Blem.com: BERBURUK SANGKA TERHADAP GERAKAN PLOITIK

Senin, Februari 19, 2018

BERBURUK SANGKA TERHADAP GERAKAN PLOITIK


Oleh: Badrun Lana El-Muna[1]

            Jalannya demokrasi di Indonesia telah berjalan kurang lebih sepuluh tahun. Demokrasi yang merupakan pilihan strategis untuk diterapkan di Indonesia merupakan gagasan yang telah banyak memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan bangsa. Diakui atau tidak. Nyatanya sistim ini telah banyak menghasilkan para politisi-politisi muda yang sangat kompeten di bidangnya masing-masing. Metamorfosis yang dilakukan bangsa Indonesia ini telah menghasilkan tokoh-tokoh yang dalam hal-hal tertentu sangat banyak memberikan arti bagi bangsa ini. Salah satu contoh adalah SBY sebagai presiden pertama yang berhasil memperoleh mandat langsung dari rakyat selama dua periode. Dalam kepemimpinannya, SBY telah berhasil  membuktikan dengan kinerjanya dengan melakukan pemberantasan korupsi melalui lembaga khusus yang dibentuknya yang terkenal dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).  Dengan lembaga ini, banyak dari  politikus yang menggunakan harta milik rakyat berhasil dijebloskan kedalam penjara dengan kasusnya yaitu korupsi. Meski hal ini belum sepenuhnya menjerat seluruh pejabat yang bermasalah.
            Meskipun begitu tampaknya kedamaian bangsa Indonesia dalam berdemokrasi secara langsung mulai tergoyahkan. Hal ini terlihat dari adanya perubahan haluan beberapa partai politik yang mengusulkan untuk mengganti pola pemilihan kepala daerah langsung menjadi tidak langsung. Desakan yang diajukan oleh lima partai politik diantaranya Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan dan juga Partai Golongan Karya.  Adapun Partai Demokrat secara resmi belum menyatakan keberpihakanya pada dua opsi yang ada yaitu menyetujui pemilihan secara langsung atau tidak langsung.
            Dari partai politik diatas, dapat tergambar bahwa kesemuanya merupakan tim koalisi merah putih dalam pilpres 2014. Oleh karenanya, dalam hal ini mudah muncul suu’u dzon masyarakat terhadap agenda lanjutan dari pilpres 2014 dimana koalisi merah putih mengalami kekalahan. Kecurigaan yang dimaksud adalah bahwa jangan-jangan ini adalah gerakan baru menguasai kepala daerah melalui para legislatif yang besar dari partai usungan koalisi merah putih. Sebab jika kita melihat pada komposisi kursi DPRD maka koalisi merah pitih memiliki kekuatan yang cukup besar. sehingga pada tahapan selanjutnya, jika benar nantinya kepala daerah dipilih melalui perwakilan di DPRD, maka akan sangat mudah mendudukan kader partai untuk memperoleh banyak suara dalam koalisi. Namun inipun masih asumsi awal dari manuver politik ini. Sebab, tentunya dalam konteks yang lebih jauh, belum tentu terjadi kesolidan antara partai politik yang tergabung dalam koalisi tersebut.
            Perubahan sikap yang terjadi pada lima partai tersebut bukan tanpa landasan. Tentu sangat naif jika satu persolan yang sangat urgen tidak memiliki kekuatan dalam hal alasan. Sebagaimana dikatakan bahwa sikap dan landasan pemikiran yang dilakukan oleh beberapa partai politik diatas adalah adanya biaya demokrasi secara langsung membutuhkan biaya yang sangat mahal. Sebab, untuk mendapatkan jabatan kepala daerah memerlukan biaya yang tidak sedikit. Hal yang lain juga karena sering terjadi politik uang. Oleh karenanya, ini dianggap merusak arti demokrasi yang sebenarnya. Demokrasi yang sejatinya milik rakyat menjadi milik para pemegang modal dan harta yang melimpah. Suara rakyat dapat ditentukan berdasarkan ketebalan kantong calon kepala daerah. Kritik inilah yang menjadi persoalan utama.
            Selanjutnya, dari pihak lawan pilitik yang tidak meyetujui pemilihan yang diwakili DPRD diantaranya adalah Parta Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Hanura dan Parta Kabangkitan Bangsa mengatakan bahwa kembalinya pemilihan kapala daerah kepada DPRD merupakan pengulangan dari masa orde baru. Hal ini dianggap sebagai kemunduran bangsa. Sebab sistim demokrasi dianggap sebagai sesuatu yang sudah final meskipun masih banyak menyisakan masalah. Sebab masalah yang terjadi masih dapat diatasi misalnya seperti banyaknya praktik politik uang adalah  dengan kontrol partai polotik terhadap calon yang diusungnya. Atau masalah pembengkakan biaya kampanye yang dinilai sangat mahal dengan melakukan pembatasan terhadap biaya kampanye yang diperketat. Namun sepertinya ini merupakan hal yang bukan menjadi dalil sebagai penguatan terhadap pemilukada secara langsung. Bahkan, sebaliknya, kelemahan inilah yang menjadi alat untuk berargumen mengganti pemilukada dikembalikan kepada DPRD. Padahal masalah diatas semestinya yang perlu diperbaiki.  Akan tetapi tampaknya dalam beberapa kondisi seperti politik uang serta membeli suara rakyat merupakan satu hal yang dapat dinikmati.
            Kondisi demikian merupakan bukti dari ketidak terbukaan parpol terhadap permasalahan yang menjadi titi lemah pemilihan secara langsung. Atau bahkan ini merupakan kesengajaan yang enggan diperbaiki untuk menjadi dalil penguat penggantian pilkada langsung kepada DPRD. Entah, politik seperti apa yang sedang menghinggapi bangsa Indonesia ini?
            Motif kepentinganparpol sejatinya disandarkan pada pembelaan terhadap rakyat. Bukan malah sebaliknya, pembelaan terhadap rakyat merupakan sebuah modus meraup suara sebanyak-banyaknyadan meninglggalkan rakyat sejauh-jauhnya. Demokrasi yang telah lama dan sarat dengan berbagai persoalan merupakan pembelajaran bagi bangsa Indonesia untuk selalu memperbaiki sistem domokrasi yang telah berjalan ini. Kedaulatan rakyat adalah kekuasaan yang  sebenarnya harus dicapai dengan ketulusan parapemegang kekuasaan untuk mengedepankan kepentingan rakyat dibandingkan dengan kepentingan golongan. Sebab, seberapapun dan bagaimanapun sebuah sistem itu dibangun,  masih tetap akan menimbulkan persoalan. Dalam beberapa kasus, sistem ternyata membutuhkan perbaikan-perbaikan secara berkala. Dalam hal ini,  untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD merupakan suatu kemunduran. Maka sebaiknya pelajaran berharga selama sepuluh tahun menjalani sistim demokrasi ini  menjadi cerminan dimasa mendatang untuk senantiasa berbenah. Dalam hal ini mengganti sistem tidak lagi diperlukan. Yang diperlukan adalah memperbaiki yang sudah ada pada titik –titik kelemahan tertentu.
            Sehingga kedaulatan rakyat secara total dapat memegang peranan penting dalam demokrasi ini. Bukan malah sebaliknya yaitu merampas kedaulatan rakyat menjadi kepentingan golongan tertentu. Sebab, bukan berati kembalinya pemilihan kepala daerah ke DPRD itu selesai dari masalah. Sistim ini juga memiliki titik lemah karena bisa saja terjadi kong-kalikong antara calon kepala daerah dengan anggota DPRD. Jika demikian, maka kepala daerah bisa jadi sebagai boneka dari DPRD yang semua kebijakannya akan diukur dengan seberapa besar keuntungan yang akan mereka peroleh. Intinya kedua sistem yang sedang menjadi perdebatan ini sama-sama dapat menimbulkan masalah (korupsi). Tinggal bagaimana manusianya saja.
            Pada akhirnya, rakyat kecil hanya bisa menyaksikan semua permasalahan ini tanpa ikut campur tangan seutuhnya.  Kita hanya bisa berdoa semoga apapun yang menjadi keputusan final nanti didasarkan pada keberpihakan kepada rakyat. Sehingga rakyat tidak lagi menjadi bola-bola politik yang terombang-ambing dan menjadi bahan rebutan para pemegang kekuasaan.


[1] Penulis adalah sarjana lulusan Tafsir Hadis IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar