Blem.com: Muhammad Syahrur

Minggu, Maret 20, 2016

Muhammad Syahrur




MUHAMMAD SYAHRUR

Al-Qur’an sebagaimana diyakini oleh umat islam sebagai Hudan merupakan penjawab bagi semua permasalahan bagi semua umat. Hal ini secara tidak langsung Al-Qur’an pun disamping sebagai Hudan ia juga sebagai pedoman bagi setiap masalah yang muncul setelah Al-Qur’an selesai pewahyuanya. Pewahyuan Al-Qur’an sendiri tak lepas dari sebuah kondisi dari permasalahan yang muncul pada saat itu. Oleh karena itu, muncul beberapa pertanyaan yang terkait dengan itu diantaranya adalah:”apakah Al-Qur’an yang turun sejak 1433 tahun yang lalu masih bisa menjawab persoalan yang baru muncul belakangan ini?”. Dari pertanyaan itu kemudian muncul usaha-usaha untuk menjawabnya, maka munculah penafsiran-penafsiran yang pada saat nabi dulu masih bersifat kurang kritis dan lebih sedikit dalam menggunakan rasio
Kegiatan penafsiran pun tidak sampai disitu. Seiring dengan berjalanya waktu serta kompleksitas permasalahan, pencarian makna Al-Qur’an senantiasa berlanjut. Hinga munculah beberapa kitab tafsir yang sangat beragam. Kemunculan tersebut menimbulkan asumsi baru bahwa kitab tafsir tersebut memiliki arti yang sebenarnya dengan apa yang diinginkan oleh teks. Bahkan oleh kebnyakan orang, tafsir pun dikultuskan sebagaimana Al-Qur’an hingga makna dan maksud dari tafsir tersebut seakan-akan dianggap final. Inilah yang kemudian kemudian dikritisi oeh Muhamad Syahrur bahwa tafsir adalah sebuah produk manusia yang muncul atas dasar konteks sosio cultural pada saat itu serta tak luput dari subjektifitas seorang mufasir.
Berangkat dari semnagat ingin menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan moral-teologis bagi umat manusia dalam mengemban amanah Tuhan, serta menbuktikan bahwa Al-Qur’an selalu relevan untuk semua masa dan tempat, Syharur mencoba mendialogkan antara teks Al-Qur’an yang terbatas dengan konteks perkembangan zaman yang tak terbatas. Disamping itu, Syahrur juga mendekonstruksi sekaligus merekonstruksi metodologi penafsiran Al-Qur’an yang lebih sesuai dengan tantnan dan tututan zaman.
Syahrur juga menganggap bahwa tradisi seringkali membuat orang menjadi terkungngkung yang menjebaknya pada tradisi taklid dan stagnan. Oleh karena itu, ia mencoba menawrkan teori baru yang mungkin dianggap relefan untuk digunakan pada saat sekarang. Dari latar belakang seorang insinyur, metode penafsiranyapun tidak lepas dari begron yang dimilikinya.
Syahrur menawarkan teori barunya yang dikenal dengan toori Hudud (limit theory) . Teori ini pada dasarnya adalah pendekatan melalui ijtihad dan hermeneutika ta’wil dengan pendekatan linguistik stukturalis yang diramu dengan pendekatan matematik.
Dalam penafsinya itu, Syahrur masih tetap berpegang teguh pada bingkai teks dan mengakui sakralitasnya. Meskipun demikian, dia tidak kehilngan kretifitasnya dalam memaknai teks secara dinamis dan fleksibel . Ini sangat nampak sekali ketika ia mencoba menjelaskan ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
Dain inilah hal menarik yang menurut hemat penulis sebuah perkembangan intelektualitas islam. Oleh karena itu menurut kami mempelajari lebih jauh tentang pemikiran syahrur adalah sebuah keharusan dala rangka mengembangkan pemikiran islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar