Para ulama sepakat bahwa hadis merupakan perkataan, perbuatan dan
persetujuan nabi. Hal ini berarti bahwa apa yang ada pada diri nabi sejatinya
adalah hadis. Sebab segala gerak-gerik yang dilakukan oleh nabi ini yang
kemudian terdokumentasikan dalam hadis-hadis yang banyak diriwayatkan oleh
orang-orang sesudahnya secara berkesinambungan. Proses ini dinamakan dengan tahammul
wa al ada, dimana seorang guru menyampaikan hadis kepada muridnya atau sebaliknya
yaitu seorang murid menerima hadis dari gurunya.
Proses tahammul
wa al ada inilah yang mengawali serta menyertai keberadaan hadis di
masa-masa sebelum pembukuannya. Namun sebagaimana kita ketahui bahwa derajat
suatu hadis itu memang sangat beragam. Ada yang sahih, hasan, dhoif, bahkan
maudhu.Hal ini bukan dipengaruhi oleh nabi sebagai sumber hadis, akan
tetapi derajat suatu hadis dipengaruhi oleh para perawi yang memiliki kedhobitan
yang berbeda antara satu orang dengan orang yang lainya. Maka disinilah yang
mulai menjadi inspirasi bagi para ulama untuk meneliti kualitas hadis-hadis
nabi demi menjaga keotentikannya.
Sebagai analogi
dari penyebab bedanya kualitas hadis adalah seperti halnya seorang guru yang
mengatakan “besok kuliah kita libur” kepada beberapa orang yang tentu memiliki
kecerdasan dan daya ingat serta kebiasaan yang berbeda. Maka sebagai hasilnya
kata tersebut akan berbeda pula ditangkapnya oleh masing-masing mustami’.
Satu orang diantara mereka ada yang tetap mengatakan apa yang disampaikan
gurunya. Satu orang lagi karena memiliki
kebiasaan ngerumpi dia akan menyampaikan pesan gurunya itu dengan “emmmm...
ngomong-ngomong kata pa dosen besok kuliahnya libur loh”. Sedangkan yang
lain ada juga yang berkata “asyikkk besok kuliah kita libur” serta
mungkin juga ada yang berkata “senangnya kuliah kita besok bisa libur”.
Analogi diatas sama
juga halnya dengan hadis nabi. Ia akan
memiliki berbagai versi di dalam redaksinya meskipun pada faktanya nabi hanya
mengatakan sekali saja. Sebagai contoh adalah satu ketika Rasulullah Saw.
sedang berjalan dan melewati seorang lelaki yang sedang memberi nasihat kepada
saudaranya kemudian rasul pun berkata “ sesungguhnya malu itu sebagian dari
iman”. Redaksi hadis yang membicarakan tentang demikian dapat kita jumpai
dalam berbagai kitab yang berbeda serta memiliki redaksi yang berbeda pula diantaranya
adalah dalam Sahih Bukhari, al-Muwattho, sunan Abu Dawud, serta musnad Ahmad
yang dalam hadis yang berkaitan dengan hal tersebut memiliki redaksi دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ. Sedangkan dalam sahih Muslim, Tirmidzi dan juga
Musnad Ahmad disebutkan demikian الْحَيَاءُ مِنَ الإِيمَانِ. Pada saat yang sama pula ada redaksi yang menyebutkan
الحياء والعي شعبتان من الإيمان seperti dalam kitabnya Tirmidzi. Sedangkan dalam
sunan Nasai dan juga musnad Ahmad juga
memiliki redaksi yang lain. Dimana
disana disebutkan dengan الحياء شعبة من الإيمان. Serta disisi yang
lain disebutkan إِنَّ الْحَيَاءَ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Majah dan juga
Ahmad bin Hambal.
Kasus
diatas merupakan satu gambaran dimana satu hadis yang disabdakan oleh nabi memiliki redaksi yang berbeda serta
variatif. Hal ini tentu dikarenakan
karena siapa yang menyampaikan dan siapa yang menerima memiliki kecerdasan yang
berbeda. Oleh karenanya, meneliti kesahihan hadis menjadi sangat perlu untuk
mengetahui hadis mana –meskipun memiliki redaksi yang sama- yang dirajihkan
sehingga hadis yang dipakai dapat dipertanggungjawabkan kemuttasilan-nya
hingga kepada nabi. Sampai disini, maka
usaha meneliti hadis senantiasa berkembang dan takkan
pernah kering dari ilmu. Sebab kitaketahui bahwa hadis nabi memiliki jumlah
yang tak terhingga.
Wallaahu a’lam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar