Oleh: Badrun Lana El-Muna[1]
Sesuatu
yang ada di depan mata itu tampak biasa saja, namun jika hal itu pergi maka
akan terasa kehilangannya. Itulah mungkin yang banyak dirasakan oleh kebanyakan
manusia. Kebiasaan melalaikan sesuatu yang besar mengakibatkan kita akan merasa
begitu kecewa setelah kita semua ditinggalkannya.
Tak
jauh berbeda dengan kehadiran saudara, teman, guru, nyai kita bersama. Ibu hj.
Lia aliyah yang telah mendahului kita. Kita tak tahu, bahwa perjumpan dengan
beliau hanyalah sesaat. Dengan begitu cepatnya beliau menghadap pada kehariban
sang Kholik. Namun walau bagaimanapun
beliau adalah pengukir sejarah perjalanan kita semua menuju akhirat.
Perjalanan yang cukup singkat namun berliku. Inilah hukum alam, semua makhluk
yang hidup pasti akan mati.
Kehadirannya
di tengah-tengah kita, hususnya saya sebagai muridnya tentu beliau adalah sosok
guru yang penuh dengan ketulusan dalam mengajar. Beliau tak mengenal letih
untuk membimbing muridnya meski beliau sendiri sibuk bolak-balik ke rumah sakit
untuk cek up penyakitnya. Tanpa mau berkeluh kesah kepada orang lain. Beliau
selalu tampak tegar menghadapi ujian yang diberika Allah kepadanya. Ketegaran
beliau ini tak lain karena beliau tahu bahwa semua yang ada di dunia ini adalah
sesuatu yang berada dalam kuasaNya. Maka keluasan ilmu beliaulah yang
menghantarkannya pada ketabahan yang sesungguhnya.
Tentang
almarhumah ibu Lia Aliyah yang telah mendahului kita, banyak cerita yang kita
ukir bersama. Baik di kelas ataupun seperti biasa kita bertemu di dunia maya.
Ahli hadis yang sangat telaten mengajarkan ilmunya kepada mahasiswa dan
juga murid-muridnya Beliau adalah seorang guru yang sangat tulus, dekat dengan
mahasiswa serta mau mendengarkan keluhan-keluhan mereka. Maka pantaslah jika
beliau banyak digemari oleh mahasiswa.
Sebagai seorang murid beliau, saya
merasa banyak terima kasih atas segala perhatian dan keikhlasannya dalam
mendidik saya selama ini. Entah dengan apa saya akan membalas jasa beliau.
Beliau adalah orang yang pertama kali membuatku tertarik mendalami hadis-hadis
nabi. Bahkan beliau pulalah yang telah menghantarkanku memperoleh gelar sarjana.
Ada satu kejadian yang membuatku
sangat termotivasi karenanya. Waktu itu beliau sedang melakukan ibadah haji.
Dan mungkin itulah ibadah haji yang terahir beliau lakukan. Selama disana
beliau selalu memberi kabar lewat facebook. Aku juga sering minta di doakan
supaya bisa lulus secapat mungkin. Dengan senang hati beliau menjawab “in sya
allah saya doakan”. Akupun sangat senang, sebab aku yakin bahwa semua doa yang
dipanjatkan di Tanah Suci pasti dikabulkan.
Siang itu kebetulan aku sedang online, biasa, lagi menghilangkan
penat-penat yang mengganjal dalam fikiran. Tiba-tiba muncul di depan layar komputerku inbok dari
dosenku “Lia Aliyah”. Gimana kabar skripsine kang? Sdh nulis bab II kan?
Mumpung masih di Makkah, ada yg bs sy bantu? Asal jangan minta dibawakan org
Arab sj. Susah lihatny, pake cadar trs
kalo di luar. Hehehe….
Kata-katanya
sangat ringan, seperti tanpa beban. Tapi bagiku, kata-kata itu adalah pukulan
yang sangat keras. Bagaimana tidak, sudah dua bulan lamanya aku dinyatakan
lulus seminar proposal skripsi, tapi tak sehuruf pun aku menuliskan kata demi
kata untuk menyelesaikan tugas akhirku. Mendapat pesan itu aku langsung diam,
tertegun, entah ada apa dengan pesan itu. Sepertinya mulai merasuk ke seluruh
fikiranku. Semangatku mulai tumbuh, tekadku mulai bulat untuk menyelesaikannya
pada saat itu juga. Dengan dorongan serta motifasi yang beliau berikan pada
siang itu aku dapat menyelesaikan tugas akhirku kurang dari seminggu.
Berbagai
kajian Islam sangat sering dikaji di kalangan mahasiswa, pemikiran modern serta
berbagai perdebatan seputar hukum Islam. Kehadiran Ibu Lia membawa angin segar
bagi kelas kami sebab kajian yang dibawakan oleh beliau adalah kajian Islam
mengenai hak dan kewajiban seorang wanita kepada suaminya atau sebaliknya.
Banyak pandangan-pandangan baru yang disampaikan diantaranya yang paling
menjadi daya tarik mahasiswa adalah penyampaian mengenai jender. Pemahaman
jender yang dianggap “tabu” oleh sebagian orang, disampaikan dengan begitu cara
pandang yang baru dan mengena. Beliau sampaikan pandangannya mengenai jender
dengan nuansa pesantren sehingga banyak dari kami tidak lagi menganggapnya
sebagai hal yang “tabu”. Bahkan banyak yang menerima dan mengamininya.
Kehadiran
Bu Lia di Tafsir Hadis sangat banyak menginspirasi para mahasiswa terutama
dalam kajian jender. Hal ini terbukti dengan banyaknya skripsi yang membahas
tentang perempuan. Tidak hanya itu, materi yang disampaikan juga telah banyak
menjadi perbincangan para mahasiswa baik dalam kelas ataupun dalam
diskusi-diskusi yang dilaksanakan oleh HMJ. Subhanallah!!!
Satu
hal yang saya ingat dari penafsiran beliau mengenai poligami adalah QS.
An-Nisa: 3
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur
dan
jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Dalam
mengartikan ayat di atas beliau mengkritik terjemahan Departeman Agama yang
mengatakan bahwa arti dari ayat tersebut adalah …Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi
padahal menurut beliau jika diartikan secara lafadz terjemahan
tersebut akan berbunyi Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang menyenagi
kamu. Terjemahan Departemen Agama yang demikian akan menimbulkan kesan
bahwa lelaki mempunyai hak seutuhnya untuk menikahi wanita yang dia cintai
tanpa melihat apakah wanita tersebut mencintainya atau tidak. Sehingga perlu ada koreksi dalam terjemahan
tersebut. Sehingga yang dimaksud dari ayat itu adalah menikahi “wanita yang
mencintai” bukan “wanita yang dicintai”. Wallahu a’lam.
Jika
kita mengungkap semua kebaikan ibu Lia, mungkin seribu lembar pun takan cukup
untuk menuliskannya. Tentu hal ini karena kebaikan beliau sangatlah banyak dan
tak terhitung. Saya hanya bisa bersaksi bahwa beliau adalah orang baik yang
layak mendapatkan rahmatNya untuk memperoleh surgaNya. Keluwesan beliau,
ketulusan serta amal ibadahnya semoga mendapat balasan yang setimpal dari Allah
Swt. Serta diampuni segala dosa yang pernah beliau lakukan. Amin ya rabbal alamin.
Surat Kecil untuk Guruku
Jauh sebelum aku mengenalmu
Aku hanyalah serpihan batu nan bisu
Penuh, padat namun tak berseru
Namun hadirmu memberi suasana baru
Sungguh,kau laksana ombak lautan yang bergulung-gulung
Yang menghantarkanku pada luasnya samudera ilmu
Hingga aku tenggelam, terbawa oleh derasnya ombak yang
menimpaku
Guruku,,,
Jumpaku denganmu hanya sesaat
Namun ilmu yang kau berikan kan selalu melekat
Sampai bumi ini dilipat,
Bahkan sampai hari peradilan setelah kiamat
Laksana intan
Kau pancarkan
ilmu dan keagungan
Meski dirimu jauh
di dasar lautan
Namun namamu
takan pernah terlupakan
Kini, kau
tinggalkan pesan untuk kami
“Semua makhluk
pasti akan mati”
Ilahi,,,
Ampunilah
guruku ini
Amin.
[1]
Penulis adalah santri pondok pesantren Gedongan, mahasiswa bimbingan ibu Hj.
Lia Aliyah yang telah berhasil lulus dari jurusan Tafsir Hadis IAIN Syekh
Nurjati Cirebon tahun 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar