Kebudayaan merupakan
bentuk interpretasi manusia terhadap lingkunganya. Dimana dalam kebudayaan itu
sendiri terdapat nilai yang dianut oleh masyarakat setempat yang memaksa
seseorang untuk berperilaku sesuai dengan budaya yang dihadapinya. Oleh
karenanya, ketika terjadi perbedaan antara budaya yang satu dengan budaya yang
lainya tolak ukur yang dijadikanya adalah bukan benar atau salah melainkan
berkaitan erat dengan nilai yang dianut oleh budaya setempat.
Kebudayaan sangat erat
kaitanya dengan kepribadian seseorang dimana keduanya merupakan satu
keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Satu sisi budaya merupakan produk
manusia akan tetapi disisi yang lain , budaya juga dapat mempengaruhi cara
berfikir seseorang. Oleh karenanya, jika seseorang yang berperilaku sesuai
dengan landasan moral dalam kehidupan manusia maka ia akan disebut sebagai
manusia berbudaya. Maka, tingginya sebuah kebudayaan masyarakat dapat dilihat
dari kualitas, karakter dan kemampuan individunya.
Sebagai produk manusia, budaya juga telah memengaruhi sifat dan
juga kaarakter manusia baik dalam berfikir, bersosialisasi, etos kerja serta
hal-hal lainya. Disamping itu, budaya juga sangat berkaitan dengan satu
ketetapan Tuhan dimana ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan merupakan respon
atas satu budaya yang terjadi di masyarakat Arab pada saat itu. Demikian juga
budaya telah memengaruhi terhadap satu istinbaautul hukmi sebagaimana
yang dilakukan oleh para mujtahid dalam fikih.
Budaya sangat terpengaruh oleh kebiasaan masyarakat setempat serta
persinggungan budaya lain yang keduanya saling memengaruhi yang pada akhirnya
menjadi satu kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun.
Namun, belakangan ini, kata budaya seringkali bersinggungan dengan konotasi yang
mengarah negatif. Budaya bukan lagi tradisi–adat istiadat yang turun temurun dari nenek
moyang, melainkan kebiasaan yang menjadi tren dan mengakar hingga berujung pada penistaan
“ibu” pertiwi. Sebut saja budaya ngaret,
Indonesia sebagai negara yang memiliki hamparan tanah yang luas
terbentang dari Sabang sampai Merauke tentu memiliki beragam budaya yang sangat kompleks. Hal ini telah menjadi perbincangan oleh banyak
kalangan. Dari keunikanya, ternyata menyedot banyak perhatian dari umat
manusia. Keragaman budaya di negri ini sudah tak dapat dinilai dengan harta
apapun. Cukup sudah dunia yang akan menilai bahwa Indonesia sangat banyak
memiliki kekayaan alami yang tak dapat dipungkiri.
Sebagai orang
Indonesia tentunya bangga memiliki negeri yang kaya akan budaya ini. Bahkan,
sebaiknya budaya tersebut dijaga untuk dijadikan aset negara. Bukan malah
dibiarkan begitu saja. Sebagai negeri berperadaban, tentunya hal yang berurusan
dengan masalah budaya tidak diremehkan.
Bila dulu Sukarno
mempertahankan bangsa dengan perang, maka penjagaan kita kali ini adalah dengan
melestarikan dan mengenang jasa-jasa mereka. Tak sudi kiranya kita dijajah lagi
hanya karena masalah budaya. Amat naif
kiranya hal itu terjadi pada negara kita. Kebanggaan kita tak cukup sampai
disitu, sebab, masih ada lagi tugas kita sebagai insan yang bertakwa untuk
menjaga keutuhan negri kita. Sebagaimana
yang telah ditancapkan dalam hati para pejuang kita bahwa “cinta tanah air
merupakan sebagian dari iman. Begitu besar
semangat yang mereka miliki sehingga telah mejadikan bangsa ini merdeka.
Namun sayangnya, lagi-lagi kita harus
tercengan melihat ulah para atasan kita yang sama sekali tak bermoral.
Kita boleh bangga
dengan apa yang telah kita miliki sebagai aset. akan tetapi kita terpaksa hatus
tercengan tak sejenak lagi, bahkan kita akan melongo melihat kenyataan bahwa
betapa bobroknya negri ini. Sudah tak asing kiranya kita dengarkan bersama di
TV bahwa disamping budaya-budaya diatas, bangsa kita memiliki budaya yang
sangat menakjubkan dan tak mungkin direbut suka cita oleh bangsa lain. Bangsa
yang berbudaya tak selamanya memiliki konotasi yang istimewa. Karena bila ternyata budaya itu memang harus
diperangi, maka itu merupakan sebuah keharusan. Ya, harus dipertanyakan
kebudayaanya. Benarkah budaya tersebut akan membawa nama harum bangsa kita,
atau justru sebaliknya?
Hal apakah yang
mencengankan itu? Ternyata, disamping kita memiliki budaya yang santun,
ramah serta agamis, tak begitu nampak
dimata kita. Bahkan nama kita telah melejit dalam kancah internasional sebagai
bangsa yang berbudaya “NGARET”. Hal ini
tak asing lagi ditelinga kita bahwa
ternyata budaya tersebut memang telah melekat pada diri kita. Bagi mereka
yang memungkiri merupakan bagian dari orang yang buta.
Istilah ngaret
sendiri berawal dari kata karet. Dimana karet merupakan barang yang elastis dan
lentur. Apabila dikaitkan dengan waktu, maka berarti waktu yang dapat berubah, molor, mundur serta tidak
seperti asalnya. Oleh karenanya, jika sikap ini terjadi dalam kehidupan, maka
waktu bukan menjadi tanda kesiapan kita untuk berbuat sesuatu. Melainkan formalitas
belaka.
Sebagaimana diatasdisebutkan bahwa budaya merupakan cipta rasa dan
karsa manusia, maka ngeret merupakan budaya. Disamping budaya-budaya yang
lainya, ngaret merupakan kebudayaan yang tidak
baik. Dimana budaya ini memiliki nilai yang negatif sehingga citra yang
terkandung didalamnya merupakan sikap indisipliner. Sikap ini sangat berbahaya
jika dibiarkan begitu saja terjadi pada diri seseorang.
Sikap disiplin merupakan tonggak awal dalam segala urusan dimana
Allah telah menganjurkan kepada sekalian manusia. Langkah awal yang dituntut
dalam masalah ini adalah perintah Allah dalam hal ibadah. Sebagaimana tersirat
dalam perintah sholat “Dan dirikanlah sholat” dimana banyak para mufassir menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan mendirikan sholat adalah melakukan semua hal-hal baik yang terkandung
dalam makna sholat. Dalam kata lain, perintah melakukan solat merupakan satu
titik menemukan amal-amal ibadah yang lainya.
Berkaitan dengan ibadah sholat, al-Qur’an juga telah menyebutnya
sebagai “kewajiban yang telah ditentukan
waktunya”. Artinya, ini erat kaitanya dengan masalah kedisiplinan. Dimana dalam
masalah ibadah saja Allah sudah mengajarkan untuk disiplin yang pada akhirnya
adalah mengeanjurkan kepada umatnya untuk dapat melakukan sikap kedisiplinan
sebagaimana terkandung dalam waktu sholat itu sendiri. Dalam sebuah hadisnya rosulullah pernah
ditanya oleh sahabatnya “Wahai rasul, amal apakah yang paling utama? Nabi
menjawab: Sholat pada waktunya”. Dari sini, jelaslah kiranya bahwa Islam sangat
memprioritaskan kedisiplinan. Bahkan dalam ayat lain, manusia dikatakan sebagai orang-orang yang
merugi. Hal ini sangat berhubungan dengan masalah kedisiplinan yang sering
diabaikan.
Dalam peribahasa arab “Waktu adalah pedang” begitu pula dalam peribahasa Inggris, yang
mengatakan bahwa waktu adalah uang. Artinya, begitu berharganya waktu sehingga
ia harus dihargai dengan amal dan perbuatan baik.
Budaya ngaret sangat merugikan baik bagi pelaku maupun orang yang
menuggunya. Atau setidaknya dapat dikatakanbahwa ini merupakan sikap yang tidak
menghargai waktu orang lain. Karena membuat waktu tertunda-tunda serta
terjadinya tumpang tindih kegiatan yang tidak juga terselesaikan.
Pertanyaanya kemudian
adalah mengapa seseorang melakukan ngaret? Ini adalah pertanyaan yang perlu
kita jawab. Menurut Djamaluddin Ancok dalam bukunya psikologi terapan
mengatakan bahwa budaya ngaret yang terjadi di negri kita ini sangat
dipengaruhi oleh budaya masyarakat agraris. Salah satunya adalah petani. Seorang
petani tidak memiliki jam khusus kapan dia harus ke sawah kapan pula ia tidak
perlu ke sawah. Atau dalam kata lain, masyarakat agraris tidak membutuhkan
ketepatan waktu kapan dia harus bekerja dan kapan pula dia harus beristirahat. Hal
inisangat erat kaitanya dengan kebiasaan dan kemauan seorang petani dalam
mengatur pertanianya. Hal ini sangat berbedadengan petani yang hidup di daerah
empat musim yang memang telah ditentukan waktunya secara khuusus. Akan tetapi,
pendapat demikian menimbulkan satu pertanyaan baru bahwa jika memang demikian,
mengapa budaya ngaret tetap menyebar
kemana-mana padahal jumlah petani semakin menurun?
Budaya ngaret merupakan budaya yang sangat cepat tersebar
kemana-mana. Ia merupakan penyakit alamiah yang hanya akan dapat disembuhkan
dengan kesadaran rohani. Seseorang dapat terjangkit penyakit ini jika ia
terlalu sering mengalami kasus demikian dimana ia merupakan korban yang menuggu
dalam suatu pertemuan. Sekali dua kali seseorang harus menunggu rekanya, maka
untuk yang ketiga kalinya dia akan berfikir bahwa kedisiplinanya ternyata
sia-sia. Karena meskipun dia disiplin, akan tetapi rekan yang lainya malah
enak-enakan terlambat. Maka di hari kemudian dia tidak ingin menjadi korban
untuk ketiga kalinya. Menuggu merupakan hal yang paling membosankan. Demikian pepatah
mengatakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar