budaya merupakan cipta rasa dan karsa manusia, maka ngeret merupakan budaya. Disamping budaya-budaya yang lainya, ngaret merupakan kebudayaan yang tidak  baik. Dimana budaya ini memiliki nilai yang negatif sehingga citra yang terkandung didalamnya merupakan sikap indisipliner. Sikap ini sangat berbahaya jika dibiarkan begitu saja terjadi pada diri seseorang.
Sikap disiplin merupakan tonggak awal dalam segala urusan dimana Allah telah menganjurkan kepada sekalian manusia. Langkah awal yang dituntut dalam masalah ini adalah perintah Allah dalam hal ibadah. Sebagaimana tersirat dalam perintah sholat “Dan dirikanlah sholat” dimana banyak para  mufassir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mendirikan sholat adalah melakukan semua hal-hal baik yang terkandung dalam makna sholat. Dalam kata lain, perintah melakukan solat merupakan satu titik menemukan amal-amal ibadah yang lainya.
Berkaitan dengan ibadah sholat, al-Qur’an juga telah menyebutnya sebagai  “kewajiban yang telah ditentukan waktunya”. Artinya, ini erat kaitanya dengan masalah kedisiplinan. Dimana dalam masalah ibadah saja Allah sudah mengajarkan untuk disiplin yang pada akhirnya adalah mengeanjurkan kepada umatnya untuk dapat melakukan sikap kedisiplinan sebagaimana terkandung dalam waktu sholat itu sendiri.  Dalam sebuah hadisnya rosulullah pernah ditanya oleh sahabatnya “Wahai rasul, amal apakah yang paling utama? Nabi menjawab: Sholat pada waktunya”. Dari sini, jelaslah kiranya bahwa Islam sangat memprioritaskan kedisiplinan. Bahkan dalam ayat lain,  manusia dikatakan sebagai orang-orang yang merugi. Hal ini sangat berhubungan dengan masalah kedisiplinan yang sering diabaikan.
Dalam peribahasa arab “Waktu adalah pedang”  begitu pula dalam peribahasa Inggris, yang mengatakan bahwa waktu adalah uang. Artinya, begitu berharganya waktu sehingga ia harus dihargai dengan amal dan perbuatan baik.
Budaya ngaret sangat merugikan baik bagi pelaku maupun orang yang menuggunya. Atau setidaknya dapat dikatakanbahwa ini merupakan sikap yang tidak menghargai waktu orang lain. Karena membuat waktu tertunda-tunda serta terjadinya tumpang tindih kegiatan yang tidak juga  terselesaikan.
            Pertanyaanya kemudian adalah mengapa seseorang melakukan ngaret? Ini adalah pertanyaan yang perlu kita jawab. Menurut Djamaluddin Ancok dalam bukunya psikologi terapan mengatakan bahwa budaya ngaret yang terjadi di negri kita ini sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat agraris. Salah satunya adalah petani. Seorang petani tidak memiliki jam khusus kapan dia harus ke sawah kapan pula ia tidak perlu ke sawah. Atau dalam kata lain, masyarakat agraris tidak membutuhkan ketepatan waktu kapan dia harus bekerja dan kapan pula dia harus beristirahat. Hal inisangat erat kaitanya dengan kebiasaan dan kemauan seorang petani dalam mengatur pertanianya. Hal ini sangat berbedadengan petani yang hidup di daerah empat musim yang memang telah ditentukan waktunya secara khuusus. Akan tetapi, pendapat demikian menimbulkan satu pertanyaan baru bahwa jika memang demikian, mengapa budaya ngaret tetap  menyebar kemana-mana padahal jumlah petani semakin menurun?
Budaya ngaret merupakan budaya yang sangat cepat tersebar kemana-mana. Ia merupakan penyakit alamiah yang hanya akan dapat disembuhkan dengan kesadaran rohani. Seseorang dapat terjangkit penyakit ini jika ia terlalu sering mengalami kasus demikian dimana ia merupakan korban yang menuggu dalam suatu pertemuan. Sekali dua kali seseorang harus menunggu rekanya, maka untuk yang ketiga kalinya dia akan berfikir bahwa kedisiplinanya ternyata sia-sia. Karena meskipun dia disiplin, akan tetapi rekan yang lainya malah enak-enakan terlambat. Maka di hari kemudian dia tidak ingin menjadi korban untuk ketiga kalinya. Menuggu merupakan hal yang paling membosankan. Demikian pepatah mengatakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar