Blem.com

Sabtu, Februari 24, 2018

PW Ansor Jateng Titip Tiga Pesan untuk Ansor Pagerbarang


GP Ansor adalah wadah dari NU untuk menyiapkan kader masa depan. Oleh karena itu berjalannya organisasi NU di masa yang akan datang bergantung pada kesiapan dan kematangan pemuda Ansor. Maka perlu dilakukan regenerasi dan kaderisasi dalam rangka menyiapkan kader penerus menjalankan roda organisasi.
Untuk menyiapkan hal tersebut, GP Ansor kecamatan Pagerbarang memperkuat kelembagaan dengan melakukan pelantikan pengurus hariannya. Pelantikan tersebut dipimpin langsung oleh Pimpinan Wilayah GP Ansor Jawa Tengah.
Heru Sholeh selaku perwakilan dari pimpinan wilayah GP Ansor Jawa Tengah menitipkan tiga pesan setelah melantik Pimpinan Anak Cabang (PAC) GP Ansor kecamatan Pagerbarang. Yaitu: Ngaji, Ngader dan Ngaryo. Pesan ini disampaikan  bahwa dalam rangka melanjutkan cita-cita muassis NU, GP Ansor perlu melakukan tiga hal tersebut. Pesan yang disampaikan dengan semangat yang berkobar ini diharapkan menjadi inspirasi bagi pemuda Ansor dalam menjalankan roda organisasi.
 Ketiga pesan tersebut memiliki arti demikian:
1.     Ngaji: yaitu belajar. Baik ilmu agama ataupun ilmu lainnya. Baik social, ekonomi, politik serta hal yang dibutuhkan di masa sekarang. Atau yang sering disebut dengan ilmu khal. Karena ilmulah yang akan membentengi akidah sehingga dapat selamat di dunia dan ahirat.
2.     Ngader: yaitu proses regenerasi. Hal ini dilakukan dalam rangka melanjutkan estafet organiasasi. Karena tanpa kaderisasi berarti tinggal menunggu kehancuran. Ngader atau kaderisasi biasa dilakukan dengan rekrutmen anggota baru dan mengajarkan tentang organisasi yang bersaskan ahlussunnah wal jamaah
3.     Ngaryo: yaitu berusaha atau bekerja. Sebab sebuah organisasi akan berlangsung apabila ekonomi para pengurusnya dalam status aman. Meskipun ekonomi bukanlah satu-satunya jalan kesuksesan. Akan tetapi bisa dipastikan tanpa pendanaan organisasi juga tidak akan jalan.
Demikianlah pesan yang disampaikan oleh sahabat Heru Sholeh selaku pimpinan wilayah GP Ansor Jawa Tengah.
Baca juga PAC GP Ansor Pagerbarang Resmi Dilantik
Disamping menitipkan tiga pesan tadi dia juga berpesan agar selalu ingat pada JAS HIJAU atau kepanjangan dari “jangan sekali-kali hilangkan jasa ulama”. Karena berdirinya negara ini atas jerih payah dan perjuangan para ulama. Maka yang perlu dilakukan sekarang juga menjaga para ulama dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan disinyalir gila.
Tidak hanya itu, di ahir sambutannya, Heru Sholeh juga menyampaikan agar Ansor menjadi garda depan dalam membentengi paham ahlussunnah waljamaah. Hal ini dikarenakan adanya gerakan Islam trans nasional yang dengan terang-terangan mengkritik bahkan mengkafirkan orang yang mengamalkan tradisi para ulama. Bahkan hal itu sudah terjadi di berbagai daerah dan kesempatan. Maka peran GP Ansor sangat diperlukan, terutama bagi Banser. Demikian pungkasnya. (Blem)

Bacaan lain:PAC GP Ansor Pagerbarang Resmi Dilantik

Jumat, Februari 23, 2018

PAC GP Ansor Pagerbarang Resmi Dilantik


Pagerbarang, Blem.com
GP Ansor sebagai organisasi kepemudaan NU terbesar di kecamatan Pagerbarang kembali memperkuat institusinya dengan melantik 15 pengurus harian pimpinan anak cabang (PAC) periode 2018-2020. Kegiatan ini dilaksanakan bersamaan dengan pengajian rutin PAC Muslimat NU kecamatan Pagerbarang.
Acara yang digelar di Desa Pagerbarang dukuh ini dihadiri oleh pengurus ranting Ansor serta pengurus NU dan banom-banomnya.
Pada kesempatan tersebut Akmad Sayuti selaku pembina PAC Ansor menyampaikan bahwa Ansor adalah anaknya NU dan Muslimat. Maka sudah sangat wajar apabila dalam kegiatanya dibantu dan dibarengi dengan acara NU dan Muslimat. Hal ini menjadi sangat lumrah. Sebab dalam waktu yang berbeda jika ada hal-hal yang membutuhkan tenaga maka GP Ansor siap membantu kelancaran dan kegiatan orang tuanya.
Hal ini sebagaimana disampaikan. "Ansor ini anak laki-lakinya NU, dan ibunya Muslimat, maka sangat wajar kalau ada acarapun digabung dengan acara Muslimat.
          Pada kesempatan yang sama, Didi Permana selaku PC GP Ansor kabupaten Tegal menyampaikan apresiasi yang sangat tinggi karena pelantikan GP ansor dilaksanakan dengan sangat meriah.
"Saya mengapresiasi kegiatan pelantikan ini karena sangat ramai dan meriah"
GP Ansor harus bisa menjaga keutuhan NKRI terutama di tahun politik. Sebab tahun ploitik sangat rawan dengan gesekan-gesekan di masyarakat. Pada kesempatan yang sama juga dirinya menyampaikan agar Ansor memiliki kader-kader militant sehingga bisa menempatkan kader-kadernya pada jabatan-jabatan strategis demi mengawal paham ahlussunnah waljamaah. Pungkasnya.
Pelantikan ini diharapkan bisa meneguhkan semangat dalam menjaga Islam dan muruah para ulama. Sebab ahir-ahir ini banyak sekali penyerangan terhadap para ulama yang pelakunya disinyalir orang gila ataupun pura-pura gila. Maka disinilah peran pemuda Ansor sangat diperlukan. Begitulah pungkasnya.

Rabu, Februari 21, 2018

PONDOK PESANTREN TEBUIRENG (Sejarah dan Perkembangannya)



Tebuireng, nama sebuah dusun kecil di tepi jalan raya Jombang-Kediri, delapan kilometer arah selatan kota Jombang. Legenda masyarakat setempat menyebutkan, bahwa nama Tebuireng berasal dari kebo ireng. Bermula dari suatu peristiwa bahwa di antara penduduk dusun ada yang memiliki kerbau berkulit kuning (bule). Suatu hari kerbau itu menghilang, setelah dicari kesana kemari barulah senja hari ditemukan terperosok di rawa-rawa. Seluruh kulitnya dipenuli binatang lintah sehingga terlihat hitam. Hal itu sangat mengejutkan bagi pemilik kerbau sehingga dia berteriak, “kebo ireng”. Maka kebo ireng menjadi sebutan bagi dusun kecil itu.
Riwayat lain menyebutkan, kebo ireng berasal dari nama seorang punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di daerah Jombang. Konon, keluarga pesantren Tebuireng dengan punggawa tersebut memiliki pertalian darah. Dalam perkembangan selanjutnya, nama kebo ireng berubah menjadi Tebuireng.
Berdirinya Pesantren
Pondok Pesantren Tebuireng sendiri didirikan oleh KHM. Hasyim Asy’ari tahun 1899 M, dan mendapat pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda pada 16 Rabiul Awwal 1324 H / 6 Februari 1899 M. Kyai Hasyim lahir di Pesantren Gedang, arah utara kota Jombang pada 26 Dzul Qo’dah 1287 H / 14 Februari 1871 M dari hasil perkawinan antara K. Asy’ari dengan Halimah. Beliau adalah seorang ulama’ besar yang telah lama belajar dan mendalami ilmu agama baik di dalam maupun luar negeri. Jiwanya merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakat tempat tinggalnya yang sedang dilanda berbagai krisis kehidupan, Kyai Hasyim mendirikan Pondok Pesantren yang berperan sebagai pusat pendidikan dan penyiaran agama Islam.
Dalam Mewujudkan cita-citanya, Kyai Hasyim memiliki suatu pedoman, “Menyiarkan agama Islam artinya memperbaiki manusia. Jika manusia itu sudah baik, maka akan banyak menghasilkan berbagai kebaikan yang lain. Berjihad artinya menghadapi kesukaran dan memberikan pengorbanan, contoh-contoh ini telah diberikan oleh nabi kita dalam perjuangannya”.
Selanjutnya, Kyai Hasyim membeli tanah seluas 200 m2 di Tebuireng milik seorang dalang terkenal. Di atas tanah tersebut didirikan pondok, yang hanya berupa bedeng berbentuk bujur sangkar, di sekat menjadi dua ruangan. Bagian belakang sebagai tempat tinggal Kyai dan keluarganya, sedangkan yang lain untuk tempat sholat dan belajar para santri yang berjumlah 28 orang. Fasilitas yang sangat sederhana tidak mengurangi semangat Kyai Hasyim dalam membimbintg para santri untuk menuntut ilmu dalam bentuk pengajian kitab-kitab agama.
Berdirinya pesantren Tebuireng kurang mendapat perhatian dari masyarakat sekitarnya, dan bahkan menumbuhkan rasa kebencian, sehingga muncul gangguan dari masyarakat yang harus dihadapi oleh Kyai Hasyim. Meskipun rintangan yang menghadang amat berat, namun Kyai Hasyim dan para santrinya mampu mengatasinya.
Hidup dalam pemerintah kolonial membuat Kyai Hasyim berprinsip ‘berdikari’, artinya tidak menggantungkan diri atau minta bantuan kepada orang lain yang tidak seirama dan seagama. Dengan semangat berkorban da penuh pengabdian, beliau terus membina Pondok Pesantren Tebuireng hingga berkembang menjadi lembaga pendidikan Islam yang besar. Prinsip yang dikembangkan adalah mengutamakan kepentingan pesantren daripada kepentingan diri sendiri. Karena itulah, dari sisi ekonomi beliau tetap memiliki usaha di luar pesantren, yang di waktu senggang di sela-sela mengajar Kyai Hasyim menyempatkan diri mengerjakan sawah pertanian dan juga melakukan perdagangan keluar daerah.
Pengembangan Pesantren
Pendidikan semula berlangsung secara sorogan (santri membaca, guru menyimak) dan bandongan (guru membaca, santri menyimak). Sejak tahun 1916 mulai dirintis pendidikan dalam bentuk klasikal, meskipun masih sangat sederhana. Baru pada tahun 1926 pendidikan banyak mengalami penyempurnaan baik kurikulum maupun metodenya, termasuk tambahan pelajaran umum yang meliputi bahasa Indonesia, Ilmu Bumi dan Berhitung.
Untuk meningkatkan pendidikan di Tebuireng, Kyai Hasyim menunjuk Abdul Wahid Hasyim (putra) dan Moh. Ilyas (santri), -sebelumnya telah diutus untuk belajar di Makkah- untuk mengembangkan pendidikan di Tebuireng. Kesempatan baik ini, dimanfaatkan oleh mereka berdua untuk mengadakan pembaharuan dalam tiga bidang yakni:
Memperluas pengetahuan para santri
Memasukkan pengetahuan modern ke dalam kurikulum madrasah
Meningkatkan sistem pengajaran bahasa Arab secara aktif
Sebagai langkah pembaharuan, tahun 1934 Abdul Wahid Hasyim merintis Madrasah Nidhomiyah yang banyak menyajikan pelajaran umum dan ditunjang dengan memasukkan surat kabar, majalah, buku-buku pengetahuan umum yang berbahasa Indonesia, Arab dan Inggris. Perkembangan sistem pendidikan ini tidak meninggalkan pola pengajaran khas pondok pesantren yaitu pengajian kitab klasik (kuning).
Usaha pembaharuan ini memang tidak menampak hasil nyata dalam waktu dekat. Namun saat penjajahan Jepang diberlakukan larangan surat menyurat selain dengan huruf latin, hal itu tidak menimbulkan masalah bagi santri Tebuireng. Dengan modal mempelajari pengetahuan umum di Tebuireng, banyak alumni Tebuireng dengan cepat mampu menguasai keadaan untuk menolong umat Islam yang terjajah. Misalnya di bidang politik menjadi anggota ‘sangi kay’ (DPR tingkat Karesidenan), menguasai sentra-sentra ekonomi, bahkan pasca kemerdekaan banyak yang menduduki jabatan kepala di suata jawatan.
Model pendidikan ini olah Abdul Wahid Hasyim disebut ‘da’wah dari dasar’. Dengan demikian gerakan bagi pembaharuan pendidikan Islam, pemahaman kehidupan agama dan gerakan sosial, terpadu dalam misi Pondok Pesantren Tebuireng. Akibat dari aktivitas Tebuireng ini tidak hanya dirasakan oleh santri-santrinya, tetapi juga oleh masyarakat muslim di luar Pondok Pesantren. Tujuan pendidikan yang dirintis oleh Abdul Wahid Hasyim ini adalah untuk mensejajarkan derajat dan martabat santri dengan pelajar-pelajar dari Barat.
Pada 25 Juli 1947 Kyai Hasyim dipanggil menghadap Allah SWT. Jabatan pengasuh digantikan oleh putranya sendiri, KH. Abdul Wahid Hasyim yang memgang jabatan hingga tahun 1950. Ketika beliau diangkat menjadi menteri agama RI dalam kabinet RIS, kedudukan sebagai pengasuh digantikan KH. Baidlowi, menantu Kyai Hasyim. Berturut-turut wewenang pengasuh diemban oleh KH. Abdul Karim Hasyim dan kemudian oleh KH. Abdul Kholiq Hasyim yang saat itu telah non-aktif sebagai seorang senior Divisi Brawijaya.
Saat kepemimpinan KH. Abdul Kholiq ini Madrasah Nidhomiyah berganti nama menjadi Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Perubahan nama ini sebenarnya diakibatkan oleh perubahan dalam approuch terhadap pemberian ajaran agama yang melebar, dengan memiliki jenjang pendidikan dasar, lanjutan pertama dan lanjutan atas. Karena masih merupakan sebuah percobaan, pada masa 10 tahun pertama konsep salafiyah ini masih mengalami perubahan bentuk dan nama berkali-kali, seperti wustho, mu’alimin dan lain sebagainya.
Lambat laun sistem salafiyah ini menetap dalam bentuk yang baku, yaitu 6 tahun pendidikan dasar (ibtida’iyah), dan 3 tahun lanjutan atas (aliyah), dengan komposisi 65% mata pelajaran agama dan 35% mata pelajaran umum. Pada tahun 1965 KH. Abdul Kholiq wafat, sedangkan kakak beliau KH. A. Wahid Hasyim telah mendahuluinya pada tahun 1953 dan kemudian menyusul KH. Abdul Karim Hasyim tahun 1973 di tanah suci Mekkah.
Kedudukan selanjutnya dipegang KHM. Yusuf Hasyim yang telah menjadi pengasuh dari tahun 1965 hingga tahun 2006 dan beberapa bulan sebelum beliau meninggal posisi pengasuh dipegang KH. Ir. Solahuddin Wahid putra dari KH. A. Wahid Hasyim hingga kini.
Di samping itu salah seorang menantu Kyai Hasyim yaitu Kyai Idris Kamali, secara tekun memimpin pengajian agama dalam bentuk pengajian sorogan sejak tahun 1950 an hingga tahun 1972, ketika beliau berangkat ke tanah suci untuk menetap di sana hingga beberapa waktu dan akhirnya wafat pada tahun 1986 di Cirebon.
Langkah Antisipatif
Pada masa berikutnya dikembangkan beberapa jalur pendidikan formal.
Pertama, jalur pendidikan formal yang berbentuk Salafiyah disempurnakan.
Kedua, jalur sekolah persiapan yang dirintis tahun 1970, dimana santri putus sekolah (drop out) dari sekolah-sekolah non agama (seperti SMU, SMP) memperoleh ajaran agama belaka. Sekolah ini lama belajarnya 2 tahun, untuk kemudian santrinya memasuki jalur pendidikan agama di atas. Dengan demikian jalur kedua ini sebagai by-pass untuk memasuki jalur pertama pada tingkat lanjutan.
Ketiga, jalur SMP dan SMU A. Wahid Hasyim yang dibuka tahun 1975. Tujuannya adalah untuk menampung mereka yang ingin bersekolah umum, dengan tetap memperoleh pelajaran agama dalam bentuk pengajian atau kursus.
Bagi santri Tebuireng yang mau berminat melanjutkan belajar ke perguruan tinggi, telah dirintis Universitas Hasyim Asy’ari pada tahun 1967 dengan Fakultas Syari’ah, Da’wah dan Tarbiyah yang sekarang berubah menjadi Institut KeIslaman Hasyim Asy’ari (IKAHA) dengan tiga Fakultas Syari’ah, Dakwah dan Tarbiyah.
Di tahun 2006 dibuka jenjang pendidikan Ma’had Aly (setingkat perguruan tinggi) yang disediakan khusus untuk santri-santri dengan kualifikasi dan kemampuan tertentu. Proses seleksi penerimaannya pun ketat. Jenjang pendidikan ini didirikan semasa kepemimpinan KH. Ir. Salahuddin Wahid setelah melihat semakin menurunnya kualitas santri dalam memahami dan mendalami kitab klasik yang menjadi rujukan pesantren selama ini.
Disamping disediakan lembaga pendidikan formal, juga disediakan sarana penunjang kegiatan untuk kelancaran belajar para santri. Misalnya Koperasi Pondok Pesantren (1973), Perpustakaan A. Wahid Hasyim (1974), Pusat Data Pesantren (PDP) 1977, Usaha Kesehatan Pondok Pesantren, Koperasi Jasa Boga (1993), Warung Telekomunikasi (1994), dan Warung Internet (1998).

Kitab-kitab karya hadratus syaikh kh. Muhammad hasyim asy’ari pendiri pondok pesantren tebuireng jombang dan jam’iyah nahdlatul ulama’
Adabul ‘Alim Wal Muta’allim adalah sebuah kitab yang mengupas tentang pentingnya menuntut dan menghormati ilmu serta guru. Dalam kitab ini KH. M. Hasyim Asy’ari menjelaskan kepada kita tentang cara bagaimana agar ilmu itu mudah dan cepat dipahami dengan baik. Kitab yang terdiri dari beberapa bab ini, memberikan pula kepada kita pencerahan tentang mencari dan menjadikan ilmu benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat. Salah satu contoh yang diberikan oleh KH. M. Hasyim Asy’ari kepada kita adalah bahwa ilmu akan lebih mudah diserap dan diterima apabila kita dalam keadaan suci atau berwudhu terlebih dahulu sebelum mencari ilmu. Banyak hal yang bisa kita petik dalam rangka mencari ilmu ketika kita membaca kitab ini.
Risalah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah merupakan pedoman bagi warga NU dalam mempelajari tentang apa yang disebut ahlus sunnah wal jama’ah atau sering disingkat dengan ASWAJA. Dalam kitab ini, Hadratus Syaikh juga mengulas tentang beberapa persoalan yang berkembangan dimasyarakat semisal, apa yang disebut dengan bid’ah? Menerangkan pula tentang tanda-tanda kiamat yang terjadi pada masa sekarang ini. Banyak golongan yang mengaku bahwa mereka juga merupakan golongan ahlus sunnah wal jamaa’h. Akan tetapi dalam ibadah, amal perbuatannya banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah SAW. Dalam kitab ini diuraikan dengan jelas tentang bagaimana sebenarnya ahlus sunnah wal jama’ah tersebut.
At-Tibyan Fin Nahyi An-Muqothoatil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan merupakan kumpulan beberapa pikiran khususnya yang berhubungan dengan Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, ditekankan pentingnya menjalin silaturrohim dengan sesama serta bahayanya memutus tali sillaturohim. Didalam kitab ini pula, termuat Qunun Asas atau udang-undang dasar berdirinya Nadhatul Ulama (NU) serta 40 hadits nabi yang berhubungan dengan pendirian Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, dikisahkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari pernah mendatangi seorang kyai yang ahli ibadah karena kyai tersebut tidak mau menyambung silaturrohim dengan masyarakat sekitar sehingga sempat terjadi perdebatan antara keduanya.
An-Nurul Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin merupakan karya KH. Muhammad Hasyim Asy’ari yang menjelaskan tentang rasa cinta kepada nabi Muhammad SAW. Dalam kitab tersebut, dijelaskan pula tentang sifat-sifat terpuji nabi Muhammad SAW yang bisa menjadi suri tauladan bagi kita semua. Dijelaskan pula tentang kewajiban kita taat, menghormati kepada perintah Allah SWT yang telah disampaikan melalui nabi Muhammad SAW baik melalui al-qur an atau hadits. Silsilah keluarga nabi Muhammad SAW, tidak luput dari pembahasan. Singkat kata, dalam kitab ini, kita mendapatkan sejarah yang relatif lengkap dan menarik untuk dikaji serta dijadikan tauladan menuju insan kamil.
Ziyadatut Ta’liqot merupakan kitab yang berisi tentang polemik beliau dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan tentang beberapa hal yang berkembang pada masa itu. Perdebatan terjadi pada beberapa masalah yang tidak sesuai antara pandangan Nahdlatul Ulama dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan. Banyak sekali permasalahan yang diperdebatkan sehingga kitab ini begitu tebal dan permasalahan yang diperdebatkan masih terjadi dimasyarakat.
At-Tanbihatul Wajibat Li Man Yasna’ Al-Maulid Bil Munkaroti adalah sebuah kitab tentang pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tantang peringatan maulid nabi Muhammad SAW yang disertai dengan perbuatan maksiat atau munkar. Dalam kitab tersebut, diceritakan bahwa pada jaman dulu, disekitar Madiun, setelah pembacaan shalawat nabi, para pemuda segera menuju arena untuk mengadu keahlian dalam hal bela diri silat atau pencak. Acara itu, masih dalam rangkaian peringatan maulid serta dihadiri oleh gadis-gadis yang saling berdesakan dengan para pemuda. Mereka saling berteriak kegirangan hingga lupa bahwa saat itu, mereka sedang memperingati maulid nabi Muhammad SAW. Hal tersebut menimbulkan keprihatinan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sehingga beliau mengarang kitab ini.
Dhou’ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah berisi pikiran ataupun pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tentang lembaga perkawinan. Dalam kitab tersebut, beliau menangkap betapa pada saat itu, banyak pemuda yang ingin menikah, akan tetapi tidak mengtahui syarat dan rukunnya nikah. Tidak tahu pula tentang tata cara / sopan santun dalam pernikahan sehingga dalam mereka menjadi bingung karenanya. Dalam kitab tersebut, terkandung beberapa nasehat yang penting agar lembaga perkawinan betul-betul bisa menjadi sebuah keluarga yang Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah sesuai tuntunan agama.

Kitab-kitab karya kh.ishom hadziq (gus ishom) cucu hadratus syaikh kh. Muhammad hasyim asy’ari
Miftahul Falah Fi Ahaditsin Nikah adalah berisi hadits-hadist tentang perkawinan yang melengkapi kitab Dhou’ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah. Ditulis oleh almarhum gus Ishom Hadzik, kitab tersebut banyak menampilkan hadits-hadits yang sangat baik dalam rangka membentuk dan membina sebuah mahligai perkawinan yang berlandaskan tuntunan syariat Islam.
Audhohul Bayan Fi Ma Yata’allaq Bi Wadhoifir Ramadhan adalah sebuah kumpulan kitab karya gus Ishom Hadzik yang berisi hadits-hadits tentang keutamaan bulan ramadhan yang mulia. Terdiri dari beberapa bab, hadits-hadits pilihan dalam kitab ini, memberikan kita tentang betapa mulianya bulan ramadhan. Dalam kitab tersebut, dapat kita ketahui tentang amalan-amalan yang sangat baik dilakukan ketika bulan ramadhan.
Irsyadul Mukminin merupakan karya terakhir dari almarhum gus Ishom Hadzik. Ketika yang lebih mengarah kepada akhlak serta tasawuf ini, memberikan kita pengetahuan tentang ajaran Islam dari sisi moral dan tasawuf. Sungguh, sebagaimana kitab lainnya, kitab ini jika kita kaji dengan mendalam, akan menemukan pencerahan batiniah yang sangat bermanfaat bagi kehidupan kita yang lebih baik dimasa mendatang.

Selasa, Februari 20, 2018

Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo Kediri


Lirboyo, awalnya adalah nama sebuah desa terpencil yang terletak di Kecamatan Mojoroto Kota Kediri Jawa Timur.  dahulu desa ini merupakan sarang penyamun dan perampok, hingga pada suatu ketika atas prakarsa Kyai Sholeh, seorang yang Alim dari desa Banjarmelati dan dirintis oleh salah satu menantunya yang bernama KH. Abdul  Karim, seorang yang Alim berasal dari Magelang Jawa Tengah.
Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya dengan awal mula KH. Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun 1910 M. setelah kelahiran putri pertama beliau yang bernama Hannah dari perkawinannya dengan Nyai Khodijah (Dlomroh), putri Kyai Sholeh Banjarmelati.
Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatar belakangi, dorongan dari mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang da’i, karena Kyai Sholeh berharap dengan menetapnya KH. Abdul Karim di Lirboyo, maka  syiar Islam lebih luas. Disamping itu, juga atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh agar berkenan menempatkan salah satu menantunya  di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram.
Harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama kali kyai Abdul Karim menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga semalaman penduduk Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang menyelamatkan diri.
Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah waqaf tersebut, KH. Abdul Karim mendirikan surau mungil nan sederhana untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta.
SANTRI PERDANA DAN PONDOK LAMA
Adalah seorang bocah lugu yang bernama Umar asal Madiun, dialah santri pertama yang menimba ilmu dari KH. Abdul Karim di Pondok Pesantren Lirboyo. Kedatangannya disambut baik oleh KH. Abdul Karim, karena kedatangan musafir itu untuk THOLABUL ILMI , menimba pengetahuan agama. Selama NYANTRI, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada Kyai.

Demikian jalan yang ditempuh Umar selama di Lirboyo. Selang beberapa waktu ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal KH. Abdul Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad Dan Sahil. Tidak lama kemudian datanglah dua orang santri bernam Syamsuddin dan Maulana, keduanya berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud untuk mendalami ilmu agama dari KH. Abdul Karim. Akan tetapi baru dua hari saja mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes di sambar pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman,  di Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan kotor. Akhirnya mereka berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung halamannya.
Tahun demi tahun, keberadaan Pondok Pesantren Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin banyaklah santri yang berdatangan mengikuti santri-santri sebelumnya untuk berTHOLABUL ILMI , maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuklah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling disekitar pondok.

BERDIRINYA MASJID PONDOK PESANTREN LIRBOYO
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren, karena keberadaannya yangbegitu penting bagi perkembangan dakwah bagi ummat Islam dan sebagai sarana untuk mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan, sebagaimana praktek sholat berjama’ah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh jika dimana  ada pesantren disitu pula ada masjid, seperti yang dapat kita lihat di Pondok Pesantren Lirboyo.
Asal mula berdirinya masjid di Pondok Lirboyo, karena Pondok Pesantren yang sudah berwujud nyata itu kian hari banyak santri yang berdatangan, sehingga dirasakan KH. Abdul Karim, belum dianggap sempurna sebuah pesantren kalau belum ada masjidnya. Maka dua setengah tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, tepatnya pada tahun 1913 M. timbullah gagasan dari KH. Abdul Karim untuk merintis berdirinya masjid dilingkungan Pondok.
Semula masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin beliung dengan kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang tidak lain adalah kakak ipar KH. Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Jalan keluar yang ditempuh KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul Karim guna meminta pertimbangan dan bermusyawarah. Tidak lama kemudian seraya KH. Abdul Karim mengutus H. Ya’qub yang tidak lain adik iparnya sendiri untuk sowan berkonsultasi dengan KH. Ma’ruf Kedunglo mengenai langkah selanjutnya yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan masjid tersebut.
Dari pertemuan antara H. Ya’qub dengan KH. Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana pembangunan masjid dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan. Usai pembangunan itu diselesaikan, peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M. Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim yang kedua , Salamah dengan KH. Manshur Paculgowang.
Dalam tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi, dinding serta lantainya yang terbuat dari batu merah, gaya bangunannya yang bergaya klasik, yang merupakan gaya arsitektur Jawa kuno dengan gaya arsitektur negara Timur Tengah.
Untuk mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, maka atas prakarsa KH. Ma’ruf pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi sembilan, mirip kejayaan daulat Fatimiyyah.
Selang beberapa tahun setelah bangunan masjid itu berdiri, santri kian bertambah banyak. Maka sebagai akibatnya masjid yang semula dirasa longgar semakin terasa sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan menambah serambi muka, yang sebagian besar dananya dipikul oleh H. Bisyri, dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan ini dilakukan pada tahun sekitar 1984 M.
Tidak sampai disitu, sekitar tahun 1994 M. ditambahkan bangunan serambi depan masjid. Dengan pembangunan ini diharapkan cukupnya tempat untuk berjama’ah para santri, akan tetapi kenyataan mengatakan lain, jama’ah para santri tetap saja membludak sehingga sebagian harus berjamaah tanpa menggunakan atap.  Bahkan sampai kini bila berjama’ah sholat Jum’at banyak santri dan penduduk yang harus beralaskan aspal jalan umum.
Untuk menjaga dan melestarikan amal jariyyah pendahulu serta menghargai dan melestarikan nilai ritual dan histories, sampai sekarang masjid itu tidak mengalami perobahan, hanya saja hampir tiap menjelang akhir tahun dinding-dindingnya dikapur dan sedikit ditambal sulam.

PONDOK PESANTREN LIRBOYO KOTA KEDIRI
Sistem pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Lirboyo, yang dikenal selama ini adalah sistem Klasikal dan sistem Klasik (bandongan, sorogan dan wethon). Sistem klasik diajarkan di Pondok Pesantren Lirboyo sebelum berdirinya  Madrasah Hidayatul  Mubtadi-ien tepatnya sejak berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, yaitu 1910 Masehi. Sementara sistem klasikal dimulai sejak berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien tahun 1925 Masehi hingga sekarang.
Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien berdiri bermula dari gagasan JAMHARI seorang santri senior asal Kaliwungu Kendal Jawa Tengah. Gagasan tersebut dilaksanakan setelah mendapat restu dari Romo KH. Abdul Karimkemuadian diikuti oleh Mas Syamsi asal Gurah Kediri dan Mas Syamsi orang yang pertama memasang papan tulis disetiap kelas sebagai sarana untuk menulis dan menerangkan pelajaran. Dan saat itu secara resmi, Madrasah  yang baru lahir itu diberi nama “HIDAYATUL MUBTADI-IEN”

Berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien ini sangat direstuhi oleh Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Hadrotus Syaikh Romo KH. Abdul Karim, sehingga beliau dawuh kepada semua santri “ SANTRI-SANTRI KANG DURUNG BISO MOCO LAN NULIS KUDU SEKOLAH “ (para snatri yang belum bisa membaca dan menulis harus mengikuti sekolah).

TUJUAN BERDIRINYA MADRASAH HIDAYATUL MUBTADI-IEN
1.      Dengan adanya sistem yang sederhana (klasikal) dapat meningkatkan mutu pendidikan.
2.      Menyesuaikan pada tingkat kebutuhan dan kemampuan para santri.
3.      Lebih intensif dalam mendidik dan membentuk kepribadian santri.

KENDALA-KENDALA DALAM TAHUN-TAHUN PERTAMA
Dalam tahun pertama berdiri Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien ternyata mengalamai banyak kendala yang menyebabkan keadaan makin lama makin memburuk Karena pada waktu itu kurang berminatnya santri  untuk memasuki pendidikan Madarasah karena madrasah merupakan sistem pendidikan yang masih asing, akhirnya setelah berjalan kurang lebih enam tahun Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien mengalami kevakuman ditengah jalan.
Meskipun demikian, jangka waktu selama 6 tahun terhitung sejak tahun 1925 sampai tahun 1931 itu menghasilkan beberapa pengalaman yang cukup berharga yaitu :
1.      Madrasah sudah terbagi menjadi bebrapa lokal
2.      Beberapa guru dan pembimbing diantara Ustadz Sanusi (dari bangil) Ustadz Syairozi ( dari Perak) Kyai Bahri (dari kediri) dan lain-lain
Setalah mandek selama dua tahun tepatnya  tahun 1931 M. sampai tahun 1933M.        KH. Jauhari menantu Hadrotus Syaikh Romo KH. Abdul Karim bersama kepala Pondok pesantren Lirboyo yang kala itu dijabat Oleh K. Kholil asal Melikan Kediri serta KH. Faqih Asy’ari asal Sumber Pare Kediri menghidupkan kembali Madrasah Hidayatul Mubtadi-ienDan madrasah dibuka kembali pada malam Rabu bulan Muharrom 1353 H. yang bertepatan dengan tahun 1933 M. Dan saat itu setiap siswa ditarik sumbangan Sen setiap bulan.
Perlu diketahui, bahwa Madrasah pada masa itu masuk malam hari yaitu ba’dal Maghrib dan dibagi dalam 8 (delapan) kelas, 3 kelas untuk Sifir (persiapan), yang terdiri dari Sifir Awal, Sifir Tsany dan Sifir Tsalis. Sedangkan 5 kelas dipergunakan untuk tingkat Ibtidaiyyah yang terdiri dari kelas I, kelasII, kelas III, kelas IV, dan kelas V kelas.

Sedangkan kurikulum yang diajarkan pada tingkat sifir adalah mata pelajaran dasar semacam pelajaran menulis huruf Arab ( Khoth) pelajaran membaca Al-qur’an, tajwid dan pelajaran Fiqh ibadah tahap permulaan. Sedangkan untuk kelas yang lebih tinggi, pelajarannya pun ditingkatkan sesuai dengan tingkatan kelasnya, dan untuk tingkatan yang paling tinggi pelajaran ketika itu adalah Al Jauharul Maknun.
Pada dasarnya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien semenjak berdirinya memberikan porsi lebih banyak untuk mata pelajaran Ilmu Nahwu dan shorof , sehingga menjadi ciri khas  tersendiri bagi Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.

KETIKA MASA PENJAJAHAN JEPANG
Pondok Pesantren Lirboyo, sejak zaman kolonial Belanda merupakan salah satu diantara sekian banyak pesantren yang ikut berjuang mengusir penjajah dari bumi nusantara tercinta. Hal ini dapat dibuktikan pada waktu tentara Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah dengan dalih demi kemakmuran Asia Timur Raya. Ketika mereka mengundang para Ulama le Jakarta, maka KH.
Abdul Karim selaku pengasuh Pondok Pesantren berkenan hadir bersama KH. Ma’ruf Kedunglo dan KH. Abu Bakar Bandar Kidul dengan dikawal oleh Agus Abdul Madjid Ma’ruf. Ketika Jepang mengadakan latihan di Cibasura Bogor, Residen Kediri, R. Abd. Rahim Pratalikrama memohon kesediaannya KH. Mahrus Ali untuk berangkat sebagai utusan daerah Kediri. Berhubung beliu berlangan untuk hadir, maka diutuslah beberapa santri, antara Thohir Wijaya Blitar, Agus Masrur Lasem, Mahfudz Yogyakarta dan Ridlwan Anwar Kediri.Usai menghadiri pertemuan di Bogor, segala hal dan ihwal yang mereka ketahui di sana, segera disampaikan pada seluruh santri Lirboyo. Semua itu adalah merupakan satu usaha mngambil manfaat dalam rangka kerjasama dengan pemerintah Jepang. Akan tetapi dibalik itu ada maksud lain, yaitu sebagai persiapan Indonesia merdeka. Para utusan yang telah mendapat ilmu tentang kemiliteran, segera mengadakan latihan baris berbaris di Pondok Pesantren Lirboyo. Waktu itu sekitar tahun 1943-1944 M., yang mana di Kediri sudah dibentuk barisan Hizbullah dengan kepemimpinan KH. Zainal Arifin di tingkat pusatnya.
Pada masa itu adalah merupakan masa-masa penuh harapan  rakyat Indonesia untuk terlepas dari cengkraman penjajah dari kepemerintahan negara yang dikenal dengan negeri Sakura itu. Rakyat sudah muak dengan segala tindakan penjajah. Mereka sangat rindu damai dalam merdeka. Betul juga, beberapa hari sesudah Hirosima dan Nagasaki yang merupakan dua kota besar di Jepang kejatuhan bom tentara sekutu, Jepang pun menyerah tanpa syarat. Akhirnya Indonesia yang sudah lama menunggu kesempatan amas dan hari-hari bersejarah itu segera memproklamirkan kemerdekaannya, tepat pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945, kebahagiaan bangsa Indonesia termasuk santri Lirboyo tidak dapat terlukiskan lagi.
Jabatan kepala Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien yang semula dijabat oleh HK. Faqih Asy’ari, kemudian pada tahun 1942 diserahterimakan kepada KH. Zamroji, sebagai kepala Madrasah yang baru. Dan ditahun itu pula Jepang dengan semboyannya “GOSPEL ANDA GLORI“ mulai menjajah bangsa Indonesia tercinta serta menguras seluruh kekayaan bangsa Indonesia, sehingga pada saat itu sulit untuk mencari sandang dan pangan. Sejak saat itu pula Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien yang semual masuk malam hari ba’da (setelah) Maghrib dirubah menjadi siang hari, karena untuk mendapatkan bahan bakar minyak sewbagai penerangan saat itu sangat sulit, hal ini berlangsung hingga tahun 1945. Dan ketika itu berkembangan Madrasah Hidayatul Mubtadi-ienmenurun secara drastis. Jumlah siswa yang sebelumya mencapai 350 siswa lebih, dimasa pendudukan Jepang turun menjadi 150 siswa. Dari jumlah itupun yang bisa menyelesaikan studinya hanya sedikit sekali, bahkan pernah terjadi hanya 5 siswa yang bisa menyelesaikan pendidikan terakhir.

SETELAH MERDEKA
Setelah Jepang bertekuk lutut kepada sekutu bersamaan dengan dikumandangkan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, barulah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ienmengalami kemajuan yang cukup mengembirakan dengan semakin banyak siswa yang berdatangan untuk menuntut ilmu agama di Pondok Pesantren Lirboyo.
Dua tahun setelah Indonesia Merdeka, tepatnya tahun 1947 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien mengalami pembaharuan dengan disusunnya tingkat jenjang pendidikan. Yang semula merupakan sifir dan Ibtidaiyyah menjadi Ibtidaiyyah dan tsanawiyah adapun kulikulumnya masih mengunakan kurikulum lama. Dan pada tahun 1947 ini pula didirikan lembaga baru yang berupa Madrasah Mualimin atas gagasan KH. Zamroji yang waktu itu menjadi pengajar/Mustahiq Tingkat Tsanawiyyah, sebagai penyempurnaan, sedangkan waktu sekolah adalah malam hari dengan kurikulum, untuk Fiqh adalah fathul Wahab, Uqudul Juman (Fan Balaghoh), Jami’ul Jawami’ ( Fan Ushul Fiqh).

MASA PEMBENAHAN KURIKULUM
Pada tahun ajaran 1977-1978 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ienmenyediakan tingkat Aliyah. Keputusan ini disepakati dalam sidang Panitia kecil Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, yang pada masa itu dipimpin  oleh Bapak Ilham Nadzir.
Dengan terbentuknya pendidikan tingkat aliyah ini, merupakan masa peralihan dari sistem pendidikan model lama menuju sistem modern yang diselaraskan dengan tradisi pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo. Dan pada tahun ini pula jenjang pendidikan disempurnakan untuk Ibtidaiyah 6 Tahun, Tsanawiyah 3 Tahun dan Aliyah 3 tahun.
Pada tahun ajaran 1983-1984 sidang Panitia kecil yang dipimpin KH. Anwar Manshur. Menetapkan penyempurnaan kurikulum dengan menambah kitab Al-Mahalli ( Fan Fiqh ) Jami’ush Shohir (Fan Hadits) dan Jam’ul Jawami’ (Fan Ushul Fiqh) kitab-kitab inilah yang menjadi kitab pelajaran Aliyah, dan kitab yang paling besar yang ada di Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.

PERKEMBANGAN TERAKHIR
Perkembangan terakhir kurikulum Madrasah Hidayatul Mubtadi-iensetelah tahun 1984 sampai tahun 1997 tidak banyak mengalami perubahan, sampai tahun terakhir 2003 yang dipimpin oleh KH. Habibulloh Zaini.
VISI :
Beriman, bertaqwa, berakhlaqul karimah dan disiplin
MISI :
Mencetak muslim intelektual yang beriman, bertaqwa dan berakhlaqul karimah
serta menciptakan kader ulama yang mampu mentransformasikan ilmu agama
dalam berbagai kondisi.
sumber   :
3.SEJARAH BERDIRINYA PONDOK PESANTREN LIRBOYO

Senin, Februari 19, 2018

Dalih dan Dalil Nikah Beda Agama


Tulisan ini merupakan satu tanggapan  dari  tulisan Mamang Khaerudin mengenai penghalalan nikah beda agama. Dalam tulisanya, ia mengatakan bahwa nikah beda agama merupakan satu hal kebolehan yang tidak bisa disalahkan. Ia beranggapan bahwa nikah merupakan satu fitrah manusia sebagai makhluk yang memiliki cinta dan kasih sayang. Oleh karenanya, tak seorangpun yang dapat membendung rasa cinta tersebut untuk saling memadu kasih. Dengan dalih ini pula termasuk  agama yang selama ini mensakralkan pernikahan tersebut seakan dipatahkan dengan argumen mentah yang sangat prematur. Padahal tidak  demikian adanya.
Berkaitan dengan dalil-dalil yang ada, akan saya buktikan sebagaimana ia menggunakan referensi sebagai tendensi dari perkataanya itu.
Pertama:  sebagaimana ia menggunakan argumen hadis dalam kitab tafsir at-Tobari, maka sebaiknya kita buktikan dalam kitabnya secara langsung. Berkaitan dengan penafsiran at-Tobari terhadap surat albaqooroh : 221 beliau menyebutkan bahwa ayat ini merupakan pengharaman dari Allah atas orang mukmin untuk menikah dengan orang-orang musyrik baik musyrik kitabiy ataupun musyrik wasniyyah. Akan tetapi Allah menghususkan kepada perempuan-perempuan ahlul kitab sebagaimana terdapat dalam surat al-maidah: 5 (at-Thobari: 581 juz 1)
{ وَلاتَنْكِحُواالْمُشْرِكَاتِحَتَّىيُؤْمِنَّوَلأمَةٌمُؤْمِنَةٌخَيْرٌمِنْمُشْرِكَةٍوَلَوْأَعْجَبَتْكُمْوَلاتُنْكِحُواالْمُشْرِكِينَحَتَّىيُؤْمِنُواوَلَعَبْدٌمُؤْمِنٌخَيْرٌمِنْمُشْرِكٍوَلَوْأَعْجَبَكُمْأُولَئِكَيَدْعُونَإِلَىالنَّارِوَاللَّهُيَدْعُوإِلَىالْجَنَّةِوَالْمَغْفِرَةِبِإِذْنِهِوَيُبَيِّنُآيَاتِهِلِلنَّاسِلَعَلَّهُمْيَتَذَكَّرُونَ (221) }
هذاتحريممناللهعزّوجلعلىالمؤمنينأنيتزوّجواالمشركاتمنعبدةالأوثان. ثمإنكانعمومُهامرادًا،وأنَّهيدخلفيهاكلمشركةمنكتابيةووثنية،فقدخَصمنذلكنساءأهلالكتاببقوله: { وَالْمُحْصَنَاتُمِنَالْمُؤْمِنَاتِوَالْمُحْصَنَاتُمِنَالَّذِينَأُوتُواالْكِتَابَمِنْقَبْلِكُمْإِذَاآتَيْتُمُوهُنَّأُجُورَهُنَّمُحْصِنِينَغَيْرَمُسَافِحِينَ [وَلامُتَّخِذِيأَخْدَانٍ] (3) } [المائدة: 5].
          Lebih lanjut dalam kitab tersebut juga dijelaskan bahwa:
فأمامارواهابنجرير: حدثنيعبيدبنآدمبنأبيإياسالعسقلاني،حدثناأبي،حدثناعبدالحميدبنبَهْرَامالفزاري،حدثناشَهْربنحَوْشَبقال: سمعتعبداللهبنعباسيقول: نهىرسولُاللهصلىاللهعليهوسلمعنأصنافالنساء،إلاماكانمنالمؤمناتالمهاجرات،وحرّمكلذاتدينغيرالإسلام،قالاللهعزوجل: { وَمَنْيَكْفُرْبِالإيمَانِفَقَدْحَبِطَعَمَلُهُ } [المائدة: 5]
Yang artinya bahwarosulullah saw.  Melarang atas lima kelompok wanita kecuali wanita mkmin dan muhajirot. Dan mengharamkan pula atas mereka yang bukan agama islam.
. وقدنكحطلحةبنعُبَيداللهيهودية،ونكححذيفةبناليماننصرانية،فغضبعمربنالخطابغضبًاشديدًا،حتىهَمَّأنيسطوعليهما. فقالانحننطَلقياأميرالمؤمنين،ولاتغضب! فقال: لئنحَلّطلاقهنلقدحلنكاحهن،ولكنيأنتزعهنمنكمصَغَرَةقَمأة (5) -فهوحديثغريبجدًا. وهذاالأثرعنعمرغريبأيضًا.
Meskipun apa yang dikatakanya merupaka benar dari sumber asalnya, namun perlu juga dilihat bahwa hadis yang menyatakan bahwa tholhah menikah dengan  orang Yahudi serta khudzaifah yang menikah dengan orang nasrani merupakan hadis yang GHORIB JIDDAN dan tidak pula ditemukan dalam kutubut tis’ah.oleh karenanya,informasi tentang demikian, perlu dilacak kembali. Lagipula ketika terjadi penikahan yang demikian itu, sahabat umar sangat marah. Berkaitan dengan ayat terebut,umar menyebutkan bahwa المسلميتزوجالنصرانية،ولايتزوجالنصرانيالمسلمة
Perlu diketahui kiranya bahwa tafsir at-Thhobari merupakan satu karya tafsir bilma’sur yang memasukan semua hadis-haidis yang berkaitan tanpa memandang kualitas dari hadis tersebut.
Kedua:  berkaitan dengan penafsiran Rasyid rido yang menagatakan bahwa yang dimaksud dengan kaum musyrik adalah kaum musyrik Arab adalah sesuatu yang benar dikatakan oleh beliau. Akan tetapi perlu dilihat juga bahwa beliau juga menggunakan penafsiran yang sangat banyak dari berbagai ulama yang mengatakan bahwa yyang dimaksud musyrik disitu merupakan sebuah keumuman untuk siapa saja termasuk musyrik yang ada di belahan dunia manapun.
وَذَهَبَبَعْضُهُمْإِلَىأَنَّالْمُرَادَبِالْمُشْرِكِينَوَالْمُشْرِكَاتِعَامٌّيَشْمَلُأَهْلَالْكِتَاب
Perludiketahui kiranya bahwa al-qur’an merupakan respon dari masyarakat Arab pada saat itu yang berarti  ula bahwa ayat-ayat yang turun juga merupakan jawaban atas masyarakat Arab. Akan tetapi, sebagaimana dalam ulumul qur’an telah dijelaskan bahwa dalam memahami ayat alqur’an ada tendensi “al ‘ibroh bi ‘umuumillafdzi la bi khusuusis sabab” yang berati bahwa meskipun ayat tersebut diturunkan di Arab, bukan berarti bahwa ayat tersebut tidak berlaku di luar Arab.
Hal ini sejalan jika kita meyakini bahwa al-qur’an berlaku secara universal bukan temporal  pada saat al=Qur;an diturunkan. Karena jika kita berpendapat demikian maka berarti kita telah menyempitkan makna dan cakupan al-Qur’an itu sendiri.

Mungkin pendapat yang megatakan bahwa nikah beda agama merupakan bukan teologis keyakinan dan politis kiranya bersebrangan dengan ayat al-Qur’an dan juga hadis. Sebab, pernikahan erat kaitanya dengan hukum waris dan juga nasab dan keturunan. Sebagaimana kita ketahui dalam berbagai keterangan bahwa  orang murtad itu warisnya tertolak dan tidak mendapatkan waris. Jikakita kaitkan denga masalah kebolehan pernikahan lintas agama itu, bagaimana nantinya harta waris dan keturunan yang akan dihasilkan???

Ketiga: argumen yang mengatakan bahwa tidak ada dalil yang mengatakan bahwa tidak ada  dalil  yang melarang perempuan Muslim menikah denganlaki-laki Ahli Kitab sejatinya ini merupakan ketidak konsistenan, dimana dalam tafsir at-Thobari sebagaimana Mamang mengutipnya juga menjelaskanالمسلميتزوجالنصرانية،ولايتزوجالنصرانيالمسلمة

Demikian juga dengan argumen yang mengatakan bahwa pluralisme agama telah membolehkan nikah beda agama menjadi halal, maka yang perlu dipertanyakan kemudian adalah pluralisme madzhab siapa? Dapatkah pluralisme itu dapat dijadikan tendensi untuk sumua umat?karena, sebagaimana as-Sya’rowi menjelaskan  bahwa surat albaqoroh: 69 sering dipahami pembolehan an pembenaran oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Demikian halnya Qurais sihab menjelakan bahwa pluralisme merupakan satu alat untuk mencapai tujuan toleransi, bukan pembenaranatas semua agama.
Perkataan yang sangat lucu sebgaimana ia katakan adalah “menikah pada hakikatnyaadalah soal cinta dan kasih sayang, BUKAN URUSAN AGAMA. Kalaupun tetap memaksa bahwa menikah itu urusan agama, agama hendaknya mengakomodir bukan mengeleminir, sebab agama—terutama Islam—adalah sumber cinta dan kasih sayang.Oleh sebab itu, seyogyanya agama bukan jadi penghalang dalam proses pernikahan.Lebih dari itu, menikah adalah soal hati. Cinta dan kasih sayang yang berasaldari hati adalah suci, tidak boleh ada yang menghakimi untuk memaksa apalagimemisahkannya.”
Jikalau bukan urusan agama, lantas untuk apa al-Qur’an menggariskan secara jelas mengenai  hukum Nikah, talak, rujuk, iddah, dzihar dll. Serta konsekuensi dari semua itu yaitu talak? Pendapat seperti diatas kiranya sangat  rancu dan justru  mengada-ada  sesuatu yang sudah ada. Bahkan, ketika dengan gamblangnya al-Qur’an telah menggariskan, justru dikatakan itu bukan urusab agama. Ini berarti telah menafikan beberapa ayat al-qur’an yang sudah jelak  termaktub disana. Kiranya, pemikiran seperti ini perlu dibatai dan dimusnahkan dimuka bumi. Bukan sebaliknya, yang hanya mencari  sensasi dan kebanggaan yang irasional.